ICC Jakarta – Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar menjelaskan, di dalam ajaran Islam tidak dibenarkan masyarakat melakukan penghakiman sendiri terhadap orang yang melakukan kesalahan. Di dalam Islam, misalnya ada hukum rajam atau qishas. Keduanya memiliki prosedur, misalnya harus ada saksi atau hukum acaranya.
“Tidak bisa seenaknya. Jika begitu, kita sendiri juga nanti kena masalahnya. Pada zaman Nabi Muhammad tidak memberikan kesempatan masyarakat umum untuk menghakimi orang,” kata Mustasyar PBNU tersebut di gedung PBNU, Selasa (8/8) lalu.
Menurut dia, kadang-kadang orang kesalahan, di mata orang umum itu salah, tapi bisa jadi secara hukum ia bisa diringankan. Jika ada orang gila membunuh, ia tidak boleh dibunuh lagi. Sebab, ia tidak pernah dianggap mukallaf, tapi harusnya dianggap kecelakaan. Begitu juga dengan orang yang terpaksa membunuh karena mempertahankan diri, akal, nyawa, keluarga; kasusnya jangan disamakan dengan orang yang membunuh biasa.
“Nah, itu, bagaimana mengukur kesalahannya, harus pada lembaga pengadilannya,” ungkap kiai asal Sulawesi Selatan itu.
Tugas ulama, warga Nahdliyin, lanjutnya, adalah memberikan pencerahan kepada msyarakat bahwa tidak boleh main hakim sendiri. Sebab, ini adalah negara hukum.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam teori kepemimpinan, masyarakat tidak pernah salah. Jika ada terjadi penghkiman massa, harus dilihat kondisi objektif yang melingkupi keadaan masyarakat itu. Dan itu harus dikaji mendalam.
“Ada sesuatu yang hidup dan berkembang di sekitar masyarakat kita yang tidak kondusif yang menyebabkan terjadinya semacam kondisi-kondisi yang tidak kita inginkan,” jelasnya.
Jika dilihat secara sosiologis, kenapa masyarakat gampang beritndak dan menyelesaikan urusan dengan cara mereka sendiri, tidak melalui jalur hukum, bisa jadi karena institusi hukum itu tidak terlalu berwibawa di mata mereka.
“Sehingga, kalau tidak dihukum sendiri, nanti lepas lagi, lepas lagi. Jadi itu indikator pertama.”
Kedua, bisia jadi anggota msayarakat itu pernah mengalami kekerasan oleh kelompok lain, meski dalam kadar berbeda, sehingga ia melampiaskan kepada orang lain.
“Jadi, kalau masayarakat sudah terbiasa dengan dunia kekerasan, maka gampang memberikan kekerasan terhadap orang lain. Yang ketiga, faktor kemiskinan,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)
NU Online