ICC Jakarta – Imam Mahdi merupakan isu yang sensitif bagi umat Islam. Tidak saja karena berkaitan secara teologis dan emosional, namun juga jika tidak berhati-hati dapat menimbulkan salah pengertian dan peruncingan perbedaan di dalam umat Islam. Sebab Imam Mahdi merupakan tema politik dan sekaligus berimplikasi politik yang serius dan luas. Apalagi jika dihadapkan dengan kondisi dan realitas umat Islam saat ini yang telah terpecah-pecah ke dalam berbagai bentuk negara dan sistem kekuasaan. Sementara konsekwensi hadirnya Imam Mahdi meniscayakan kesatuan kepemimpinan seluruh umat Islam dalam otoritas dan loyalitas tunggal menggenapi nubuat Rasulullah SAW. Di titik ini, dengan logis akan timbul reaksi yang beragam dari milyaran umat Islam setelah menjalani sejarah panjang hingga sampai pada realitas dewasa ini.
Dapat diperkirakan, pengakuan keimanan dan ketundukan pada kepemimpinan Imam Mahdi akan berbanding dengan penolakan dan penentangan kepada Imam Mahdi. Oleh karena itu, dapat pula diperkirakan, tantangan pro dan kontra yang akan dihadapi oleh Imam Mahdi – jika kelak dia muncul dengan keniscayaan kondisionalnya – dari dalam umat Islam sendiri sama sengitnya dengan tantangan yang dia hadapi dari orang-orang luar Islam yang sudah jelas perbedaan keyakinannya.
Harus diakui, dibandingkan dengan wawasan teologi Syi’ah, isu imam mahdi tidak menjadi concern yang besar dalam wawasan teologi Ahli Sunnah wal Jama’ah – selanjutnya akan cukup disingkat dengan istilah Sunni. Hal itu memiliki beberapa alasan dan di antara alasannya akan dikemukakan selanjutnya.
Dari sekian melimpahnya hadits-hadits Nabi yang dikumpulkan oleh para ahli hadits, catatan dan keterangan tentang “nubuat” kedatangan Imam Mahdi dapat dikatakan minim sekali. Sehingga kejelasan sosok, tempat, waktu dan proses kemunculan Imam Mahdi itu tidak berlebihan jika dikatakan remang-remang dalam wawasan teologi Sunni. Lagi pula di dalam wawasan teologi Sunni, isu Imam Mahdi ini tidak menjadi perhatian besar oleh beberapa sebab yang akan dijelaskan kemudian.
Al-Mubarakfuri mencatat, ada 18 hadist tentang Imam Mahdi yang diriwayatkan oleh masing-masing Imam Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah. Al-Tirmidzi meriwayatkan tiga buah hadis mengenai Al-Mahdi. Abu Daud meriwayatkan sebelas hadis. Ibnu Majah meriwayatkan tujuh buah hadis.
Ibnu Khaldun (w.1406 M) dalam Mukaddimah, mencatat mahdiisme dalam Islam dikonstruk hanya melalui 25 hadis mahdawiyyah, dan masing-masing haditsnya memiliki problem otentisitas atau mutu kesahihan.
Demikian minimnya catatan dan keterangan hadits terkait Imam Mahdi, dari segi mutu periwayatannya pun, menurut pendapat Al-Mubarakfuri, pengarang buku Tuḥfatul Aḥwadzi bi Syarḥi Jamiʽ al-Tirmidzi, [Madinah: Al-Maktabah al-Salafiyah, 1963], hanya satu riwayat Al-Tirmidzi yang bermutu sahih, dari antara hadis-hadis tentang Al-Mahdi. Hadits itu sebagai berikut:
عن عَبْدِ الله قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: لاَ تَذْهَبُ الدّنْيَا حَتّى يَمْلِكَ العَرَبَ
رَجُلٌ مَنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمَهُ اسْمِي
Artinya, “Dari Abdullah (bin Masud) berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak hancur dunia (kiamat) sampai orang Arab memiliki seorang laki-laki dari keturunanku yang namanya sama dengan namaku.” (HR. At-Tirmidzi)
Sedangkan Abu Daud juga meriwayatkan hadits yang hampir serupa, hanya berbeda pada akhir matan hadits saja. يواطئ اسمه اسمي واسمأبيه اسم أبي Artinya, “Namanya cocok dengan namaku sedangkan nama ayahnya adalah sama dengan nama ayahku.”
