ICC Jakarta-Hukum zina terdapat dalam berbagai ayat-ayat al-Quran, secara lahiriah hukum yang terdapat pada ayat ke 15 dan 16 surah Al-Nisa berbeda dengan hukum yang ada pada ayat ke 2 surah Al-Nur.
Terdapat berbagai pendapat mengenai bagaimana kesesuaian ayat-ayat ini, berikut kami akan mengetengahkan dua di antaranya:
Pendapat terkenal yang berkaitan dengan ayat-ayat ini adalah bahwa ayat ke 15 dan 16 surah Al-Nisa telah dihapus oleh ayat ke 2 surah Al-Nur, dan sejak akhir kehidupan Rasulullah Saw, hukum yang terdapat pada surah Al-Nur lah yang berlaku, sebagian dari hadis pun menunjukkan terbuktinya penghapusan ini.
Sebagian dari mufassir meyakini bahwa ayat 15 surah Al-Nisa sama sekali tidak pernah dihapus, karena penghapusan berlaku terhadap hukum yang dari awalnya dikatakan dalam bentuk global dan universal, bukan dalam bentuk sementara dan terbatas, sementara ayat-ayat yang terdapat pada surah An-Nisa disampaikan dalam bentuk sementara.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari mereka berdua seratus kali dera”[1], ayat ini menjelaskan tentang lelaki dan perempuan yang berzina, dan secara pasti hukum ini mencakup kedua belah pihak, demikian juga dari lahiriah ayat bisa diketahui bahwa hukum ini juga mencakup zina yang dilakukan oleh muhshanah (orang yang telah berkeluarga) mapun zina yang dilakukan oleh selain muhshanah (belum berkeluarga).
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila para saksi itu telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”[2]
Dari kata اللَّاتىِ (para wanita) diketahui bahwa hukum ini khusus untuk perempuan. Kalimat الْفَاحِشَةَ (perbuatan keji) menunjukkan kebanyakan dari dosa, akan tetapi dengan memperhatikan kata مِن نِّسَائكُمْ, maka seluruh hal akan keluar dari implikasinya kecuali zina dan perbuatan yang menimbulkan hukuman ta’zir, dimana tentunya mayoritas mufassirin menganggap kalimat pada ayat ini mengimplikasikan pada zina.[3]Pada ayat ini dikemukakan dua hukum bagi para pezina:
“…maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya..”, kalimat ini mengimplikasikan pada tahanan abadi, tentunya tahanan ini dilaksanakan di dalam rumah.
“…sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya”, dari kalimat ini bisa disimpulkan bahwa hukum ini merupakan sebuah hukum sementara, dan dari awal telah dikatakan bahwa mendatang (setelah lingkungan dan pemikiran tersiapkan) akan diturunkan hukum baru mengenai mereka, dan pada saat itu, para perempuan yang sebelumnya tercakup dalam aturan ini dan masih hidup, secara alami akan terbebas dari hukuman tahanan ini, dan mereka juga tidak akan terkena hukum dan sanksi lainnya, kebebasan mereka dari hukuman tahanan ini dikarenakan terhapusnya hukum sebelumnya, sementara, ketiadaan penerapan sanksi baru bagi mereka dikarenakan hukum sanksi tidak mencakup hal-hal yang telah dilakukan sebelum datangnya hukum, dengan demikian, hukum mendatang, apapun itu akan menjadi solusi untuk menyelamatkan para tahanan, akan tetapi tentunya hukum baru ini mencakup seluruh mereka yang pada masa mendatang terlibat dalam masalah ini.[4]“Dan terhadap laki-laki dan perempuan (bujang) di antara kamu yang melakukan perbuatan keji itu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka.”[5]
Sebagian dari mufassir menganggap ayat ini sebagai penyempurna ayat sebelumnya.[6] Sebagian menganggap ayat sebelumnya berkaitan dengan zina muhshanah, dan ayat ini berkaitan dengan zina yang dilakukan oleh para bujang.[7]Demikian juga, mengenai obyek (mishdâq) “berilah hukuman kepada keduanya” dan bentuk hukuman, para mufassir menyebutkan: sebagian menganggap cercaan lisan menjadi misdak bagi ayat yang dimaksud[8], sementara sebagian menyebutkan cercaan lisan yang dibarengi dengan hukuman badan.[9]Akan tetapi mengenai bagaimana kesesuaian ayat-ayat ini, terdapat berbagai pendapat, dua diantaranya adalah:
Pendapat terkenal mengenai ayat ini yang mengatakan bahwa ayat 15 dan 16 surah an-Nisa telah dihapus oleh ayat 2 surah An-Nur, dan sejak akhir usia Rasulullah, hukum yang terdapat pada surah An-Nur-lah yang berlaku. Oleh karena itu, kalimat “…sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya”[10] mengimpliksikan pada penghapusan hukum ini pada masa mendatang.[11] Demikian juga, sebagian dari riwayat juga mengimplikasikan tentang terbuktinya penghapusan ini[12], yang tentunya belum ada sanad kuat untuk hal ini.
