ICC Jakarta – Pada masa ketika masyarakat di sekitarnya merasa malu memiliki seorang anak perempuan, Rasulullah Saw justru bangga memiliki seorang putri, Fatimah Az-Zahra.
Rasulullah memperlakukan Fatimah dengan hormat, ketika putrinya ini datang, Nabi bangkit dari duduknya dan menyambut buah hatinya tersebut. Terkadang di hadapan semuan orang, nabi mencium tangan kecil Fatimah dan menggendongnya. Sambil mencium Fatimah, Nabi bersabda, “Aku mencium bau surga dari Fatimah.”
Bulan akan terlihat penuh di saat bulan purnama. Seiring berlalunya hari, sedikit demi sedikit bulan tertutupi dan hanya terlihat separuh, atau bahkan tidak tampak sama sekali. Fatimah Az-Zahra, putri tercinta Rasulullah Saw tak ubahnya seperti bulan.
Setelah Rasulullah meninggal, Fatimah menghadapi peristiwa terbesar dalam hidupnya. Masyarakat saat itu yang baru ditinggal Rasulullah seakan-akan telah melupakan sabda nabinya, “Siapa yang menjadikan diriku pemimpin, maka setelah aku, Ali adalah pemimpin mereka.”
Tak lama setelah Nabi meninggal, sekelompok orang dengan pedang terhunus menyerang rumah menantu dan putri nabi. Mereka dengan paksa meminta Ali berbaiat. Mereka membakar pintu dan dengan paksa mendobraknya, padahal Fatimah saat itu berada dibalik pintu dan mencegah mereka menyerbu rumahnya.
Apakah mereka tidak mendengar sabda nabi yang mengatakan, “Fatimah bagian dariku, siapa saja yang menyakitinya, berarti menyakitiku juga….” Lantas mengapa hanya beberapa hari setelah Rasul meninggal, mereka melakukan hal-hal hina seperti ini, sehingga putri tercinta nabi mereka sampai mengalami luka? Kelakukan kasar tersebut sampai membuat putri Nabi ini mengalami keguguran. Dengan tubuh terluka, Fatimah masih tetap membela Wilayah yang menjadi hak suaminya serta mencegah mereka membawa paksa Ali.
Dalam membela kebenaran dan hak wilayah Ali, Fatimah tak tinggal diam. Ia pun datang ke masjid dan menyampaikan khutbah. Di khutbahnya Fatimah mengajak masyarakat untuk bertakwa dan menjalankan ajaran serta sabda Rasulullah. Ia pun mengungkap kembali peristiwa Ghadir. Ia pun mendesah karena hatinya yang perih dan terluka, namun bibirnya tetap bungkam dan tidak mengutuk umat ayahnya.
Setelah peristiwa pedih ini, manifestasi bau harum surgawi di muka bumi dan perempuan suci yang dinilai malaikat lebih baik dari seluruh penghuni bumi ini jatuh sakit dengan hati tersayat dan luka-luka fisik yang dideritanya. Di saat-saat akhir hidupnya, Fatimah berkata kepada Ali, “Wahai sepupuku! Kamu tidak pernah menyaksikan kebohongan dan pengkhianatan di seluruh hidupku, dan Aku tidak pernah menentang perintahmu.”
Adapun Ali yang sangat menctai dan menghormati Fatimah serta menyaksikan putri tercinta Nabi ini berada di detik-detik akhir kehidupannya menjawab, “Aku berlindung kepada Allah! Kamu adalah sebaik-baik makhluk, lebih bijak, lebih terhormat daripada aku mencelamu. Jauh dan berpisah denganmu sangat berat bagiku. Aku bersumpah kepada Allah! Kepergianmu akan menambah musibah Rasulullah bagiku. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiuun.
Rasulullah Saw di setiap kesempatan menyebutkan sifat mulai dan derajat tinggi Fatimah Az-Zahra serta mengisyaratkan keutamaan wanita mulia ini. Aisyah, istri Nabi terkait Fatimah mengatakan, “Aku tidak menyaksikan di antara manusia yang perilaku dan ucapannya menyerupai Nabi kecuali Fatimah.”
Manifestasi kesempurnaan dalam kepribadian manusia tidak eksklusif untuk pria atau wanita, tetapi pemberian yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan, sehingga ia dapat memahami hakikat dirinya. Benar bila dikatakan Fatimah as salah satu contoh teladan yang sempurna, dimana mengikutinya bakal menjamin kemenangan, kebenaran dan mencapai kesempurnaan dan keutamaan. Kecintaan yang besar dari Nabi Muhammad Saw kepada putri mulianya Sayidah Fatimah as merupakan poin yang patut direnungkan dalam kehidupan beliau.
