ICC Jakarta – Setelah kita membahas tentang keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain dalam al-Quran dari sisi penciptaan, sekarang kita akan membahas tentang hal-hal apa saja yang sebenarnya menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling unggul di sisi Allah Swt. Setidaknya ada dua faktor yang menjadikan manusia lebih unggul dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya:
- Iman Kepada Allah Swt
Manusia sudah menyembah Allah Swt semenjak zaman dahulu. Mereka menyembah-Nya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya serta merasakan hubungan yang dalam dan intens sebelum manusia mencapai fase pembaharuan pemikiran filsafat atau pemahaman yang lebih sempurna dengan metode argumentatif. Iman ini bukan lahir dari pertentangan kelas atau lahir dari kreasi kelompok penindas (borjuis) yang zalim untuk memberikan alasan agama (untuk menyucikan) tindakan penindasan mereka, atau lahir dari kelompok tertindas (proletar) yang terzalimi untuk membebaskan mereka. Hal ini karena iman sudah lebih dahulu ada sebelum sejarah pertentangan kelas.
Iman ini juga tidak lahir dari rasa takut manusia serta rasa ingin tahu menusia terhadap berbagai bencana alam dan caranya yang berlawanan. Tetapi iman ini merupakan ungkapan dari dorongan sejati di dalam diri manusia untuk berhubungan dengan Penciptanya dan hati yang penuh kesadaran akan menyadari hubungan manusia dengan Penciptanya dan keberadaan-Nya ini melalui fitrahnya.
Setelah lewat masa ini, manusia mulai melakukan pemikiran filosofis. Dari kegiatan ini, manusia menyimpulkan konsep-konsep universal dari berbagai hal yang mengelilinginya seperti: ada (wujud) dan tidak ada (’adam), niscaya (wajib), mungkin (mumkin), dan mustahil, tunggal dan jamak, kompleks dan sederhana, partikular dan universal, lebih dulu (taqaddum) dan terakhir (taakkhur), sebab dan akibat. Seringkali penggunaan konsep-konsep ini dan penerapannya diarahkan dalam bidang argumentasi untuk memperkokoh iman yang sejati kepada Allah Swt dan kemudian diabsahkan dengan metode-metode pembahasan filosofis. Ketika metode eksperimentasi mulai ada di bidang pembahasan ilmu, sebagai salah satu sarana pengetahuan, muncul kepercayaan bahwa indra dan teori ilmiah sebagai titik tolak primer untuk mengkaji berbagai rahasia dan hukum tersebut.
Di antara teori tersebut adalah pernyataan Aristoteles yang menyatakan bahwa hubungan antara benda bergerak di ruang hampa udara dan gaya gerak adalah hubungan langsung. Dia berkata, “Benda bergerak secara langsung dan akan diam ketika daya gerak selesai.” Tetapi setelah itu datang Galileo menegaskan teori itu dengan melakukan eksperimentasi empiris. Dia berkata, “Benda bergerak tetap bergerak. Benda yang diam akan tetap diam selama tidak dipengaruhi oleh daya yang lain. Ketika penggerak diam, maka yang diam akan bergerak.”
Kecenderungan empiris ini telah memaksa para peneliti untuk membarengi kesimpulan-kesimpulan ilmiah mereka dengan penggunaan akal agar bisa sampai kepada hakikat yang sebenarnya dan untuk menganalisis fenomena alam semesta. Tak seorang pun ilmuwan alam yang melepaskan diri dari akal dan hanya membatasi diri pada indra dan eksperimen selamanya. Hal ini karena proses keilmuannya bersandar kepada dua tahap. Pertama, proses mengumpulkan berbagai catatan yang didapatkan dari eksperimetasi dan pengamatannya. Kedua, membandingkan eksperimen-eksperimen ini dengan kesimpulan akalnya. Kita tidak menemukan seorang ilmuwan pun yang bisa berlepas diri dari kedua tahap ini selamanya. Karena itu tidak mungkin mencukupkan diri pada indra tanpa merujuk kepada akal, karena pada proses akhirnya adalah pengambilan kesimpulan dan mengajukan argumentasi atas berbagai kesimpulannya. Bisa jadi tahap rasional telah melampui banyak penyingkapan hakikat dan fenomena alamiah.
Misalnya, hukum gravitasi Newton. Newton tidak mengetahui gaya gravitasi dengan langsung secara indrawi menyaksikannya dan dia tidak mengindra bahwa gaya gravitasi merupakan gaya tarik menarik yang besarnya berbanding lurus dengan massa masing-masing benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya. Dia mengetahui hal ini hanya karena dia menyaksikan batu jatuh ke tanah ketika dia sedang melamun, bulan yang berputar mengelilingi bumi dan bintang-gemintang yang berputar mengelilingi matahari. Bersamaan dengan menyaksikan semua ini, dia mulai berfikir dan dia terus berusaha dalam upaya umumnya untuk menafsirkannya dengan menggunakan teori-teori Galileo mengenai percepatan yang sama bagi benda-benda yang jatuh (jika hambatan udara diabaikan) ke bumi dan bertingkat jika dijatuhkan dari tingkat yang miring. Newton juga menggunakan hukum Kepler yang berbicara mengenai gerak bintang. Kepler berkata, “Kuadrat periode planet mengitari matahari sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata planet dari matahari.”
