Kolonialisme dan penjajahan telah menjadi sejarah yang pahit dalam perjalanan peradaban manusia. Dari zaman kuno hingga era pasca-modern, pilar-pilar utamanya tetap tidak berubah: kapital sebagai faktor utama, toleransi terhadap kekerasan, dan pemitosan kapital dan kekerasan dengan menggerus realitas.
Pertama, kapitalisme menjadi pusat kekuatan dalam sistem kolonialisme. Pemerintahannya diprioritaskan untuk memajukan kapital, membagi dunia menjadi kawan dan musuh berdasarkan keuntungan ekonomi. Negara atau kelompok yang melayani arus kapital imperium baru dianggap sebagai kawan, sementara yang tidak dianggap sebagai musuh.
Kedua, kekerasan menjadi isu utama dalam menjalankan ideologi kapitalisme. Dominasi, hegemoni, dan kekerasan menjadi instrumen untuk mewujudkan ideologi tersebut. Proses normalisasi kekerasan membuatnya dianggap sebagai hal yang biasa, sehingga melahirkan subkultur perlawanan.
Namun, dalam perlawanan terhadap kapitalisme, kekerasan dari penjajah selalu ada. Meskipun pluralisme dan perlawanan muncul sebagai hasil dari keberanian melawan, sistem kapitalisme tetap anti-kemanusiaan dan penuh kekerasan.
Di tengah era modern, perang yang dipelopori oleh imperium kapitalis sering kali merugikan negara-negara lain di Asia Barat. Kampanye perang Amerika Serikat, terutama dalam genosida terbaru Israel di Gaza, menunjukkan bahwa ketika sibuk berperang, penjajah akan kembali menggunakan kekerasan sebagai cara mengatur dan memengaruhi opini publik.
Ketiga, menghapus kenyataan adalah strategi kolonialisme untuk mencapai tujuannya. Melalui media, kolonialisme mencoba menormalkan keputusan-keputusannya, membangun mitos, dan menghilangkan realitas yang tidak sesuai dengan narasinya. Media menjadi alat untuk membangun narasi yang dapat membenarkan keputusan-keputusan kolonialisme.
Namun, saat media telah menjadi instrumen untuk menormalisasi keputusan apa pun, masyarakat akan terjebak dalam pasca-realitas. Di dalamnya, narasi dari media menggantikan posisi realitas itu sendiri. Orang-orang menjadi terdepoltisasi, dan argumen-argumen diubah menjadi komoditas.
Dalam dunia pasca-realitas, media tidak lagi menjadi sumber informasi yang orisinal. Segala sesuatu dihubungkan dengan tontonan, dan pertunjukan dibuat oleh media. Pasca-realitas menciptakan masyarakat yang menerima kesimpulan dari media tanpa mempertimbangkan argumen yang sebenarnya.
Dalam dunia pasca-realitas, media lebih memprioritaskan jumlah like dan komentar daripada menyajikan argumen yang substansial. Ini adalah dunia di mana tontonan dan pertunjukan menguasai kehidupan manusia, dan di mana orisinalitas telah ditinggalkan untuk keuntungan yang instan dan sekilas.
Dengan demikian, melawan kolonialisme, kapitalisme, dan pasca-realitas bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan keberanian untuk menolak narasi yang dibangun oleh penjajah, dan untuk memperjuangkan kebenaran yang sesungguhnya.