Oleh Khusnul Yaqin
Dalam sebuah perhelatan yang tampak sederhana namun sarat makna, terjadi peristiwa simbolik yang luput dari perhatian banyak orang. Di acara peringatan Maulid Imam Ali Ar-Ridha di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, Direktur ICC, Prof. Dr. Syaikh Abdolmajid Hakimollahi, menyerahkan sebilah keris berwarangka ladrang Solo berlapis emas kepada tamu agung, Ketua Parlemen Iran, Dr. Mohammad Bagher Ghalibaf. Di mata sebagian orang, ini mungkin hanya seremoni biasa. Namun bagi mereka yang mengerti makna kebudayaan dan akar spiritualitas Nusantara, penyerahan keris itu adalah penyambung dua dunia: dunia santri Indonesia dan dunia santri Iran.
Tak banyak yang tahu bahwa keris adalah artefak budaya yang sangat tua—jauh lebih tua dari masuknya Hindu, Buddha, Islam, apalagi Kristen di kepulauan Nusantara. Ia kemungkinan besar adalah peninggalan masyarakat Kapitayan, sebuah sistem kepercayaan lokal monoteistik yang telah mengenal konsep Ketuhanan Yang Maha Esa sebelum agama-agama besar datang menyebar. Keris bukan sekadar senjata. Ia adalah teks, adalah doa, adalah filosofi yang ditempa di atas bara perenungan spiritual dan nilai-nilai hidup.
Dalam tangan para Wali Songo, keris tidak kehilangan makna lamanya—justru dimurnikan. Ia menjadi simbol kearifan Islam yang membumi dan berakar. Sunan Giri, misalnya, yang dikenal sebagai ulama sekaligus raja, memiliki keris pusaka bernama Kyai Kala Munyeng. Cicitnya, Sunan Prapen, bahkan merekonstruksi keris tersebut menjadi Suro Angon-Angon, sebuah keris yang menemani spiritualitas bulan Suro. Para santri tak sekadar belajar kitab; mereka juga menempa batin lewat simbol-simbol budaya seperti keris—yang pamornya tidak hanya indah, tetapi memuat kosmologi hidup: dari konsep kehambaan, cinta, kesetiaan, hingga kesatuan manusia dengan Tuhan.
Pamor dalam keris bukan sekadar hiasan. Ia adalah naskah tak bersuara yang mengguratkan ajaran, seperti ungkapan tua: “curiga manjing warangka, jumbuhing kawula lan Gusti.” Bilah keris sebagai manusia, warangka sebagai Tuhan. Keris adalah miniatur kosmos dalam genggaman. Maka ketika keris diberikan kepada Mohammad Bagher Qalibaf, seorang jenderal sekaligus murid Imam Khomeini, itu bukanlah pemberian biasa. Itu adalah salam dari tradisi batin para santri Indonesia kepada sesama santri di tanah Persia.
Qalibaf bukan hanya pejabat negara. Ia adalah simbol generasi Iran yang ditempa oleh madrasah revolusioner—madrasah spiritual, intelektual, dan politik yang digerakkan Imam Khomeini. Dalam dirinya menyatu semangat santri dan perlawanan, doa dan disiplin, keilmuan dan keberanian. Maka ketika keris Indonesia itu berpindah tangan ke Qalibaf, sejatinya yang berpindah bukan hanya logam, tetapi ingatan panjang tentang peradaban santri yang lintas batas.
Keris itu kini bukan hanya benda pusaka, tapi jembatan budaya. Ia menghubungkan Solo dan Qom, Giri dan Khomeini, pesantren dan hauzah, serta Indonesia dan Iran. Ia mengajarkan bahwa meski berbeda bahasa dan sejarah, santri di mana pun memiliki satu ruh: ruh ketulusan, perjuangan, dan pencarian hakikat.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh identitas sempit, simbol seperti keris mampu merangkul kembali akar spiritualitas bersama yang universal. Di tengah riuh politik global, masih ada ruang untuk isyarat lembut yang mengikat kita sebagai sesama pencari kebenaran. Dan pada hari itu, di ICC Jakarta, sebilah keris menjadi saksi: bahwa peradaban santri tak mengenal batas negara. Yang ada hanyalah kesinambungan ruhani—dari bilah yang tajam menuju warangka yang setia. Dari Indonesia menuju Iran. Dari kita menuju mereka. Dalam damai. Dalam cahaya.