Pertanyaan: Apabila perintah kedua orang tua terdapat pertentangan, manakah yang harus didahulukan?
Jawaban: Dalam al-Quran, Allah Swt setelah memerintahkan manusia untuk meninggalkan syirik, memerintahkan manusia untuk berbuat baik atas hak-hak ayah dan ibu. Mengutip Allamah Thabathabai: “Setelah tauhid, salah satu kewajiban utama Ilahi adalah berbuat baik kepada kedua orang tua.”[1]
Berbuat baik ini tidak ada bedanya apakah orang tuanya mukmin ataukah kafir karena ayat al-Quran itu bersifat mutlak (tanpa qaid), “Berbuat baiklah terhadap kedua orang tua.”[2]
Namun kadang-kadang kita dihadapkan ke beberapa kondisi seperti: Kadang-kadang kedua orang tua secara bersamaan memerintahkan anaknya untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bertentangan dengan hukum-hukum syar’i. Dalam hal ini , tentu tidak wajib untuk memenuhi perintah mereka.
Imam Ali As bersabda, “Taat kepada makhluk (siapapun dia) dalam mengerjakan kemaksiatan Ilahi, tidak dapat diterima.[4] Atau “Hak ayah adalah ditaati perintahnya dalam urusan-urusan yang tidak bermaksiat kepada Tuhan.” [5]
Imam Ridha As berkenaan dengan hal ini bersabda, “Berbuat baik kepada ayah dan ibu adalah wajib, walaupun mereka musyrik, namun jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, maka tidak boleh mentaatinya.”[6]
Namun apabila tidak dalam demikian, seperti dalam hal-hal yang mustahab, makruh dan mubah maka wajib untuk mentaati mereka. Oleh itu, para fakih berkata:
- Apabila ayah dan ibu melarang anaknya untuk mengerjakan puasa mustahab, maka mengikut prinsip kehati-hatian (ihtiyāth) untuk tidak berpuasa. Demikian juga apabila puasa mustahab yang dikerjakan seorang anak menyebabkan terganggunya orang tua, maka tidak boleh berpuasa dan apabila anak berpuasa, maka ia harus berbuka (membatalkan puasanya).[7]
- Apabila ayah atau ibu memerintahkan anaknya untuk mengerjakan salat berjamaah, dari sisi bahwa seorang anak harus taat atas perintah orang tua, maka mengikuti prinsip ihtiyāth wājib, ia harus mengerjakan salat berjamaah dengan niat mustahab saja.[8]
- Mengerjakan salat pada awal waktu adalah mustahab, namun apabila ayah dan ibu memerintahkan suatu pekerjaan mustahab atau mubah, maka harus mengutamakan ketaatan atas mereka dari salat di awal waktu.[9]
- Kadang-kadang salah satu dari orang tua memerintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang sejalan dengan hukum-hukum syar’i dan yang lainnya memerintahkan untuk berbuat maksiat. Dalam hal ini, sudah tentu harus mengamalkan perintah yang yang sesuai dengan hukum-hukum syar’i.
- Terkadang, ayah dan ibu memerintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan mubah, namun salah satu di antara keduanya menginginkan untuk mengerjakan pekerjaan itu dan yang lainnya menginginkan meninggalkan pekerjaan itu.
Dari sisi lain, terdapat pula sekumpulan riwayat yang menyatakan:
Seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Hak paling besar yang ada pada laki-laki ada pada siapa?” Nabi Saw bersabda, “Hak ayah yang harus ia tunaikan.”[12] Atau sebuah riwayat, dimana Nabi Saw bersabda: “Kalian dan harta yang kalian miliki (sejatinya) berasal dari ayah kalian.”[13]
Terkait dengan maksud asli riwayat ini apa? Bagaimana menyatukan antara hadis-hadis yang ada? Harus dikatakan bahwa kewajiban taat kepada ayah dan ibu[14] dalam perkara-perkara yang bukan merupakan kemaksiatan dan pelarangan terhadap kewajiban-kewajiban, dimana dalam beberapa perkara sejalan dengan pendapat dan dari teks-teks agama maka dapat dipahami bahwa dalam keadaan ini, seorang anak harus lebih mengutamakan perkataan ibu. [15]
Dalil-dalilnya adalah:
- Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw, tiga kali perintah untuk berbuat baik kepada ibu dan kali ke-empat perintah untuk berbuat baik kepada ayah.
- Walaupun dalam riwayat-riwayat sebelumnya diketahui bahwa hak-hak ayah yang harus didahulukan, namun apa yang dapat disimpulkan dari riwayat-riwayat lain adalah bahwa hak ibu lebih besar. Sebuah pertanyaan dialamatkan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa apakah hak ayah? Nabi Saw menjawab: Adalah mentaatinya selama ia hidup. Apakah hak ibu? Beliau menjawab: “Oh tidak. Oh tidak. Sekiranya kalian berkhidmat dan melayani ibumu seukuran dengan pasir padang sahara dan tetesan air hujan, ketahuilah bahwa hal itu tidak sejajar dengan satu hari ketika kalian ada di perutnya.”[16]
- Kejiwaan seorang ibu lebih peka dari pada ayah dan kejiwaan seperti ini mengharuskan adanya kasih sayang yang lebih banyak dan mendahulukan perkataan ibu dan dalam hal ini bersesuaian dengan keinginan takwini (penciptaan).
Pertama: Perjalanan mubah atau mustahab tanpa ijin dari ayah atau ibu adalah haram
Kedua: Taat kepada ayah dan ibu adalah wajib dalam kondisi apa pun walaupun dalam hal yang syubhat karena meninggalkan syubhat adalah mustahab dan memenuhi keinginan kedua orang tuanya adalah wajib.
Ketiga: Apabila ayah dan ibu memanggil anaknya dan pada saat itu merupakan awal waktu salat, maka akhirkanlah mengerjakan salat dan penuhilah panggilan mereka.
Keempat: Apabila mereka melarang kalian untuk melakukan salat berjamaah, maka ia boleh tidak mematuhi larangan mereka, kecuali jika kepergiannya akan menyulitkan orang tuanya seperti pada waktu gelapnya malam, waktu Isya dan Subuh.
Kelima: Apabila jihad merupakan kewajiban kifayah, bukan ‘aini (dan ditentukan sebagai a’ini), maka orang tua bisa melarang anaknya dari medan perang.
Keenam: Jika sibuk mengerjakan salat nafilah, dan ayah dan ibu memanggilnya, maka putuskanlah salatnya dan jawablah panggilan keduanya.
Ketujuh: Jika ayah tidak memberikan ijin, seorang anak tidak bisa mengerjakan puasa mustahab. (Al-Qawāid wa al-Fawāid, jil. 2, hal. 47-49)