Adapun hadist-hadits populer yang menubuatkan Imam Mahdi, menurut Al-Mubarakfuri, kendati jamak digunakan, namun tidak bermutu sahih.
Beberapa ahli hadis yang meriwayatkan hadits tentang Al-Mahdi, misalnya Abu Daud, Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Thabarani, dan Abu Ya’la. Sanad hadis para ahli hadits tersebut bersusur-galur sampai pada sejumlah sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Thalhah, Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Tsauban, Qurrah bin Iyas, Ali Al-Hilali, Abdullah bin Haris bin Jaz’i. Kualitas sanad yang menghubungkan mereka dengan para sahabat bermacam-macam kualitasnya dari segi standard ilmu musthalahul hadits. Ada yang sahih, hasan, dan ada pula yang dlaif. Al-Mubarakfuri (w. 1353 H.) menyatakan bahwa ada banyak sekali riwayat tentang Al-Mahdi. Kebanyakan berstatus dlaif. (Tuhfat Al-Ahwadzi Syarah Sunan Al-Tirmidzi, jilid 6, hlm. 402).
Konsekwensi Dalil dan Realitas
Dengan gambaran di atas, wajar jika dalam wawasan teologi Sunni, tema Imam Mahdi tidak menjadi soroton yang besar dan berpengaruh dalam perilaku religius dunia Sunni. Apabila hadits-hadits berkaitan Imam Mahdi tetap beredar, hal itu lebih pada sekadar penyebaran kekayaan informasi hadits bersifat nubuat yang tidak dimaksudkan sebagai dalil konstruksi alam pikiran religius apalagi dimaksudkan sebagai dasar keagamaan (ushuluddin). Hadits yang berkenaan informasi Imam Mahdi sekedar hadist informatif belaka. Akibatnya, perihal kesahihan hadits tidak terlalu menjadi perhitungan, kendati matan hadits terkait Imam Mahdi, populer diterima secara umum oleh dunia Sunni.
Misalnya hadits-hadits berikut, yang keterangan mutu sanadnya sudah diungkap di atas.
(1)
Dari Abu Asma Ar Rahabi dari Tsauban dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Kelak tiga orang akan berperang di dekat perbendaharaan kalian ini (yaitu Ka’bah), dan kesemuanya adalah anak khalifah. Dan tidak ada yang menang melainkan satu orang, lalu muncullah bendera-bendera hitam dari wilayah timur, mereka lantas memerangi kalian dengan peperangan sengit yang sama sekali belum pernah dilakukan kaum manapun. Jika kalian melihatnya, maka berbaiatlah kepadanya walaupun sambil merangkak di atas salju, karena sesungguhnya dia adalah khalifah Allah Al Mahdi.” (Riwayat Ibnu Majah)
(2)
Dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Al Mahdi itu dari keturunanku, dahinya lebar dan hidungnya mancung, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi pernah dipenuhi dengan kejahatan dan kezhaliman. Ia akan berkuasa selama tujuh tahun.” (Riwayat Abu Daud)
(3)
Rasulullah SAW bersabda: Wahai anak Hawalah, apabila engkau melihat kekhilafahan telah turun di bumi yang disucikan maka sungguh telah dekat bencana gempa dan berbagai kesedihan serta perkara-perkara besar. Pada saat itu Hari Kiamat lebih dekat kepada orang-orang daripada tanganku ini dari kepalaku.” (Riwayat Abu Daud)
(4)
Dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku berikan kabar gembira kepada kalian dengan datangnya al-Mahdi, ia diutus kepada umatku ketika terjadi perselisihan dan keguncangan di antara manusia.” (Riwayat Ahmad)
(5)
Dari Malik bin Yukhamir dari Mu’adz bin Jabal ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Ramainya Baitul Maqdis adalah tanda kehancuran kota Madinah, hancurnya kota Madinah adalah tanda terjadinya peperangan besar, terjadinya peperangan besar adalah tanda dari pembukaan kota Konstantinopel, dan pembukaan kota Konstantinopel adalah tanda keluarnya Dajjal.” (Riwayat Abu Daud)
(6)
“Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (Riwayat Abu Daud 9435)
(7)
“Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan penuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman.” (Riwayat Ahmad 10898)
(8)
