ICC Jakarta – Kehidupan keluarga penuh warna, beberapa hal harus tuntas terselesaikan untuk menjaga rumah tangga tetap utuh. Bagaimanakah cara menghadapi jika suami cenderung egois.
Tanya:
Assalamu’alaikum wr.wb.
Ustadzah, suami saya sangat egois. Dia tak pernah peduli apa yang sedang terjadi di rumah, tak pernah menanyakan kebutuhan dan keinginan kami. Tapi dia selalu berharap saya menjadi istri sempurna. Bagaimana saya harus menghadapinya?
Jawab:
Wa’alaikum salam wr. wb.
Banyak pertanyaan senada dengan pertanyaan Ibu yang masuk ke saya. Ada yang menanyakan bagaimana menyikapi suami yang berprofesi ustadz, tapi zalim dan tidak mengamalkan ilmunya di rumah. Ada pula yang menanyakan apa suami harus tetap ditaati meski membiarkan istri melakukan semua pekerjaan dari mengurus rumah sampai mencari nafkah. Bahkan ada istri yang sudah merasa begitu lelah, sampai menginginkan perceraian.
Ibu yang dirahmati Allah, masalah keluarga memang masalah yang cukup kompleks; tapi bukan berarti tidak ada solusinya. Hanya saja, kadang seseorang gagal menyelesaikan masalah keluarga karena tidak memiliki prinsip, iman kokoh dan sikap tepat saat menghadapi masalah.
Menurut saya ada beberapa langkah yang harus Ibu tempuh:
Pertama, untuk pribadi Ibu sendiri:
- Benahi prinsip hidup Ibu. Ibu pasti sudah tahu bahwa kita hidup hanya untuk Allah swt dan Rasul-Nya. Maka jadikanlah Allah swt sebagai tolak ukur Ibu; bekerja dan istirahat, marah dan ramah, cinta dan benci Ibu hanya karena Allah semata. Dengan demikian, Ibu tidak akan begitu sedih apalagi sampai berencana mengambil jalan pintas karena perbuatan pihak-pihak di sekeliling Ibu, termasuk suami.
Sebagai contoh, andaikan satu-satunya mata pencaharian Ibu adalah menjadi pelayan di restoran maka Ibu pasti akan mentaati perintah bos Ibu dengan bekerja sebaik-baiknya. Antara lain, melayani pelanggan restoran dengan sopan dan sabar meski kadang pelanggan membuat Ibu kesal dan sedih. Nah, Allah swt adalah bos hakiki kita. Sementara suami, anak, orang tua dan lainnya adalah pelanggan kita. Kita harus menghormati dan bersikap lembut pada mereka hanya karena Allah swt semata.
- Pahamilah prinsip ketaatan dalam Islam
Tentu Ibu pernah mendengar kisah iblis yang tidak mau menuruti perintah Allah untuk bersujud pada Nabi Adam as. Iblis yang sudah beribadah + 6000 tahun itu dikutuk Allah, terusir dari surga dan masuk dalam golongan orang-orang kafir. Mungkin hal ini terlihat sepele tapi masalah asli di sini adalah iblis tidak melihat siapa pemberi perintah; esensi sujud pada Nabi Adam bukan menyembah beliau tapi menyembah Allah swt. Lalu dalam kisah Nabi Ibrahim as, kita saksikan Nabi Ibrahim langsung menjalankan perintah Allah swt untuk menyembelih putranya karena kecintaan dan ketaatan beliau pada Allah begitu besar. Karena itulah Allah mengganti Nabi Ismail dengan domba dan mengangkat Nabi Ibrahim menjadi imam.
Jadi Ibu harus tetap mentaati suami meski dia zalim, egois, atau tidak menjalankan tanggung jawabnya. Tentu saja selama ketaatan itu tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah. Kalau suami memerintahkan ibu berbuat yang haram, tentu ibu tidak boleh taat padanya.
Rasulullah saw bersabda, “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud pada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri bersujud pada suaminya”. Di sini Rasulullah tidak meminta: ‘taatlah pada suami yang baik saja’. Tapi Rasulullah menyebut secara mutlak ‘suami’. Ketika istri diminta taat pada suami bukan berarti suami lebih mulia dari istri. Sebenarnya di sini ada ujian Allah; sampai sejauh mana keikhlasan dan penghambaan istri pada Allah dan sejauh mana suami mampu mengemban amanat Allah. Jadi niatkanlah menaati suami sebagai upaya ibu menaati Allah. Jadikanlah keridhoan Allah sebagai tujuan utama, bukan keridhoan dan penghargaan sesama manusia.
- Ambillah pelajaran dari sejarah, misalnya kisah Asiah. Asiah adalah wanita terbaik di masanya meski suaminya adalah pria terkutuk yang diazab Allah. Betapa tinggi kesabaran Asiah hingga masih bisa mempertahankan kehidupan rumah tangganya. Nah, apakah kekejaman dan kezaliman suami Ibu sudah melebihi Fir’aun? Jadi Ibu harus belajar untuk sabar dan istiqamah dari manusia-manusia agung dan mulia.
- Jangan berlaku serupa.
Jangan karena suami sudah zalim lalu Ibu juga berlaku zalim padanya atau membalas dengan sikap-sikap mengabaikan keluarga. Ingatlah bahwa setiap manusia kelak harus bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Suami yang zalim kelak akan dimintai tanggung jawab dan mendapat balasan. Bila kita ikut berbuat zalim, kelak kita pun akan mendapat balasan, naudzubillah.
Kedua, langkah ini hendaknya dilakukan bersama-sama dengan suami:
- Perdalam ilmu. Suami-istri sebaiknya memiliki ilmu yang cukup tentang berbagai hal, khususnya tentang keluarga. Jangan enggan mengikuti pengajian, seminar ataupun training tentang tips menciptakan keluarga ideal atau cara mendidik anak. Jika hanya satu pihak yang aktif akan timbul ketimpangan dan kesulitan menyatukan langkah saat mengatur keluarga atau mencari solusi setiap masalah yang dihadapi.
- Jalin komunikasi yang baik. Sering dijumpai suami istri yang tidak mampu mengungkapkan keinginan dan perasaannya dengan baik pada pasangan. Akibatnya, timbul kesalahpahaman yang memicu emosi dan kemarahan. Komunikasi yang tidak lancar seperti ini berpotensi merusak hubungan suami istri bahkan bisa mengakibatkan perceraian.
- Benahi tradisi dan mitos yang salah. Di lingkungan kita banyak tradisi dan mitos salah terkait masalah keluarga. Misalnya, laki-laki dianggap berkedudukan lebih tinggi dari perempuan. Laki-laki dianggap harus jadi sarjana sedang anak perempuan cukup sekolah menengah saja karena toh akhirnya anak perempuan akan bertugas di dapur. Padahal sebuah hadits menyebutkan, “Ketahuilah, setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin keluarga dan bertanggung jawab atas keluarganya. Seorang istri bertanggung jawab atas rumah suami dan anak-anaknya serta akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka”.
Semoga jawaban ini bisa membantu memperbaiki hubungan suami istri dalam keluarga para pecinta Ahlul Bait. Wallahua’lam bisshowab.[]
Penulis : Ustadzah Aminah bin Yahya