ICC Jakarta – Hari raya Idul Adha yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban setelah shalat Idul Adha, adalah momen-momen yang ditunggu oleh setiap orang muslim. Berawal dari pengorbanan domba Nabi Ibrahim setelah Allah menyelamatkan nyawa Nabi Ismail, maka umat muslim pada hari raya Idul Adha dianjurkan untuk mengorbankan hewan kurban terbaiknya. Namun dalam hukum fikih terdapat aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh seorang muslim jika mereka ingin berkurban. Kita harus menyembelihnya secara syar’i dan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan sehingga sembelihan itu menjadi sembelihan yang halal.
Berikut ini adalah tanya jawab seputar hukum menyembelih hewan.
1. Apakah si penyembelih hewan itu harus seorang muslim? Halalkah hewan yang disembelih oleh seorang ahli kitab seperti Kristen?
Jawab: Ya, si penyembelih hewan itu disyaratkan harus seorang muslim (apapun mazhabnya selain “Nashibi”, yakni orang yang memusuhi Ahlulbait As dengan terang-terangan dan dengan kesadarannya). Karena itu tidak dihalalkan hewan yang disembelih oleh seorang non muslim sekalipun dia dari ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Demikian pula sembelihan seorang “Nashibi” (tidak dihalalkan pula) walaupun ia menampakkan keislamannya.
2. Apakah si penyembelih itu harus muslim laki-laki dan juga harus sudah dewasa (balig)?
Jawab: Tidak, si penyembelih itu yang penting muslim saja, dan tidak disyaratkan harus lelaki dan boleh pula seseorang yang belum dewasa (belum balig). Dengan demikian wanita dan anak-anak yang sudah mumayyiz dibolehkan menyembelih hewan. Bahkan dibolehkan pula wanita yang sedang haid, junub dan nifas. Lebih dari itu dibolehkan pula anak-anak yang mumayyiz yang belum dikhitan, orang buta dan bahkan anak zina.
- Mengenai alat sembelihan, apakah dibolehkan menyembelih dengan pisau atau golok yang terbuat dari selain besi, seperti dari tembaga?
Jawab: Tidak, tidak dibolehkan menyembelih hewan dengan alat (pisau, golok, pedang dan lainnya) yang terbuat dari selain besi. Jadi harus dengan alat yang terbuat dari besi dan tajam. Lain halnya pada kondisi terpaksa dan kepepet. Pada kondisi darurat dibolehkan dengan alat potong selain besi. Karena itu hewan yang disembelih dengan alat potong seperti tembaga, emas, perak, dan lainnya, pada kondisi normal, tidak dibolehkan dan hewannya tidak menjadi halal.
- Bagian urat leher hewan yang manakah yang harus disembelih? Bagaimana hukumnya jika hewan itu disembelih hingga putus kepalanya?
Jawab: Ada empat anggota di bagian leher hewan yang harus disembelih dan harus putus. Empat anggota tersebut ialah :
a. Hulqum (tenggorokan) yakni tempat keluar masuknya napas.
b. Mari’ (saluran makanan) yakni tempat masuknya makanan dan minuman yang bertempat di bawah hulqum (tenggorokan).
c dan d. Dua wadaj (dua buah urat leher) yakni dua urat yang agak tebal yang meliputi hulqum (tenggorokan) atau mari’.
Jadi empat anggota hewan itu harus putus dengan cara disembelih dan tempatnya yang tepat adalah dibawah jauzah (tonjolan) yang terdapat di tenggorokan. Dan diusahakan jangan sampai kepalanya putus, tetapi jika terputus, maka hewan sembelihan tersebut tetap dihukumi halal.
- Bolehkah menyembelih hewan dari bagian belakang lehernya? Atau dengan cara dipenggal dengan golok atau pedang sehingga langsung putus?
Jawab: Cara semacam itu tidak dibolehkan. Karena itu menyembelih hewan disyaratkan harus dari bagian depan lehernya. Apabila hewan itu disembelih dari bagian belakang lehernya dan empat anggota yang ada di bagian lehernya tersebut cepat putus sebelum keluar ruhnya, maka hewan tersebut menjadi tidak halal (haram dimakan).
- Apabila si penyembelih telah memotong sebagian anggota yang empat yang terdapat di bagian lehernya, kemudian ia berhenti (karena suatu hal), sementara empat anggota tersebut belum terpotong semuanya, kemudian hewan itu keburu mati, setelah itu barulah ia menyempurnakan sembelihannya, ini bagaimana hukumnya?
Jawab: Menyembelih hewan itu harus tatabu’ (berkesinambungan) sehingga empat anggota yang terdapat di bagian lehernya itu terpotong dan putus semuanya. Karena itu, cara penyembelihan di atas tidak dibenarkan dan daging hewan yang disembelih dengan cara seperti itu menjadi tidak halal (haram). (Abu Qurba)
(Sumber: Kitab Tahrir al-Wasilah, jld. 2, hlm. 146 – 149)