ICC Jakarta – Ironis, belum lagi kita menghela napas setelah insiden penyanderaan di Mako Brimob, kini kita kembali dikejutkan oleh rentetan aksi terorisme di Surabaya dan Riau. Sebelumnya, sebagian pihak menilai, bahwa insiden Mako Brimob hanyalah aksi yang bersifat spasial. Menyangkut masalah mekanisme pangamanan Lapas dan Rutan. Tapi setelah serangkaian aksi teror di Surabaya, tampaknya kita harus kembali meninjau skema besar strategi penanggulangan terorisme di negara kita.
Bila menengok ke belakang, pasca peristiwa penyerangan gedung WTC di Amerika 11 September 2001 (9/11) setidaknya dapat ditemukan dua kerangka analisa yang paling menonjol dalam diskursus tentang terorisme, yaitu Kerangka Analisa Kultural dan Kerangka Analisa Rasional.
Selama ini, paradigma yang paling umum dipakai oleh banyak pemerintah negara di dunia, termasuk Indonesia, dalam menangani terorisme adalah paradigma kultural. Paradigma ini memandang terorisme sebagai penjelmaan dari nilai, sistem kepercayaan atau ideologi. Dalam paradigma ini, terorisme dianalisa dari hubungan antara nilai atau ideologi dengan pelaku teror, serta mencari korelasi atau sebab terjadinya aksi teror, dengan menganalisa ideologi dan nilai yang dianut oleh para teroris. Dengan kata lain, kerangka kerja ini mencoba memahami interpretasi nilai terhadap aksi. (AC Manulang : 2006)
Pada umumnya, paradigma ini hanya mencapai dua kesimpulan, pertama, aksi terorisme adalah produk dari nilai-nilai yang dianut, sehingga nilai-nilai tersebut harus diberantas dan diperangi; kedua, aksi terorisme hanyalah efek dari kepribadian yang menyimpang, atau merupakan bentuk dari gejala psikologis biasa, sehingga subjeknya harus dijerat oleh pasal hukum.
Pasca peristiwa 911, paradigma inilah yang mendominasi wacana terorisme di seluruh dunia, sehingga banyak menimbulkan pro dan kontra. Karena jelas, hasil perkalian dari analisis paradigma ini adalah stigmatisasi agama, nilai kebudayan, dan ideologi tertentu. Inilah paradigma yang digunakan AS sehingga mengeluarkan kebijakan penanganan yang kontra produktif di Afghanistan dan Irak.
Adapun analisa rasional, melihat terorisme sebagai hasil dialektika strategis antara suprastruktur dengan infrastruktur (konflik struktural). Dalam perspektif ini, terorisme adalah produk interaksi politik, bukan produk independen suatu ideologi apalagi agama. Ia lahir dari hasil interaksi strategis antara dua kekuatan yang bertikai dalam skema pertarungan yang tidak seimbang (asymmetric conflict) (Arreguin-Toft: 2001). Terorisme adalah sebuah aksi yang sudah dirancang dengan sangat rasional, bukan tindakan yang irasional, apalagi ekspresi dari kepribadian yang menyimpang.
Bila paradigma penanggulangan dan penanganan terorisme dilihat dari analisa rasional-struktural, maka pembacaan kita terhadap konsep dan metode penanggulangan terorisme akan jauh lebih luas dari sekedar upaya mereduksi ideologi teror. Sebab metode ini akan langsung mereduksi faktor-faktor fundamental yang merupakan premis legitimasi bagi kelompok teroris untuk membenarkan tindakannya, serta mendorong meluasnya partisipasi terhadap aksi teror di masyarakat.
Faktor-faktor fundamental itu antara lain; ketimpangan ekonomi, kemiskinan struktural, pendidikan yang rendah, segregasi sosial yang meningkat, diskriminasi kelompok, dan kohesi sosial masyarakat yang lemah. Faktor-faktor fundamental ini menjadi aktual saat bertemu dengan variabel pemicu (katalis), seperti lemahnya penegakan hukum, instabilitas politik dan ekonomi, serta provokasi politik.
Lebih lanjut, bila kita mengintai skema penanggulangan terorisme dari paradigma ini, maka terorisme akan teridentifikasi bukan hanya sebagai tindak kriminal biasa ataupun luar biasa. Tapi lebih jauh dari itu, terorisme akan dibingkai dalam sebuah skema strategis politik, sosial, dan kebudayaan.
Pertanyaan yang terpenting muncul; bila terorisme merupakan produk strategis dari suatu konflik, maka ini perangnya siapa dengan siapa? Apakah negeri ini sedang dalam situasi berperang? Ataukah ini adalah sampah konflik dari kawasan lain?
Oleh sebab itu, negara dan aparat penegak hukum sudah harus berani melangkah lebih jauh dengan meninjau situasi politik di Indonesia, skema pertarungan politik internasional dan dampaknya terhadap dinamika pertahanan dan keamanan dalam negeri. Termasuk mutasi konflik politik dalam dan luar negeri yang secara tidak langsung mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, budaya dan keagamaan di Indonesia.
Sebab bila kita simak secara seksama, Kelompok-kelompok teroris yang datang pada dekade 2000-an ini, mengimpor isu konflik dari Timur Tengah. Daur hidupnya berasal dari luar negeri, dan frekuensi aksinya bergerak seiring dengan fluktuasi perkembangan konflik di Timur Tengah. Sebut saja Jamaah Islamiyah (JI) yang dulu muncul ketika kelompok Al Qaeda dan Taliban berkembang di Afganistan, dan sekarang Jamaah Ansharul Daulah (JAD) yang berkembang seiring dengan lahirnya gerakan ISIS di Irak dan Suriah.
Sudah saatnya kita membuka mata, bahwa terorisme yang sekarang ada di Indonesia, adalah sampah konflik Timur Tengah yang narasi doktrinnya dikemas ulang dengan menunggangi sejumlah kelemahan dari situasi politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia.
Maka menjadi wajar, meskipun aparat kepolisian sudah bekerja keras menangani serangkaian kasus terorisme, tapi metamorfosa gerakan mereka terus berlangsung, seraya mengikuti ritme eskalasi konflik di Timur Tengah. Karena kita (pemerintah dan masyarakat) tidak menutup celah kelemahan ini. Alih-alih, kita justru sibuk bertengkar oleh isu di kawasan lain, dan mengemasnya dalam narasi politik sesaat.
Oleh sebab itu, bila kita mengacu pada kerangka analisa rasional, pemerintah wajib mereduksi faktor-faktor fundamental yang berpotensi ditunggangi oleh kelompok teroris. Dan kepada opisisi, agar menghindari provokasi politik yang justru menguntungkan narasi doktrin kelompok-kelompok ini. Karena pada prinsipnya, Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, apalagi hanya mengandalkan pihak keamanan saja. Dibutuhkan satu skema strategi perang semesta melawan terorisme, dimana semua elemen negara wajib bertanggungjawab dan terlibat didalamnya.
Dan yang terpenting dari semuanya, setiap warga negara, berkewajiban untuk merapatkan barisan, menghindari provokasi politik, dan menjaga persatuan. Akan sangat memalukan, bila bangsa yang besar ini harus mengalami huru hara disebabkan oleh sampah konflik sebuah kawasan yang jaraknya ribuan Mil dari Nusantara ini. Wallahualam bi Sawab. AL/IslamIndonesia/Sumber: Republika Cetak 18/05/2018