“Akan terjadi perselisihan setelah wafatnya seorang pemimpin, maka keluarlah seorang lelaki dari penduduk Madinah mencari perlindungan ke Mekkah, lalu datanglah kepada lelaki ini beberapa orang dari penduduk Mekkah, lalu mereka membai’at Imam Mahdi secara paksa, maka ia dibai’at di antara Rukun dengan Maqam Ibrahim (di depan Ka’bah). Kemudian diutuslah sepasukan manusia dari penduduk Syam, maka mereka dibenamkan di sebuah daerah bernama Al-Baida yang berada di antara Mekkah dan Madinah.” (Riwayat Abu Daud 3737)
(9)
“Ketika kalian melihatnya (kehadiran Imam Mahdi), maka berbai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (Riwayat Abu Daud 4074)
(10)
Dari Abu Said al-Khudri RA, sesungguhnya Rasul bersabda: “Akan muncul di masa akhir umatku seorang yang diberikan petunjuk (al-Mahdi), (yang pada masa itu) Allah SWT memberikan hujan kebaikan, bumi mengeluarkan tanaman-tanamannya, harta akan dibagikan secara merata, binatang ternak melimpah dan umat menjadi mulia, dia akan hidup selama tujuh atau delapan,” yaitu musim haji. (Riwayat Al-Hakim)
Mengapa Sikap Dunia Sunni Berbeda?
Dasar-dasar teologis dunia Sunni dengan dunia Syi’iy, memang berbeda. Perbedaan itu terletak pada doktrin Imamah. Sebagaimana diketahui, perbedaan dasar-dasar teologis ini melibatkan perbedaan dalam menyikapi sejarah pasca Nabi Muhammad SAW, khususnya terkait kepemimpinan umat Islam sesudah Nabi Muhammad SAW wafat.
Dunia Sunni berpendapat, bahwa khulafurrasyidin yang empat merupakan pelanjut kepemimpinan umat yang sah, baik dalam urusan religius maupun urusan publik kenegaraan, pasca Nabi. Adapun dunia Syi’iy berpendapat, Ali ibn Abu Thalib satu-satunya yang sah mewarisi kepemimpinan umat pasca Nabi. Alasannya tidak hanya sekedar yuridis formil, tapi juga secara spritual, bahwa Ali ibn Abu Thalib dipandang paling layak oleh dunia Syi’iy. Dengan demikian menurut dunia Syi’iy, pewarisan imamah tidak mengalami keterputusan mata rantai secara tiba-tiba di awal. Kalau pun kemudian dunia Syi’iy mengalami keghaiban Imam, tetapi kepemimpinan religius yang menjadi rujukan tetap diteruskan dengan baik. Sedangkan dunia Sunni tidak seperti itu keadaannya. Para raja dan sultan meneruskan kepemimpinan yang dilengkapi oleh ulama Mufti yang bertanggungjawab memecahkan masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang timbul bersamaan dengan tantangan zaman. Fungsi ulama mufti bukanlah pemimpin spritual bagi dunia Sunni.
Sebenarnya, gagasan tentang Imam Mahdi sebagai suatu pemimpin yang menyelamatkan umat Islam dari ketertindasan yang mendapat petunjuk dari Allah, awalnya muncul dari dunia Syi’iy. Hal itu wajar saja, karena tantangan awal yang dihadapi dunia Syi’iy ialah penindasan politik dan ruang gerak dari para penguasa Muslim awal, walaupun setelahnya, dunia Syi’iy juga berhasil membangun kekuasaan secara silih berganti, misalnya Dinasti Fathimiyyah di Mesir dan Dinasti Safawiyyah di Iran.
Menurut Muhammad Rikza Muqtada, dalam tulisannya berjudul Mahdiisme dalam Hadis-hadis Mahdawiyyah pada Jurnal Theologia, Vol 30 No 2 (2019), 239–266, “Mahdiisme merupakan paham yang menunggu kehadiran al-Mahdi sebagai sosok penyelamat di hari akhir nanti. Sebab itu, pengkajian tentang asal-usulnya harus dimulai dari gagasan besar tentang kehadiran juru selamat, yakni millenarianisme. Millenarianisme merupakan ide apokalipsis yang sering ditemukan pada kelompok-kelompok tertindas yang tradisi dan kulturnya terganggu oleh pengaruh asing. Gangguan-ganguan itu bisa berasal dari kelompok lain atau penguasa otoriter. Apabila ganguan itu sudah semakin parah sehingga menimbulkan tekanan, kerugian dan kesulitan bagi kelompok tertindas (deprivasi) maka muncullah gerakan millenarian sebagai bentuk perlawanan kultural untuk menghilangkan penindasan akibat perubahan-perubahan sosial yang merugikan dan membahayakan status kelompok yang tertindas.”
