Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Di awal khutbah ini, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada para mukminin serta mukminat sekalian dengan pesan takwa. Allah SWT memerintahkan kita semua untuk bertakwa. Dalam ilmu ushul fikih, ada pembahasan mengenai makna dari suatu perintah: apakah perintah menunjukkan kewajiban yang harus dilaksanakan, atau hanya merupakan anjuran. Mayoritas ulama menyatakan bahwa perintah berarti kewajiban. Jika ada perintah dalam Al-Qur’an atau hadits yang tidak bersifat wajib, pasti ada isyarat yang menunjukkan ketidakwajibannya. Namun jika tidak ada isyarat tersebut, maka semua perintah bermakna wajib. Karena itu, ketika Allah SWT berfirman “Ittaqu rabbakum” (bertakwalah kepada Tuhan kalian), maka itu adalah perintah yang wajib dilaksanakan. Takwa berarti menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam dosa—baik dosa karena meninggalkan kewajiban, maupun dosa karena melakukan hal yang haram.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, tentunya setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia dan menyenangkan, baik secara lahir maupun batin. Demi mencari kebahagiaan itu, orang rela melakukan berbagai hal. Mereka bekerja dari pagi hingga sore untuk meraihnya. Saya kira tidak ada seorang pun yang menginginkan hidup sengsara. Masyarakat pun, sebagai kumpulan individu, akan terdampak oleh kondisi anggotanya. Jika banyak individu dalam masyarakat mengalami stres, maka masyarakat itu menjadi tidak sehat. Jika masyarakat dipenuhi pengangguran dan terus-menerus dihimpit masalah ekonomi, maka mustahil ia menjadi masyarakat yang baik. Karena itu, salah satu indikator masyarakat yang baik adalah masyarakat yang ditunjang oleh kesejahteraan.
Tak sedikit di antara kita yang mendambakan bisa hidup di negara-negara Eropa, karena kehidupan di sana terlihat tertata rapi. Kebahagiaan dan kenyamanan hidup bisa dirasakan, dan kesejahteraan ekonominya menjadi daya tarik. Gambaran itu menciptakan angan-angan bagi mereka yang belum pernah ke sana, hingga mereka berkata bahwa tinggal di negara Eropa akan lebih baik.
Namun, kesejahteraan bukan satu-satunya parameter masyarakat yang baik. Salah satu tolok ukur lainnya adalah mutu pendidikan. Bayangkan jika sebuah masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang rendah—bisakah masyarakat seperti itu menjadi masyarakat yang hidup, bergairah, energik, dan produktif? Indikator lain adalah ketersediaan lapangan pekerjaan. Bisa dibayangkan jika lebih dari 50% anggota masyarakat menganggur, apakah masyarakat seperti itu bisa dikatakan hidup? Apalagi jika sebagian besar anggotanya hidup dalam tekanan dan stres. Intinya, jika masyarakat terdiri dari individu-individu yang baik, terdidik, bekerja, dan mapan, maka masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang sehat dan ideal.
Masyarakat tersusun dari keluarga-keluarga, dan keluarga terbentuk melalui pernikahan. Maka timbul pertanyaan: mengapa manusia memilih untuk menikah? Pernikahan lahir dari dorongan biologis manusia yang secara fitrah menginginkan lawan jenis sebagai pasangan hidup. Allah SWT menitipkan rasa cinta di antara keduanya. Dari hubungan tersebut lahirlah generasi-generasi berikutnya. Islam menganjurkan pernikahan. Meski ada sebagian orang yang menolak untuk menikah dengan berbagai alasan, pada umumnya, seorang pemuda yang memiliki kemampuan untuk menikah—secara biologis, ekonomi, serta kemampuan mengatur dan memimpin rumah tangga—pasti memiliki dorongan untuk menikah.
Segala hal yang menghalangi anak muda untuk menikah, dalam pandangan Islam, harus disingkirkan. Menariknya, dalam Islam, jika seorang anak gadis ingin menikah, salah satu syaratnya adalah izin wali. Jika ia menikah tanpa izin walinya, mayoritas ulama Syiah Imamiyah berpendapat bahwa pernikahannya tidak sah. Namun izin di sini bukan sekadar kehadiran wali. Jika wali tersebut justru menghalangi pernikahan dengan alasan yang tidak logis dan tidak syar’i, maka hak kewaliannya gugur. Anak gadis itu dapat menikah tanpa izinnya.
Sebaliknya, jika ada seorang pemuda yang sudah mapan namun menunda-nunda pernikahan, Rasulullah SAWW mengingatkan: “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka hendaklah ia menikah.” Seperti saya sampaikan di awal, menurut para ulama ushul fikih, setiap perintah memiliki konsekuensi hukum wajib, kecuali ada indikasi yang menunjukkan sebaliknya.
Rasulullah SAWW juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan baik dalam kitab-kitab Ahlussunnah maupun Syiah, bahwa sebagian besar penghuni neraka adalah mereka yang tidak memiliki pasangan. Terkadang, memang ada yang ingin menikah namun terhalang oleh kendala—mungkin karena masalah ekonomi, atau karena tidak mengenal siapapun di tempat ia tinggal. Di sinilah masyarakat memiliki peran penting. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur ayat 32: “Nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri di antara kalian.” Yang dimaksud dalam ayat ini bukan sekadar melangsungkan akad, karena itu tugas penghulu atau ustaz. Tugas masyarakat adalah memfasilitasi: membantu, mempersiapkan, dan mendukung terlaksananya pernikahan anak-anak muda di antara kita.
