Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah, pertama-tama marilah kita ucapkan puji dan syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, teriring shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita berharap mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima semua amal ibadah kita sepanjang bulan suci Ramadan, mengabulkan doa-doa kita, dan kita memasuki Idul Fitri Al-Mubarak ini dengan penuh ketulusan, dengan penuh kesucian, dan dengan hati dan jiwa yang sudah lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita di antara orang-orang yang kembali benar-benar kepada Allah dan lulus dalam setiap perjalanannya. Minal aidzin wal faidzin.
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah, ada seorang bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq ‘alaihissalam: apakah setelah satu Syawal Idul Fitri ini disunahkan puasa atau tidak disunahkan puasa? Kita seringkali dengar, ada sebagian orang, bahkan sebagian kiai di Indonesia, sebagian santri-santri di Indonesia, mereka melakukan yang namanya puasa enam. Yang lebarannya disebut orang-orang Jawa dengan lebaran ketupat.
Puasa enam memang dikenal di kalangan Ahlussunnah, bahkan dianggap sebagai sebuah puasa yang sangat-sangat dianjurkan, jangan sampai ditinggalkan. Bahkan salah seorang dari murid Imam Ja’far ash-Shadiq ‘alaihissalam bertanya kepada Imam: apakah setelah Idul Fitri ini kami disunahkan puasa? Imam ‘alaihissalam mengatakan, sebagaimana Idul Adha tiga hari setelahnya diharamkan puasa — Idul Adha ada yang namanya Yaumut Tasyriq: 10, 11, 12, 13 — sebagaimana Idul Adha tiga hari setelahnya diharamkan puasa, Imam mengatakan: tidak disunahkan puasa tiga hari Syawal, 1, 2, 3 Syawal. Bahkan Imam mengatakan, tiga hari dalam bulan Syawal itu — 1, 2, dan 3 Syawal — itu Imam menyebutnya sebagai hari makan dan minum.
Para ulama mengatakan tidak terkenal, tidak ma’ruf di kalangan Ahlulbait bahwa puasa enam itu adalah puasa sunnah. Orang yang ingin puasa, silakan puasa, tetapi tidak dianggap sebagai puasa sunnah di kalangan Ahlulbait. Tidak dianggap sebagai sesuatu yang masyhur di kalangan Ahlulbait.
Mukminin dan mukminat, yang coba ingin saya kupas adalah kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq, mengatakan: Idul Fitri satu Syawal, dua, dan tiga dianggap, disebut oleh Imam Ja’far sebagai hari makan dan minum, hari di mana orang menghargai nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari di mana orang menikmati apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepadanya. Allah suka seorang hamba itu menjalankan rukhsah-nya, menjalankan izinnya, sebagaimana Allah suka seseorang itu menjalankan perintah-perintah-Nya.
Ada orang bertanya: kenapa misalnya musafir di zaman sekarang ini harus batal puasanya, padahal perjalanannya sangat ringan? Dalam hukum puasa, dalam fatwa yang terakhir (fatwa jadid), Sayyid Sistani mengatakan kalau orang menempuh perjalanan 22 km, Sayyid Ali Khamenei mengatakan kalau orang menempuh perjalanan 20 km (pulang-pergi 40 km). Sistani 44 km, Imam Khomeini 22,5 km. Ikhtilaf di kalangan para ulama tentang yang namanya hudud as-safar atau masafat as-safar (jarak tempuh). Imam Khomeini 22,5 km, Sayyid Ali Sistani 22 km, Sayyid al-Qa’id 20 km.
Ada yang namanya haddul masafa, jadi kalau orang sudah melebihi batas itu, maka dia wajib batal puasanya kalau memang dia akan pergi ke sebuah tempat kurang daripada 10 hari. Maksudnya, melewati batas kota, bukan batas rumah. Misalnya Jakarta, batas kotanya di mana? Mau pergi ke Bogor, kalau lebih daripada 20 atau 22 km lebih, maka itu disebut sebagai musafir. Kalau misalnya lebih daripada 10 hari atau minimal 10 hari di sana, dianggap sebagai muqim.