Dalam masyarakat yang tidak begitu jauh dari era Jahiliah, dimana perempuan dan anak perempuan bukanlah sumber kehormatan dan kemuliaan, Nabi Saw memperlakukan putrinya sedemikian rupa sehingga membuat orang-orang di sekitarnya keheranan. Nabi Saw adalah pribadi yang ketika melihat satu kebajikan atau keutamaan, pasti beliau mengagumi dan memujinya. Dengan kata lain, ini adalah semangat tinggi dan kebajikan menonjol Fathimaa Zahra as yang membuat Nabi Saw kemudian menghormati dan memuliakannya.
Selain itu, Nabi Saw yang mampu mengantisipasi kejadian di masa depan berusaha menjelaskan semua alasan dan hujjah akan kebenaran Fatimah as dan menekankan kondisi sulit di masa depan. Suatu hari seorang pria memberi tahu Nabi, “Mengapa kamu tidak memperlakukan Fatima seperti putra dan putrimu yang lain?” Nabi berkata kepadanya, “Anda tidak kenal Fatimah. Saya merasakan aroma surga darinya. Anda tidak bisa tahu bahwa kerelaan Fatimah adalah keridaan Tuhan dan kemarahannya adalah murka Tuhan.”
Berkaitan dengan karakteristik Sayidah Fatimah, Imam Ali berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Ia dinamakan Fatimah, karena Allah Swt akan menyingkirkan api neraka darinya dan dari keturunannya.Tentu keturunannya yang meninggal dalam keadaan beriman dan meyakini segala sesuatu yang diturunkan kepadaku’,”(Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 18-19).
Kedudukan spiritual Sayidah Fatimah sangat tinggi sampai-sampai malaikat berbicara dengannya. Oleh karena itu, ia disebut Muhaddatsah, artinya orang yang mampu berkomunikasi dengan malaikat. Para malaikat dapat berbicara dengan selain para nabi atau rasul. Mereka bisa mendengar suara dan melihat para malaikat. Allah Swt telah menjelaskan bahwa Maryam binti Imran as melihat malaikat dan berbicara dengannya. Dalam surah al-Imran ayat 42, Allah Swt berfirman: “Dan (Ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”
Sayidah Fatimah az-Zahra adalah penghulu para wanita seluruh alam, dari awal sampai akhir. Sayidah Fatimah dikenal keteladanannya dalam rumah tangga. Beliau contoh terbaik dari sosok istri dan ibu. Bersama suaminya, Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah menjalani suka dan duka kehidupan, dan sepanjang sejarah hingga kini sebagai teladan keluarga terbaik.Terkait hal ini, Imam Ali berkata, “Demi Allah dia tidak pernah membuatku marah dan tidak pernah menolak perintahku sama sekali. Kapan saja aku melihat Fatimah, maka hilanglah semua kesedihanku.”(Biharul Anwar, jilid 43, hal 134).
Pada permulaan malam setelah pernikahan Imam Ali dan Sayidah Fatimah, Rasulullah Saw membagi pekerjaan untuk mereka berdua, pekerjaan dalam rumah adalah urusan Sayidah Fatimah sedangkan pekerjaan di luar rumah adalah urusan Imam Ali as. Setelah pembagian itu Sayidah Fatimah as berkata, “Hanya Allah yang tahu betapa gembiranya aku akan pembagian kerja ini. Karena Rasulullah Saw telah menghalangi aku dari melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan lelaki.” (Biharul Anwar, jilid 43, hal 81)
Sayidah Fatimah bukan saja pendamping hidup bagi suaminya tapi beliau juga mitra dalam urusan spiritual. Ketika Imam Ali as ditanya Rasulullah Saw, bagaimana engkau menilai Fatimah? Imam Ali as menjawab, “Ia adalah sebaik-baiknya penolong dalam ketaatan kepada Allah.”(Biharul Anwar, jilid 43, hal 117)
Sayidah Fatimah adalah istri yang tidak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan suaminya. Dalam hal ini beliau berkata kepada Imam Ali as, “Aku malu kepada Tuhanku bila aku meminta sesuatu kepadamu sementara engkau tidak mampu memenuhinya.”(Amali Syeikh Thusi, jilid 2, hal 228).
Source: Parstoday