Ikhwan dan akhwat sekalian, barangkali ada yang berkata, “Saya bersedia membantu pernikahan mereka, mencarikan tempat tinggal dan perabotan, tapi bagaimana mungkin mereka bisa mengatur rumah tangga jika tidak punya uang?” Allah menjawab kekhawatiran ini: “Jika mereka miskin, Allah akan memberi rezeki kepada mereka.”
\Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Semoga Allah SWT memberikan taufik kepada kita semua agar kita mampu membentuk masyarakat yang baik, dan semoga masyarakat kita terhindar dari berbagai problem berat yang menyusahkan kehidupan bersama.
Khutbah kedua
Kembali di khutbah kedua ini, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada seluruh mukminin dan mukminat sekalian dengan wasiat takwa. Ketakwaan kepada Allah adalah kunci bagi kita untuk dapat masuk ke dalam surga. Namun jangan lupa, ketakwaan tidak hanya bisa diraih di atas sajadah, mihrab ibadah, dan shalat. Ketakwaan itu hadir di mana-mana.
Di hari-hari ini kita memperingati hari kelahiran Imam Ali bin Musa ar-Ridha as. Kelahiran beliau merupakan anugerah yang sangat agung bagi keluarga Rasulullah SAW. Beberapa peristiwa penting terjadi pada masa kehidupan Imam Ridha as. Kita tahu bahwa pada masa ayah beliau, yaitu Imam Musa al-Kazhim as, kondisi sangat sulit. Beliau dipenjara selama 13 tahun, hingga akhirnya diracun dan syahid di dalam penjara atas perintah Harun ar-Rasyid. Selama Imam Musa al-Kazhim berada dalam penjara, hubungan beliau dengan umat sangat dibatasi bahkan hampir terputus. Dalam kondisi inilah Imam Ridha memainkan peran yang sangat besar dalam menjaga ajaran dan komunikasi dengan umat.
Setelah wafatnya Imam Musa al-Kazhim as, muncul penyimpangan besar dalam tubuh Syiah. Kita meyakini bahwa Syiah bukanlah aliran belakangan, melainkan bagian hakiki dari ajaran Islam sejak awal. Syiah Imamiyah adalah Islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh para Imam Ahlulbait. Berbeda dengan mazhab-mazhab fikih lainnya seperti Syafi’i atau Hanafi yang muncul dari keilmuan ulama tertentu.
Namun karena tekanan politik, kezaliman penguasa, dan pembunuhan terhadap para Imam, maka ajaran Syiah sering disimpangkan. Tercatat lebih dari 20 aliran yang asalnya mengklaim sebagai Syiah. Seusai wafatnya Imam Kazhim as, muncul kelompok Waqifiyah, yang tidak menolak Imam Ridha secara pribadi, tetapi meyakini bahwa Imam Kazhim belum wafat dan hanya mengalami kegaiban. Tokoh utama kelompok ini adalah Ali bin Abi Hamzah, salah seorang wakil Imam Kazhim dalam urusan keuangan, yang menyebarkan keyakinan bahwa Imam Kazhim adalah Imam Mahdi dan akan kembali.
Inilah tantangan besar yang dihadapi Imam Ridha as pada awal masa kepemimpinannya. Namun, dengan izin Allah SWT, Imam Ridha berhasil mengembalikan banyak dari pengikut Waqifiyah ke jalan yang benar. Sejak saat itu, siapa pun yang mengimani wilayah Imam Ridha as berarti telah mengikuti jalan Syiah dua belas Imam. Maka bisa dikatakan bahwa keselamatan akidah Syiah Imamiyah bergantung pada keyakinan terhadap Imamah Imam Ridha as.
Imam Muhammad al-Jawad as mengatakan bahwa barang siapa berziarah ke makam Imam Ridha dengan ma’rifah terhadap kedudukannya, maka pahalanya seperti menunaikan seribu kali ibadah haji. Imam Ali al-Hadi as bahkan menambahkan bahwa ziarah ke makam Imam Ridha as sama dengan sejuta kali ibadah haji. Ini menunjukkan bahwa suatu amalan akan bernilai tinggi jika dikerjakan dengan akidah yang benar. Sebaliknya, jika akidahnya belum benar, maka nilai amalan belum sempurna. Kesempurnaan amal bergantung pada kesempurnaan iman.
Ikhwan dan akhwat rahimakumullah, apabila kita mengaku beriman kepada Imamah Imam Ridha as, maka hendaknya kita juga meneladani sifat-sifat beliau. Imam Ridha dikenal sebagai sosok yang penuh kasih sayang. Maka kita pun wajib menunjukkan kepedulian kepada sesama, terlebih kepada kaum muslimin yang menjadi korban kezhaliman di berbagai belahan dunia, seperti di Palestina dan Suriah. Jangan biarkan hari-hari berlalu tanpa mendoakan mereka.
Wassalāmu ‘alaikum warahmatullāh.