Maka orang bertanya: bukankah jarak yang ditempuh itu dekat? Kalau dulu mungkin sulit: naik unta, naik kuda, jalan kaki, panas terik, susah. Tapi sekarang kan orang naik mobil, orang pergi ke Surabaya satu jam sampai, perjalanan begitu mudah, semuanya air conditioned dan sebagainya. Kalau orang bertanya, kenapa harus batal puasanya, bukankah dia masih kuat untuk puasa? Kenapa harus salatnya itu dua rakaat, dianggap musafir, kenapa tidak harus empat?
Imam Ja’far ash-Shadiq ‘alaihissalam mengatakan: “Allah suka seorang hamba itu mengambil izinnya sebagaimana Dia suka seorang hamba itu menjalankan perintahnya.” Jadi hukum-hukum dalam agama ini sifatnya ta’abbudi, artinya sepenuhnya kita menghambakan diri kita kepada Allah. Apapun yang Allah perintahkan, kita lakukan. Itu namanya ta’abbudi.
Ada orang bertanya, dan itu pertanyaan iblis ketika iblis dikeluarkan dari surga. Salahnya iblis apa? Tidak mau sujud kepada Adam karena dia tidak mau sujud kepada Adam. Ada seorang yang konon katanya seorang ‘arif billah, dia bilang begini: “Sesungguhnya iblis itu katanya seorang yang tauhidnya paling tinggi sebab dia tidak mau sujud kepada selain Allah.” Dia tidak mau sujud kepada selain Allah, sesungguhnya dia adalah muwahhid yang paling tinggi karena dia tidak mau sujud kepada selain Allah. Bukan itu jawabannya.
Allah suka siapapun mengambil perintah-Nya, apapun bentuk perintah-Nya. Kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutuk iblis? Karena dia tidak mau mendengar perintah Allah. Allah memerintahkan: “Kamu harus sujud kepada Adam.” Perintah Allah kepada semua makhluk yang ada di surga pada waktu itu: malaikat dan iblis. Jadi Allah murka kepada si iblis karena si iblis tidak mau secara mutlak patuh kepada Allah, milih-milih perintah, dan dia merasa bahwa: “Aku tidak mau sujud kepada Adam karena yang layak disujud itu hanya Allah.” Bukan itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan siapapun hambanya patuh kepada perintah Allah apapun perintahnya.
Itulah pegangan dalam mazhab Ahlulbait ‘alaihissalam: wajib secara mutlak setiap hamba patuh kepada Allah, walaupun itu bentuknya misalnya adalah rukhsah-rukhsah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Begitulah ketika kita berada di bulan Syawal yang mulia ini. Imam Ja’far ‘alaihissalam mengatakan: makan, minum, silakan. Kita patuh kepada apa yang dikatakan oleh Al-Imam Ja’far ash-Shadiq ‘alaihissalam. Setelahnya, kalau ingin puasa, ya puasa silakan. Yang perlu kita tangkap dari pesan Imam Ja’far ‘alaihissalam adalah bagaimana kita menghargai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagaimana kita mensyukuri Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hari-hari Idul Fitri adalah ungkapan syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ungkapan ta’dzim kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada seorang ulama besar, beliau mengatakan ketika kita berbicara tentang syukur kepada Allah, yang bulan-bulan Syawal ini adalah betul-betul ungkapan syukur kita kepada Allah. Ada tiga kelas syukur.
Saya awali dulu dengan sebuah riwayat daripada Imam Ja’far ash-Shadiq ‘alaihissalam. Saya bacakan riwayatnya. Saya ketika baca riwayat ini, saya rasakan riwayat ini benar-benar sebuah tuntunan bagi kita terutama di bulan-bulan yang mulia ini, berbicara tentang syukur. Imam Shadiq ‘alaihissalam berkata begini:
“Ada seseorang yang karena minum air satu teguk, minum air, Allah kemudian memberikan kepadanya surga.”
