ICC Jakarta – Dalam al-Quran surah Yunus ayat 62 disebutkan bahwa: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” namun ketika kita membaca doa ziarah pada hari Jumat, yang merupakan ziarah kepada Imam Zaman Afs, disana disebutkan penggalan ziarah dengan ungkapan “Salam padamu wahai yang menghilangkan rasa takut orang-orang takut”? Bagaimana kita menjawab keraguan ini?
Takut dan gentar terdiri dari dua jenis: Takut yang terpuji dan gentar yang tercela.
Takut dan gentar yang tercela tidak ada artinya bagi para kekasih Allah. Takut kepada nasib, kepada manusia, kepada musuh dan singkatnya takut kepada khalayak. Merupakan takut yang tercela.
Diriwayatkan dari Abu Dzar Ra, “Rasulullah Saw mewasiatkan kepadaku untuk tidak takut di jalan Allah dari celaan orang yang suka mencela.”[1] Dan dinukil dari Imam Shadiq As bahwa beliau bersabda: “Orang beriman tidak takut kepada siapa pun selain Allah.”[2] Hal ini senada dengan diktum al-Qur’an yang menandaskan bahwa: “Sesungguhnya hanya setanlah yang menakut-nakuti para pengikutnya (dengan ucapan-ucapan tak berdasar dan fitnah). Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran [3]:175)
Adapun gentar dan takut yang terpuji dan bernilai adalah takut kepada kebesaran dan keagungan Ilahi. Menyitir Imam ‘Ali As yang bersabda, “Takut merupakan busana urafa.”[3] Atau sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa yang lebih mengenal Tuhan maka ia akan lebih takut kepada-Nya.” Atau, “Rasa takutku kepada Allah lebih besar daripada rasa takut kalian.”[4]
Dan hasil dari takut yang terpuji dan bernilai ini akan menuntun manusia mencari perlindungan di haribaan Allah Swt. Imam Ali As bersabda, “Apabila engkau takut kepada makhluk maka engkau akan lari darinya, namun apabila engkau takut kepada Khaliq (Pencipta) maka carilah perlindungan kepada-Nya.”[5]
Beberapa Tingkatan Takut
Dalam bahasa Khaja Abdullah Anshari, rasa takut terlahir dari adanya tawadhu (rendah hati). Sikap tawadhu inlah yang melahirkan rasa takut. Allah Swt berfirman, ““Wa amma man khafa maqam rabbihi.” (Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-nya).[6] Khauf adalah takut dan takut adalah pagar iman, candu takwa dan senjata orang beriman. Takut ini terdiri dari tiga jenis: Pertama khatir (perhatian), dan kedua muqim (berdiam) dan ketiga (menjadi) pemenang. Takut khatir datang di hati dan berlalu. Minimalnya takut datang menyapa sehingga apabila tiada takut maka iman juga tidak akan ada. Dimana apabila takut tiada maka iman tiada bermakna dan tiadanya takut pertanda tiadanya iman. Barangsiapa yang beriman maka sesungguhnya lantaran ia memiliki rasa takut. Takut yang kedua adalah muqim (berdiam) dimana takut ini menjaga seorang hamba dari berbuat dosa dan maksiat. Dengan memiliki rasa takut muqim ini maka ia akan menjauhkan pemiliknya dari hal yang haram dan memendekkan angan-angannya. Ketiga, takut yang menguasai (memenangi). Takut tersebut adalah makar yang membuahkan hakikat dan membuka jalan akhlak. Takut tingkatan ketiga ini menahan orang tersebut dari kelalaian. Tanda-tanda makar ada sepuluh: ketaatan tanpa kemanisan, banyak berbuat (dosa) tanpa taubat, tertutupnya pintu doa, ilmu tanpa amal, hikmah tanpa niat, tertutupnya pintu ketundukan, dan berbicara dengan orang-orang jahat; dan lebih unggul dari semua ini ada dua; memberikan iman kepada seorang hamba tanpa entifikasi dan manifestasi (ta’ayyun) atau mengembalikan hamba tersebut kepada-Nya. Dan takut ini merupakan takut orang-orang yang kembali. [7]
Penjelasan matlab ini bahwa hakikat takut adalah seorang salik karena putus asa dan hampa harapan untuk sampai pada tujuan atau menanti sesuatu hal yang dibenci ia tidak memperoleh situasi batin yang memantapkan hati (hâl) dan didera dengan depresi.
Untuk meningkatkan kondisi seorang salik, terdapat tiga pendekatan:
Pertama, Khauf (takut) yang bersifat umum. Dan takut ini adalah takut dari siksaan Ilahi dimana lantaran serangan yang ia dapatkan dari Tuhannya membuat ia stress dan depresi. Allah Swt berfirman, “Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (Qs. Al-Nur [24]:37)
Kedua: Khauf (takut) tingkatan menengah dan takut pada tingkatan ini adalah takut kepada makar Ilahi dimana orang-orang yang melakukan amalan murâqabah dan yang menata hatinya hadir dalam dirinya dzauq (kerinduan), yang menimpa mereka dan senantiasa merasa takut kalau-kalau emanasi Ilahi segera berakhir dan kelezatan hudhur (kehadiran) hilang dari dirinya. Kendati orang-orang yang berdiri pada tingkatan ini mengalami istidrâj (kondisi yang mendekatkan dirinya secara perlahan) yang tertahan dari fayyâdh (emanasi yang banyak) dan hanya merasakan faidh (emanasi tunggal) Ilahi. Allah Swt berfirman, “Dan orang yang takut saat menghadap Tuhan-nya memiliki dua surga.” (Qs. Al-Rahman [55]:46)
Ketiga, takutnya orang-orang besar dan pemilik hati. Takutnya mereka adalah kepada pengagungan Allah Swt yang menyaksikan keindahan Sang Kinasih dan terkuasai oleh rasa takjub dan heran. Dan pada keindahan Jamal-Nya, Jalaliyah-Nya muncul. Dengan Jamal, Kamal-Nya menjelma.
Dengan demikian kondisi orang-orang khusus (khas) dan awliya (para wali) adalah kondisi yang tidak dimilik orang lain. Takut yang diperoleh sebagai hasil dari penyaksian jalal Tuhan, manifestasi seluruh nama-nama Ilahi pada hatinya, detik-demi-detik semakin membesar jelmaan-Nya dan hanyut dalam kelezatan ruhani. Takut sedemikian tidak berseberangan dengan takut yang disinyalir dalam surah Yunus yang menyatakan, “Ketahuilah para wali Tuhan tiada rasa takut pada mereka juga tidak bersedih hati.”[9]
Karena itu ekspresi kepada pemimpin (maula) kita Imam Zaman Ajf kita berkata: “Salam padamu! Wahai yang menentramkan orang-orang yang takut dari keagungan dan kebesaran Allah Swt.[]
Catatan Kaki
[1]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 360.
[2]. Muhammad Rei Syahri, Mizân al-Hikmah, jil. 3, riwayat no. 5258.
[3]. Muhammad Rei Syahri, Mizân al-Hikmah, jil. 3, riwayat no. 5178.
[4]. Ibid, riwayat no. 5195.
[5]. Mulla Ahmad Naraqi, Mi’raj al-Sa’âdah, bab empat, barisan kelima, maqam ketiga, khauf Ilahi.
[6]. Sayid Hamid Husaini, Muntakhâb Mizân al-Hikmah, riwayat no. 2000.
[7]. Khaja Abdullah Anshari, Shad Maidân, Maidân-e 33, hal. 36.
[9]. Imam Khomeini Qs, Syarh-e Cihil Hadits (40 Hadits), hal-hal. 230-231.