Yang dinantikan adalah mempresentasikan kecendrungan empiris (ilmiah) ini sebagai sokongan yang kuat dan bernas bagi iman kepada Allah Swt karena kemampuannya dalam menyingkap berbagai macam keharmonisan dan dalil-dalil hikmah yang mengantarkan kepada adanya Sang Pencipta Yang Mahabijaksana. Hanya saja para fisikawan dalam profesi mereka sebagai ilmuwan fisika tidak tertarik untuk menyingkap masalah ini. Dampak dari kecenderungan ini adalah segera lahir arus filsafat yang mencoba untuk memfilosofiskan kecendrungan empiris ini. Arus ini mendekalarasikan bahwa satu-satunya sarana valid bagi pengetahuan adalah indra. Karena itu segala sesuatu yang tidak terindra dan tidak dilakukan melalui pendekatan empiris baginya dengan satu cara atau cara lainnya, maka manusia tidak lagi memiliki suatu metode lain untuk menetapkannya. Dengan penafsiran filosofis seperti ini, arus empirisme digunakan untuk menyerang ide iman kepada Allah Swt, karena Allah adalah wujud yang tidak terindra, yang akibatnya tidak ada jalan untuk menetapkan keberadaan-Nya.
Yang mendorong ke arah penafsiran ini bukanlah para ilmuwan yang bergiat di bidang empiris, tetapi hal ini terjadi di tangan sebagian filosof yang bergelut di bidang psikologi. Mereka menafsirkan arus empirisme ini dengan tafsir filosofis yang keliru. Mereka berpendapat bahwa, “Semua kalimat yang tidak bisa dibuktikan benar dan salah dengan metode empiris adalah perkataan yang tidak bermakna.
Komentar saya terhadapnya adalah bahwa dalam perkataan mereka ini terdapat kontradiksi, karena tidak mungkin membuktikan klaim mereka ini melalui metode empiris dan eksperimentasi. Ketidakmungkinan ini terjadi karena pernyataan tersebut bersifat universal, sementara yang bersifat universal berada di luar wilayah indra. Karena indra tidak mencerap selain pada wilayah partikular tertentu yang terbatas. Oleh karena itu, klaim mereka sendiri memerlukan argumentasi melalui metode rasional, bukan hanya empiris.
Dengan demikian yang harus diperhatikan oleh setiap orang adalah pembahasan rasional dari dalil-dalil rasional dan argumentasi demonstratif yang benar dalam setiap masalah yang sangat vital, menyingkirkan sikap taklid. Dalam kaitan ini, masalah-masalah akidah tidak membutuhkan taklid.
Mengingat manusia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia di dalam Islam, maka di satu sisi, terdapat ayat-ayat mulia di dalam al-Quran yang mendorong setiap orang untuk melakukan perenungan mendalam (tadabbur) dan berpikir secara maksimal (tafakkur) mengenai ciptaan Allah Swt. Di sisi lain, ayat-ayat ini mendorong manusia untuk mengenal diri insani. Semua penekanan ini ditujukan hanya untuk menyampaikan manusia kepada derajat tertinggi, yaitu keyakinan sempurna mengenai eksistensi Sang Pencipta yang Esa, Sang Pengatur dan mengimaninya, yang dibarengi dengan menghapus semua bentuk kesyirikan yang muncul di kalangan orang-orang bodoh dan orang-orang yang lemah akalnya.
2. Takwa
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَ هُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيْنَهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيْنَهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS. al-Nahl [16]:97).
Standar dalam perbuatan manusia adalah takwa. yang termasuk dalam bagian takwa adalah akhlak yang mulia, seperti iman beserta derajat-derajatnya, ilmu yang bermanfaat, akal yang teguh, perilaku yang baik, kesabaran dan kelemah-lembutan. Dengan demikian yang layak dipuji adalah nilai ketakwaan. Dengan takwa, seorang pria akan naik derajatnya. Begitu juga seorang wanita. Allah Swt telah mencela perendahan diri wanita di dalam firman-Nya, Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (QS. al-Nahl [16]:58-59).
Penguburan anak perempuan hidup-hidup dilakukan di kalangan Bani Tamim setelah perang mereka dengan Nu’man bin Mundzir. Sebagian anak perempuan mereka tertawan sehingga menyebabkan mereka marah.
Kemudian al-Quran turun untuk menghapus tradisi keji ini, yaitu dalam firman Allah Swt, dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh (QS. al-Takwir [81]:8-9).
Meskipun manusia memiliki cara-cara untuk dengan segala penyucian, penghormatan, pemuliaan dan pengagungan serta semua fasilitas yang demikian luar biasa melimpah, manusia tetap saja dalam keadaan lemah dan hina, dipenjara oleh berbagai keinginan serta dibelenggu oleh syahwat… Dia adalah makhluk lemah yang ditaklukkan oleh nafsu sesaat serta ditundukkan oleh hawa nafsunya sehingga dia terjauhkan dari amal-amal saleh. Seandainya tidak ada rahmat Allah, niscaya dia akan ditimpa kerugian yang nyata. Ya, hanya dengan kelembutan Rabbani dan rahmat Ilahi yang mencapai makhluk yang lemah ini sehingga dia bisa menyelamatkannya dari hawa nafsu yang rendah dan mengangkatnya ke alam tinggi. Semua itu (proses naik ke alam tinggi) disebabkan kemuliaan jiwa ketika dia bertakwa kepada Allah Swt dengan sebenar-benarnya takwa dan ketika jiwa menjaga dirinya dari hal yang diharamkan baginya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt, …dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal-(nya) (QS. al-Nazi’at [79]:40-41).[]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sisi keimanan dan ketakwaanlah yang akan membuat manusia menjadi makhluk yang paling unggul di alam semesta, bukan takaran-takaran dan parameter-parameter fisik dan materi atau lainnya.