Bagaimana ceritanya minum seteguk air tiba-tiba Allah berikan kepadanya surga?
Imam bilang: ada hamba Allah, ketika dia minum air, enak dia minum air, dia berhenti, dia menyebut nama Allah, dia memuji Allah: Alhamdulillah. Anda bisa bayangkan, seseorang yang sangat haus ketika dia dapati satu gelas air yang dingin, bisa jadi dia lupa, dia minum sampai dia puas. Bukan itu maksudnya. Maksudnya adalah orang ingin minum air, haus dia, dia utamakan dulu ingat sama Allah: Bismillah, minum. Belum hilang hausnya, dia berhenti, dia puji Allah. Dia minum lagi, dia letakkan lagi, dia ingat Allah, dia puji Allah, dia minum lagi. Dan karena itu kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan dia dalam surga.
Bagaimana kita bisa pahami ayat ini, riwayat ini? Dibilang ada tiga kategori orang yang syukur. Perhatikan.
Pertama, ada orang syukur karena melihat nikmat itu. Lihat air, Masya Allah, minum, syukur dia sama Allah karena air, karena nikmat yang dia dapatkan daripada Allah, dia syukur.
Yang kedua, katanya, ada orang yang syukur kepada Allah bukan hanya karena nikmat, bahkan dari ujian Allah pun dia syukur. Itu yang kedua.
Yang kedua, katanya, ada orang yang syukur kepada Allah bukan hanya karena nikmat, bahkan dari ujian Allah pun dia syukur. Itu yang kedua.
Yang ketiga, orang bersyukur kepada Allah bukan karena nikmat yang dia lihat, bukan juga karena ujian yang dia lihat, tetapi yang dia lihat adalah Allah sebagai pemberi nikmat. Itulah kenapa Imam Ja’far ash-Shadiq alaihissalam mengatakan: ada orang minum seteguk air tapi masuk surga. Kenapa? Karena yang dia lihat adalah Allah yang memberikan air itu. Yang dia lihat adalah Allah, pemilik seluruh isi alam semesta. Yang dia lihat adalah Allah yang memberikan segala-galanya kepadanya. Dia sudah melampaui hanya sekadar melihat objek. Dia sudah melampaui hanya sekadar kepuasan psikologis. Tapi yang dia lihat adalah Allah sebagai pemberi segala nikmat.
Itulah kenapa Imam Ali bin Abi Thalib alaihissalam mengatakan: Aku tidak melakukan apa-apa, aku tidak melihat apa-apa. Maksudnya: aku tidak melihat apa pun, aku tidak melakukan apa pun, kecuali sebelumnya aku melihat Allah, setelahnya aku melihat Allah.
Al-Imamul Khomeini dalam kitabnya Adabul Ma’nawiyyah fis-Shalah, Imam Khomeini dalam sebuah kitab tentang Asrarus Shalah (Rahasia-rahasia Salat), ketika beliau berbicara tentang hudurul qalb fis-shalah, ketika beliau berbicara tentang kehadiran hati dalam salat, dia bilang: ada orang hatinya hadir dalam salatnya — jayyid, bagus, Alhamdulillah, hatinya hadir dalam salat. Tapi ada orang yang lebih daripada itu, ada orang hatinya hudhur fil ibadah, ketika dia ibadah hatinya hadir.
Tapi ada orang yang lebih tinggi: hatinya bukan hanya hadir fil ibadah, wa innama hudhur fil ma’bud — hatinya hadir di dalam sesembahannya, Allah subhanahu wa ta’ala.
Begitulah Ahlul Bait mengajarkan kepada kita bagaimana semestinya kita dengan Tuhan kita, Allah subhanahu wa ta’ala, dalam segala aktivitas kita. Bukan hanya dalam salat kita, tetapi dalam aktivitas hidup kita. Kita berharap, mudah-mudahan setelah bulan suci Ramadan, ketika kita sudah melewati ibadah-ibadah ritual kita dengan baik — yang mudah-mudahan Allah terima semua amal ibadah ritual kita, insya Allah — kita juga bisa membentuk diri kita lebih baik daripada hari-hari sebelumnya, insya Allah.
