Majelis Taklim Akhwat ICC – Zainab Al‑Kubro menyelenggarakan kajian rutin Ahlulbait pada Rabu, 11 Juni 2025, pukul 10.00 WIB di Aula ICC Jakarta. Acara dibuka oleh Ustaz Dr. Umar Shahab, yang memaparkan pengertian dasar Irfan serta memperkenalkan narasumber utama, Prof. Dr. Hossein Mottaghi (Direktur Yayasan Hikmat al-Musthafa dan Jamiah Al Mustafa Al Alamiyah Perwakilan Indonesia).
Dalam sesi talim, Prof. Dr. Mottaghi menegaskan bahwa seorang Muslim kontemporer—terutama di kalangan Syiah—harus menguasai setidaknya dasar‑dasar Irfan: gambaran umum, pandangan, dan prinsip‑prinsipnya. Ia mencatat bahwa di Indonesia terdapat sekitar 45 juta pengikut tarekat, kelompok yang umum dikenal menjalankan praktik sufistik, sehingga pemahaman Irfan sudah melekat dalam budaya keagamaan, namun belum semua memahaminya secara mendalam.
Prof. Dr. Mottaghi juga menjelaskan bahwa di bawah naungan Nahdlatul Ulama terdapat Thariqah Al‑Mu’tabarah, wadah yang menghimpun lebih dari 30 tarekat resmi. Menurutnya, penting memiliki kriteria jelas untuk memilih tarekat yang sesuai prinsip Islam dan menghindari yang berpotensi menyimpang.
Selanjutnya, beliau memaparkan dua landasan utama untuk memahami Islam secara komprehensif: ilmu filsafat dan Irfan. Ilmu filsafat mengajarkan cara berpikir benar, sedangkan Irfan—berbasis pencerahan batin—menggunakan hati sebagai sarana mengenal hakikat kebenaran. Orang yang hatinya peka dapat mengalami penyaksian batin (syuhud) tanpa semata bergantung pada penalaran rasional.
Prof. Mottaghi menyebutkan istilah‑istilah yang sering terdengar—syariat, tasawuf, hakikat, Irfan—dan menekankan pentingnya membedakan maknanya. Tasawuf, menurut beliau, identik dengan praktik lahiriah seperti pakaian kasar dan sikap zuhud, sedangkan Irfan berarti ‘mengenal’, menekankan aspek batiniah dan mencapai hakikat.
Sejarahnya, tasawuf muncul sebagai gerakan sosial pada abad ke‑2 Hijriah, menekankan gaya hidup sederhana dan penolakan kemewahan. Irfan baru berkembang pada abad ke‑5/6 Hijriah sebagai fenomena intelektual, melahirkan tokoh‑tokoh seperti Ibn Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Sadra. Perbedaan lain adalah tingkat penyebaran: tasawuf menjadi arus utama dalam masyarakat, sehingga rawan penyimpangan, sedangkan Irfan dijalankan secara lebih eksklusif dan terjaga dari kultus individu.
Untuk memetakan praktik sufistik di Indonesia, Prof. Dr. Mottaghi mengajak peserta menelaah dua tarekat terbesar—Naqsyabandiyah dan Qadiriyah—yang keduanya memiliki prinsip serupa dan silsilah guru yang bersambung kepada para Imam Ahlulbait. Sebagian besar literatur klasik Naqsyabandiyah awalnya berbahasa Persia sebelum diterjemahkan, tetapi banyak pengikut belum menyadari akar keilmuan mereka.
Dalam praktik Irfan terdapat dua istilah penting: suluk (perjalanan spiritual) dan riyadhah (latihan ruhani). Suluk melibatkan dzikir, pengawasan diri (muraqabah), ketaatan pada syariat, dan bimbingan guru agar tidak tersesat. Riyadhah, seperti praktik zuhud, menuntut keseimbangan—menghindarkan diri dari kemewahan tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial, meneladani Imam Ali a.s.
Sebagai contoh, beliau menyarankan bacaan dari Mafatihul Jinan—“Allâhumma akhrijnî min zhulumâtil wahmi, wa akrimnî bi nûril fahmi. Allâhummaftah ‘alaynâ abwâba rahmatika, wansyur ‘alaynâ khazâina ‘ulûmi- ka”—untuk memohon pancaran ilahi (isyraq) sampai ke kalbu sebelum memulai pembelajaran.
Menutup kajian, Prof. Dr. Mottaghi mengingatkan bahwa meski masyarakat Indonesia umumnya religius, kurangnya pengetahuan dapat membuat umat terjebak praktik menyimpang atau kepercayaan tradisional yang tidak berdasar. Kajian seperti ini penting untuk memperkuat literasi keislaman dan memastikan umat mengikuti ajaran yang benar.
Majelis Taklim Akhwat ICC – Zainab Al‑Kubro akan kembali mengadakan kajian rutin setiap Rabu pukul 10.00 WIB. Para jamaah akhwat muslimah diundang hadir untuk menggali lebih dalam khazanah spiritual Ahlulbait.