Ketika saat ini, dunia Sunni juga makin populer isu Imam Mahdi dalam wacana religius, dapat dibuktikan bahwa aspirasi dan nasib dunia Sunni berada dalam ketertindasan, apakah ditindas oleh penguasa mereka sendiri atau oleh fenomena kolonialisme. Tetapi segera kita melihat bahwa ide atau tafsir politiko-religius tentang Imam Mahdi dalam dunia Sunni berkaitan dengan nasib dunia Sunni yang ditindas oleh peradaban sekular, baik oleh wujud kapitalisme, komunisme maupun zionisme seperti yang dialami secara dekat oleh dunia Arab Sunni.
Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa merebaknya wacana akan munculnya Imam Mahdi berkaitan erat dengan suasana mental psikologis dunia Sunni yang kalah dan tentindas oleh dunia Barat.
Mengutip dari Muhammad Rikza Muqtada: “Ideologi ini (mahdiisme – pen) secara sosial memang sengaja diciptakan, diatur dan disebarluaskan untuk mengontrol umat, bahkan kalau perlu diubah menjadi system of belief untuk memistifikasi sistem politik serta mengaburkan peristiwa-peristiwa politis yang sebenarnya terjadi.”
Lebih lanjut disebutkannya dalam penyelidikannya, bahwa “Dalam setiap sejarah peradaban keagamaan selalu diperkenalkan sejumlah gerakan keagamaan lengkap dengan ideologi dan dasar-dasar legitimasinya. Fenomena gerakan keagamaan tersebut muncul sebagai reaksi atas pelbagai tantangan yang dihadapi atau sebagai akibat dari tekanan eksternal. Oleh karena itu, persoalan penting sesungguhnya adalah bagaimana tantangan itu memuluskan jalan bagi munculnya gerakan keagamaan sekaligus bagaimana
gerakan agama itu memperoleh legitimasi dari teks agamanya. Gerakan millenarianisme Islam yang diwujudkan dalam kehadiran al-Mahdi justru sama sekali tidak mendapatkan legitimasi dari teks al-Qur’an, sementara al-Qur’an sudah sedemikian rupa terbakukan dalam bentuk al-mushaf al-utsmani, sehingga satu-satunya jalan untuk melegitimasi millenarianisme adalah melalui teks hadits.”
Penutup
Dalam teks hadist dunia Sunni, sifat dan sosok Dajjal sebagai rangkaian menuju peristiwa kiamat malahan lebih terperinci ketimbang Imam Mahdi. Peristiwa munculnya Dajjal melatari kemunculan Imam Mahdi dan kemudian turunnya Nabi Isa Alaihis salam. Imam Mahdi dan Nabi Isa bekerjasama menumpas Dajjal.
Dengan demikian, dalam alam pikiran dunia Sunni, umat Islam dibebaskan dari kediktatoran Dajjal oleh kerjasama Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘Alaihissalam.
Imam Mahdi dengan demikian bagi alam pikiran dunia Sunni dipahami sebagai alamat tibanya hari kiamat. Sampai sebelum munculnya Imam Mahdi, dunia Sunni seolah membiarkan nasibnya tidak dibimbing oleh suatu imam yang otoritatif secara religius dan hanya pasrah beradaptasi mengikuti sistem kekuasaan yang bermacam corak di berbagai negara yang mereka diami. Inilah yang membedakannya saat ini dengan dunia Syi’iy.
Sebenarnya problem otoritas religius ini dapat diatasi dalam dunia Sunni manakala kalangan tarekat dapat mengintegrasikan otoritasnya dengan para fuqaha. Sayangnya dua jalur ini seolah berdiri sendiri-sendiri di dalam dunia Sunni. Idealnya seorang mursyid merangkap juga seorang fuqaha yang diakui. Baru mungkin terjadi hal yang berbeda dalam panggung politiko-religius dunia Sunni kontemporer.
Ditulis oleh: Syahrul Efendi Dasopang, pengamat sosial keagamaan