Terdapat juga pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat 15 surah An-Nisa sama sekali tidak pernah dihapus, karena penghapusan hanya berlaku pada hukum yang dari awalnya berbentuk mutlak, bukan sementara atau terbatas, sementara ayat di atas, yaitu hukum ‘penahanan dalam rumah’ disebutkan sebagai sebuah hukum terbatas dan sementara, oleh karena itulah dikatakan “…sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya”, dan intepretasi ini mengisyarahkan pada kesementaraan hukum ini, bukannya mengatakan akan datangnya penghapusan pada masa mendatang dimana ini berkontradiksi dengan penjelasan asli makna penghapusan, oleh karena itu jika kita menyaksikan dalam sebagian hadis menjelaskan bahwa ayat di atas telah dihapus melalui hukum lain, maka yang dimaksud bukanlah penghapusan secara istilah, karena penghapusan, dalam bahasa riwayat adalah segala bentuk pembatasan dan pengkhususan hukum.[13]
Terakhir harus kami katakan bahwa ayat 2 surah Al-Nur pun tidak mengatakan seluruh hukum dalam masalah zina, melainkan hanya menjelaskan sebagiannya, karena dalam fikih Islam, untuk perempuan pezina dalam zina muhshanah juga terdapat hukum rajam dimana hal ini menunjukkan bahwa hukum yang terdapat pada ayat ini bukan merupakan satu-satunya hukum yang berkaitan dengan perempuan zina muhshanah.
[1]. (Qs. An-Nur [24]: 2)
[2]. (Qs. An-Nisa [4]: 15)
[3]. Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, jil. 4, hal. 234, Daftar Intisyarat Islami, Qom, cet kelima, 1417 H; Zamakhsyari, Mahmud, Al-Kisyâf ‘an Haqâiq Ghawâmish at-Tanzîl, jil. 1, hal. 487, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, cet ketiga 1407 H.
[4]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsîr Nemune, jil. 3, hal. 307, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, cet. Pertama, 1374 S.
[5]. “Dan terhadap laki-laki dan perempuan (bujang) di antara kamu yang melakukan perbuatan keji itu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisa [4]: 16)
[6]. Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, jil. 4, hal. 234.
[7]. Tafsîr Nemune, jil. 3, hal. 308 -309.
[8]. Abu’abdillah Muhammad bin Umar Fakhruddin Razi, Mafâtîh al-Ghaib, jil. 9, hal. 532, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. Ketiga, 1420’ Fadhl bin Hasan Thabarsi, Tafsîr Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 1, hal. 243, Intisyarat Danesygah Teheran, Mudiriyat Hauzah Ilmiyah Qom, Teheran, cet. Pertama, 1377 S.
[9]. Syadzali, Sayyid bin Quthub bin Ibrahim, Fî Zdulâl al-Qurân, jil. 1, hal. 600, Dar Asy-Syuruq, Beirut, Kairo, cet. Ketujuhbelas, 1412 H.
[10]. (Qs. Al-Nisa [4]: 15)
[11]. Qumi, Ali bin Ibrahim, Tafsîr Qumî, Tahqiq: Musawi Jazairi, Sayyid Thayyib, jil. 1, hal. 133, Dar al-Kitab, Qom, cet. Keempat, 1367 S; Ismail bin Amr Ibnu Katsir Damsyiqi, Tafsîr al-Qurân al-‘Adzîm, Tahqiq: Saymsuddin, Muhammad Husain, jil. 2, hal. 204, Dar al-Kutub al’Alamiyyah, Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Beirut, cet. Pertama, 1419 H.
[12]. Muhammad bin Mas’ud Ayasyi, Kitâb at-Tafsîr, jil. 1, hal. 227, Capkhaneh Ilmiyyah, Teheran, 1380 HQ.
[13]. Tafsîr Namune, jil. 3, hal. 308.