ICC Jakarta – Asumsi manusia sebagai homo sapiens atau al-hayawan al-nathiq (spesies yang berfikir) ternyata dianggap keliru. Visi baru para ilmuan menemukan bukti porsi intelektualitas manusia hanya merupakan bagian terkecil dari totalitas kecerdasan manusia. Kalangan ilmuan menemukan tiga bentuk kecerdasan dalam diri manusia, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
IQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat di otak, EQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang berpusat di dalam jiwa, dan SQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas rohani yang mengambil lokus di sekitar wilayah roh.
Ketiga aktifitas kreatif di atas mengingatkan kita kepada tiga konsep struktur kepribadian Sigmund Freud (1856-1939), yaitu id, ego, dan superego. Id adalah pembawaan sifat-sifat fisik-biologis seseorang sejak lahir. Id ini menjadi inspirator kedua struktur berikutnya. Ego, bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari Id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Ego membantu seseorang keluar dari berbagai problem subyektif individual dan memelihara agar bertahan hidup (survival) dalam dunia realitas. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan kesempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan. Superego juga selalu mengingatkan dan mengontrol Ego untuk senantiasa menjalankan fungsi kontrolnya terhadap id.[1]
Meskipun tidak identik, IQ dapat dihubungkan dengan Id, Ego dapat dihubungkan dengan EQ, dan Superego dapat dihubungkan dengan SQ.
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan. Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga (SQ).
SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk penyiapan SDM di masa depan, internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.
Substansi Manusia dalam Al-Qur’an
Substansi manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini dapat difahami di dalam beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu’minn/23:12-14 sebagai berikut:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik (14).
Kata dalam ayat ini menurut para mufassir dimaksudkan sebagai unsur rohani setelah unsur jasad dan nyawa (nafsani). Hal ini sesuai dengan riwayat Ibn Abbas yang menafsirkan kata dengan (penciptaan roh ke dalam diri Adam)[2] Unsur ketiga ini kemudian disebut unsur ruhani, atau lahut atau malakut. yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Unsur ketiga ini merupakan proses terakhir dan sekaligus merupakan penyempurnaan substansi manusia sebagaimana ditegaskan di dalam beberapa ayat, seperti dalam Q.S. al-Hijr/15:28-29:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.
Setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para makhluk lain termasuk para malaikat dan jin bersujud kepadanya dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung kapasitas mamnusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (Q.S. al-An‘am/6:165) di samping sebagai hamba (Q.S. al-zariyat/51:56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat “paling rendah” (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan ruhani (SQ).
Kecerdasan Emosi dalam al-Qur’an
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi [5] dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Daniel Goleman menggambarkan bahwa otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keserdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.[5]
Jenis dan sifat emosi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
– Amarah: Bringas, mengamuk, benci, marah besar, jenkel, kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian bersifat patologis.
– Kesediahan: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
– Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, tidak tenang, negeri, kecut, fobia, dan panik.
– Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya mania.
– Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
– Terkejut: terkesima, takjub, terpana.
– Jengkel: hina, jijik, muak, mual, dan benci.
– Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur.[6]
Kelompok-kelompok emosi tersebut di atas menurut Paul Ekman dari Universitas California, akan menampilkan ekspresi wajah yang Universal di hampir seluruh etnik, artinya dari suku dan etnik manapun seorang yang mengalami berbagai jenis emosi di atas akan menampilkan ekspresi raut muka yang sama.[7]
Di dalam Al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan kalbu. Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (???), intuisi, dan beberapa istilah lainnya.
Jenis-jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam Al-Qur’an dapat sikelompokkan sebagai berikut:
* Kalbu yang positif :
- Kalbu yang damai (Q.S. al-Syura/26:89).
- Kalbu yang penuh rasa takut (Q.S.Qafl50:33)
- Kalbu yang tenang (Q.S. al-Nahl/16:6)
- Kalbu yang berfikir (Q.S.al-Haj/2:46)
- Kalbu yang mukmin (Q.S.al-Fath/48:4)
* Kalbu tang Negatif:
- Kalbu yang sewenang-wenang (Q.S. Gafir/40:35)
- Kalbu yang sakit (Q.S. al-Ahdzab/33:32)
- Kalbu yang melampaui batas (Q.S.Yunus/10:74)
- Kalbu yang berdosa (Q.S.al-Hijr/15:12)
- Kalbu yang terkunci, tertutup (Q.S.al-Baqarah/2:7)
- Kalbu yang terpecah-pecah (Q.S.al-Hasyr/59:14)
Kalau qalb di atas dapat diartikan sebagai emosi maka dapat difahami adanya emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi yang cerdas dapat dilihat pada sifat-sifat emosi positif dan emosi yang tidak cerdas pada sifat-sifat emosi negatif.
Eksistensi kecerdasan emosional dijelaskan dengan begitu jelas di dalam beberapa ayat berikut ini:
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S.al-Haj/22:46)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S.al-A’raf/5:179)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S.al-Jatsiyah/45:23)
Ayat-ayat tersebut di atas cukup jelas menggambarkan kepada kita bahwa faktor kecerdasan emosional ikutserta menentukan eksistensi martabat manusia di depan Tuhan. Menurut S.H.Nasr, emosi inilah yang menjadi faktor penting yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk eksistensialis, yang bisa turun-naik derajatnya di mata Tuhan. Binatang tidak akan pernah meningkat menjadi manusia dan malaikat tidak akan pernah “turun” menjadi manusia karena mereka tidak memiliki unsur kedua dan unsur ketiga seperti yang dimiliki manusia.[8]
Upaya mendapatkan kecerdasan emosional dalam Islam sangat terkait dengan upaya memperoleh kecerdasan spiritual. Keduanya mempunyai beberapa persamaan metode dan mekanisme, yaitu keduanya menuntut latihan-latihan yang bersifat telaten dan sungguh-sungguh (muj±hadah) dengan melibatkan “kekuatan dalam” (inner power) manusia. Bedanya, mungkin terletak pada sarana dan proses perolehan. Aktifitas kecerdasan emosional seolah-olah masih tetap berada di dalam lingkup diri manusia (sub-conciousnes), sedangkan kecerdasan spiritual sudah melibatkan unsur asing dari diri manusia (supra-conciousnes).
Catatan Kaki
[4]Kata emosi berasal dari akar kata movere (Latin), berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti bergerak menjauh”. Secara literal emosi diartikan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.(Lihat Daniel Goleman, Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional Mengapa Lebih Penting daripada IQ), Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2000, h. 7.) Emosi dalam arti ini dalam bahasa arab dapat disepadankan dengan kata qalb, berasal dari akar kata qalaba yang secara harfiah berarti “merubah, membalikkan, menjauhkan”. [Nasaruddin Umar, Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga bagian tulisan bertajuk Isyarat-isyarat IQ,EQ dan SQ dalam Al-Qur’an] [5]Goleman, op, cit., h. 15. [6]Ibid, h. 411-422. [7]Goleman, Op. cit., h. 412. [8]S.H.Nasr, Ideals and Realities of Islam, London: George Allen & Unwil Ltd, 1975, h. 18-19.