Kunjungan resmi Ketua Parlemen Republik Islam Iran, Dr. Mohammad Bagher Ghalibaf, ke Indonesia bukan sekadar peristiwa diplomatik rutin. Ia mencerminkan dinamika baru dalam politik luar negeri Iran dan sekaligus menempatkan Indonesia dalam lanskap penting bagi poros kerja sama Global Selatan. Sebagai tokoh yang memiliki latar belakang militer, teknokratik, dan kini legislator senior, Ghalibaf membawa sinyal strategis atas arah diplomasi Iran yang ingin mempererat jejaring solidaritas politik dengan negara-negara yang relatif netral dalam konflik hegemonik dunia.
Kunjungan ini terjadi di tengah kompleksitas situasi geopolitik: tekanan maksimal dari negara-negara Barat atas program nuklir Iran, meningkatnya eskalasi di Timur Tengah terutama di Gaza dan Lebanon, serta bangkitnya arsitektur dunia multipolar pasca-perang Ukraina dan konflik Israel-Palestina. Dalam konteks ini, Indonesia dianggap mitra yang penting secara simbolik dan substantif. Simbolik, karena Indonesia dikenal luas sebagai negara Muslim terbesar di dunia dengan prinsip bebas aktif dan posisi politik yang relatif seimbang. Substantif, karena Indonesia memiliki kekuatan ekonomi dan demografis yang terus bertumbuh, dan dapat memainkan peran penting dalam format-format kerja sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation).
Dari Solidaritas Palestina hingga Ekspansi Kerja Sama Legislasi
Dalam berbagai pidatonya selama di Jakarta, Dr. Ghalibaf menekankan pentingnya solidaritas atas penderitaan rakyat Palestina, dan menyambut baik posisi Indonesia yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Hal ini menjadi titik temu yang tidak saja memperkuat sentimen umat Islam, tetapi juga mempererat agenda bersama dalam fora internasional seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok.
Lebih jauh, kunjungan ini juga membuahkan kesepakatan untuk memperkuat hubungan antar parlemen kedua negara. Sebuah forum kerja sama legislatif digagas sebagai upaya memperkuat diplomasi antar anggota parlemen, meningkatkan pertukaran kebijakan, dan membuka jalur komunikasi yang lebih luwes dibanding saluran-saluran eksekutif formal.
Antara Peluang Ekonomi dan Tantangan Politik
Kunjungan Ghalibaf juga disambut dengan pembicaraan mengenai kerja sama ekonomi. Meski Iran masih menghadapi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, namun terdapat peluang-peluang alternatif, seperti dalam sektor energi, teknologi kesehatan, dan kerja sama pendidikan tinggi. Indonesia dapat mengambil peran strategis dengan pendekatan hati-hati: memperluas kerja sama di sektor non-sanksi, sambil menjaga hubungan baik dengan kekuatan global lain.
Namun tantangan politik tetap nyata. Hubungan dengan Iran selalu menjadi isu sensitif, baik dalam konteks internasional maupun domestik. Di tingkat dalam negeri, pemerintah perlu memastikan bahwa kerja sama ini tidak dibaca sebagai dukungan terhadap agenda ideologis tertentu. Sedangkan di tingkat global, Indonesia harus cermat menjaga keseimbangan dalam relasi diplomatik, terutama karena sejumlah mitra strategis Indonesia memiliki posisi kontras terhadap Iran.
Menuju Arsitektur Kerja Sama Baru yang Lebih Setara
Kunjungan Ketua Parlemen Iran ini memperlihatkan bahwa lanskap diplomasi internasional tengah berubah. Negara-negara Global Selatan kini mulai menegaskan posisi mereka secara lebih otonom, tanpa selalu mengikuti arus dominasi kekuatan global lama. Indonesia, dalam hal ini, harus mampu membaca arah perubahan itu. Hubungan dengan Iran perlu dimaknai bukan dalam kacamata geopolitik sempit, tetapi sebagai bagian dari ikhtiar membangun solidaritas, memperluas kerja sama alternatif, dan menyuarakan keadilan global.
Kita berharap, dari diplomasi simbolik ini lahir kebijakan-kebijakan nyata yang memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan dunia yang semakin kompleks, sekaligus menjaga semangat kemerdekaan, keadilan, dan solidaritas yang menjadi akar politik luar negeri kita sejak era Soekarno.