ICC Jakarta – Pengikut Mazhab Ahlulbait berkumpul di stadion Gelora Bung Karno untuk memperingati syahadahnya cucu Nabi Saw tercinta yaitu pemuda penghulu surga Al Imam Husain bin Ali a.s (20/9). Acara dengan tema “Syahadah Imam Husain a.s (cucu Nabi Saw) KEMANUSIAAN, KEADILAN DAN CINTA TANAH AIR” ini dihadiri oleh ribuan jemaah pengikut Ahlulbait.
Acara dibuka ketua umum Ahlulbait Indonesia KH Hassan Dalil Alaydrus dengan pembacaan surat Yasin dan tahlil. Dalam sambutannya beliau menyampaikan pentingnya menanamkan kecintaan kepada tanah air sebagai perwujudan dari berwilayah kepada Ahlulbait serta pentingnya menjalin ukhuwah islamiyah. Dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Alquran kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Pembicara selanjutnya adalah Dr Umar Shahab selaku Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia. Beliau menyampaikan dalam amanat kebangsaan hari Asyura bahwa Syiah ‘Ali adalah pecinta tanah air, penyebar keadilan, kedamaian sebagaimana laku para Imam Ahlulbait. Menjadi pengikut Ahlulbait harus berjuang di garda terdepan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hikmah Asyura disampaikan oleh Dr Muhsin Labib MA, berikut diantara petikan ceramahnya.
“Banyak orang enggan mengenang Asyura dan Karbala bukan karena kebencian atau terinfeksi takfirisme, tapi karena menolak konsekuensi spiritual, mental, sosial dan individualnya.
Mereka mungkin mengaku menghormati Al-Husain tapi tak ingin mengubah pola pikir, pola perilaku dan mindsetnya yang tercangkok lama.
Bagi mereka, tragedi Karbala hanyalah sebuah fragmen sejarah yang telah berlalu. Bagi mereka, mengenangnya berarti meratapi sebuah museum derita yang hanya menghidupkan dendam dan kebencian. Karena itu, meski mengaku menghormati kepahlawanan Al-Husain dan para martir yang gugur bersamanya, mereka menganggap memperingati Asyura adalah perbuatan sia-sia bahkan irrasional.
Karena bagi mereka, Al-Husain hanya sebuah sosok dan karena Karbala tidak lebih dari sebuah ladang genosida masa silam yang harus dilupakan supaya bisa bebas dari trauma dan supaya manusia hidup tenang, aman dan nyaman.
Tapi bila memandang peristiwa Karbala secara holistik sebagai epos laga kebenaran, kepalsuan, keadilan – kezaliman dan kejujuran – keculasan, maka 10 Muharam akan menjadi momentum reloading spirit Husainisme, sebagai simbol kemanusiaan yang terus mengilhami gelora para pecinta kebenaran dan keadilan.
Memang, dalam peringatan Asyura ada ritus-ritus khas seperti pembacaan narasi Karbala yang amat memilukan. Air hangat yang membasahi pipi orang-orang yang mengenangnya itu dipompa dari kalbu penuh cinta, cinta keadilan, kemerdekaan dan kejujuran serta keberanian.
Orang-orang rapuh menangis karena ketidakberdayaan. Orang-orang tangguh menangis karena empati. Pecundang menangis karena takut. Kesatria menangis karena tekad mengutamakan kemuliaan atas ketentraman, kemerdekaan atas keamanan dan keadilan atas kesejahteraan.
Asyura memang bukan untuk orang-orang lemah jiwa. Karbala hanya diperingati oleh orang-orang yang menjadikan peringatannya sebagai proses katarsis demi mentransformasi duka menjadi gelora, agar hidup tak hanya diisi dengan makan, minum, tidur dan tertawa.
Acara selanjutnya yaitu syair duka Asyura yang dibacakan oleh putra kinasih ulama besar Kyai Haji Jalaluddin Rakhmat yaitu Ustaz Miftah Rakhmat.
Menginjak penghujung acara dilanjutkan dengan pembacaan maqtal oleh Sayyid Abdurrahman Mahdali. Asyura tahun ini dihadiri lebih dari 5.000 peserta. Untuk tahun ini baik pihak ormas ABI maupun IJABI bergabung bersama dalam penyelenggaraan ini. Ustaz Abdullah Beik selaku ketua penyelenggara Asyura 2018 mengaku puas karena acara berlangsung dengan sangat lancar, kondusif, dan khidmat. (ABI)