Semoga Allah gabungkan kita sebagai orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah, bersyukur kepada Ma’bud, bersyukur kepada Allah dari hati kita yang paling dalam. Dan semoga Allah gabungkan kita bersama Muhammad wa Ali Muhammad.
Khotbah Kedua
Sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah, dalam khotbah yang kedua ini khatib sekadar ingin mengingatkan kita semua tentang betapa pentingnya iman kita, takwa kita kepada Allah, amal saleh kita di hadapan Allah, karena itulah yang merupakan bekal yang bisa kita bawa kepada Allah. Itulah kenapa Al-Qur’an mengatakan: “Wa tazawwadū fa inna khaira z-zādit-taqwā” — bawalah bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Banyak orang di dunia ini yang menumpuk hartanya, lalu kemudian dia tidak membawa sedikit pun hartanya dalam perjalanannya ke liang lahatnya.
Dalam sebuah riwayat yang sangat masyhur, bahkan disebut sebagai riwayat yang sahih sanad, dalam Sunni dan Syiah riwayat ini ma’ruf. Dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa ada tiga tipe manusia dengan harta yang dia punya, ada tiga tipe manusia dengan sahabat-sahabatnya di dunia.
Tipe pertama, ada orang yang punya harta, yang punya — alhamdulillah — nikmat Allah dalam dirinya, lalu kemudian sayangnya harta yang dia miliki itu hanya berhenti dengan dia dan keluarganya. Sehingga ketika dia pergi menghadap Allah, sahabat-sahabatnya, keluarganya, bahkan tidak bisa menikmati harta-harta yang ia miliki.
Ada tipe yang kedua, orang punya harta, tapi ketika dia wafat, ya hartanya membantu sedikit, tetapi kemudian diperebutkan oleh ahli warisnya, lalu kemudian dia rugi dunia dan akhiratnya.
Yang ketiga, ada orang punya harta, mā shā’a Allāh, tapi ketika dia masuk ke dalam liang lahatnya, apa yang dia tinggalkan tidak sedikit pun menyenangkan dia di dalam liang lahatnya, bahkan menjadi sebuah azab dan derita bagi dirinya.
Mā shā’a Allāh, beberapa waktu yang lalu ada seorang miliuner, bahkan billionaire, di Kuwait. Rumahnya dari emas, bahkan tempat toiletnya pun dari emas. Tiba-tiba mati mendadak. Dia Wahhabi. Dia dikuburkan dan kuburannya tidak boleh dihias, kuburannya hanya berbentuk tanah, bahkan tidak boleh ada nisan sekalipun. Seorang wartawan mengambil foto, dia bilang, rumahnya penuh dengan emas, tapi lihatlah di mana dia sekarang berada. Subhānallāh, begitulah hidup manusia.
Karena itu, mukminin dan mukminat, ingatlah firman Allah dalam surah At-Takāthur:
Alhākumu at-takāthur
Ḥattā zurtumu al-maqābir
Kallā sawfa ta‘lamūn
Thumma kallā sawfa ta‘lamūn
Kallā law ta‘lamūna ‘ilma al-yaqīn
Latarawunna al-jaḥīm
Thumma latarawunnahā ‘ayna al-yaqīn
Thumma latus alunna yawma idhin ‘ani an-na‘īm
Ayat terakhir mari sama-sama kita renungkan ketika Allah berfirman, “Kemudian setiap satu di antara kalian akan ditanya bagaimana nikmat yang kalian dapatkan daripada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mudah-mudahan Allah jadikan kita di antara orang-orang yang senantiasa mensyukuri semua nikmat Allah, menjadikan kita orang-orang yang bisa selalu belajar dari Aimmah Ahlul Bait ‘alaihimussalām, bagaimana bisa melihat Allah sebelum melihat segala-galanya, sehingga setiap langkah perjalanan hidup kita akan senantiasa tertuntun sampai kepada akhir daripada hayat kita.
Wassalām.