Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia menggelar diskusi mengenai pemikiran Hamzah Fansuri dan Mulla Sadra, dua tokoh tasawuf dari dua peradaban berbeda. Hamzah Fansuri merupakan sufi sekaligus sastrawan besar pada abad-16 dari Nusantara, sementara Mulla Sadra merupakan sufi sekaligus filsuf di abad ke-17 dari Persia. Diskusi ini digelar atas kerja sama dengan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada 29 Agustus 2023.
“Penting bagi kita untuk menggali kembali nilai-nilai dari perjumpaan peradaban besar ini,” kata Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra, Herry Jogaswara, ketika membuka diskusi.
Diskusi ini menghadirkan Direktur Sadra International Institute Dr. Abdel Aziz Abbaci bersama sastrawan sekaligus akademisi Universitas Paramadina Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari. Keduanya hadir sebagai narasumber diskusi yang mengangkat tema konsep wahdatul wujud (kesatuan wujud) dari Hamzah Fansuri dan Mulla Sadra.
Abbaci memulai pembahasannya mengenai konsep wujud dan perdebatannya dalam sejarah pemikiran Islam. Sebagian pandangan mengatakan bahwa wujud itu satu. Sementara pandangan lainnya menilai bahwa wujud itu beragam.
Pandangan menganai keragaman wujud telah muncul sejak zaman filsafat Yunani kuno hingga munculnya era filsafat Islam. Kemudian muncul sufi dan filsuf seperti Mulla Sadra yang menawarkan teori wahdatul wujud atau kesatuan wujud. Hanya saja, bagi Mulla Sadra, wujud yang satu ini bergradasi. Wujud paling mutlak adalah wujud Tuhan. Inilah martabat tertinggi dari gradasi wujud. Sementara keragaman makhluk tetap dalam wujud yang sama namun berada pada martabat paling rendah dalam gradasi wujud.
“Pembahasan ini memang mesti melalui penjelasan sistematis karena konsepnya tidak sederhana. Dengan penjelasan sistematis mengenai wahdatul wujud, kita justru akan kembali kepada tauhid yang hakiki. Bukan membawa kita untuk menyamakan antara Tuhan dan makhluk,” kata Abbaci.
Sementara Abdul Hadi menjelaskan pemikiran Hamzah Fansuri mengenai wahdatul wujud. Menurutnya, seluruh isi alam yang tampak secara lahir maupun tersembunyi dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran. Lebih tepatnya digambarkan sebagai dua lengkungan yang kedua ujungnya di atas dan di bawah bertemu seperti pertemuan dua busur. Separuh lengkungan itu menurun yang menggambarkan jalannya penciptaan dan proses termanifestasinya wujud Tuhan. Sementara lengkungan yang mengarah ke atas menggambarkan kembalinya makhluk kepada Tuhan.
“Di kepulauan Nusantara, pemikiran ini telah dikenal pada abad 14 dan 15 atau satu atau dua abad sebelum kemunculan Hamzah Fansuri yang bertepatan dengan meluasnya penyebaran agama Islam,” kata Abdul Hadi. “Sufi awal yang mengajarkan wahdatul wujud adalah Abdullah Arif, pendakwah Islam di Samudra Pasai.”
Dikusi secara daring ini berlangsung selama dua jam lebih dan dihadiri oleh 130 lebih peserta di ruang Zoom. Kedua narasumber memantik banyak pertanyaan dari peserta sehingga terjadi dialog interaktif mengenai konsep wahdatul wujud.
Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi Lisan, Dr. Sastri Sunarti mengaku senang dengan diskusi ini. Ia menjelaskan, program ini merupakan salah satu wujud nyata dari nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh pimpinan Brin dan ICC Jakarta pada 25 Juli 2023.
“Kita sangat senang melanjutkan MoU dengan melakukan kegiatan nyata dengan bertukar informasi dan ilmu pengetahuan dari dua negara (Iran dan Indonesia),” kata Sastri.