Direktur Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menyebut kondisi di Jalur Gaza sebagai “neraka yang tak terbayangkan.” Ia menegaskan bahwa “tidak ada lagi tempat aman di Gaza. Warga sipil terus-menerus diperintahkan untuk mengungsi, berpindah tanpa henti, tanpa arah, tanpa jaminan keselamatan.”
Dalam wawancara eksklusif di Forum Diplomasi Antalya, Lazzarini menjelaskan kepada Anadolu Agency bahwa rakyat Palestina kini hidup dalam kombinasi mimpi buruk: bom setiap hari, kelaparan yang merajalela, penyebaran penyakit, dan kondisi tempat tinggal yang tak layak secara kemanusiaan.
Ia menyebut bahwa bahkan sebelum gencatan senjata runtuh, Gaza sudah berada dalam kondisi mengerikan. “Sekarang, situasinya benar-benar jatuh ke titik terendah. Sejak agresi kembali dilancarkan, semuanya semakin memburuk.”
“Tidak Ada Lagi Bantuan Kemanusiaan untuk Dibagikan”
Lazzarini menjelaskan bahwa UNRWA mempekerjakan lebih dari 12.000 warga Palestina di Gaza. Namun, sejak perbatasan ditutup sebulan lalu, bantuan kemanusiaan nyaris tak lagi tersedia. “Tak ada yang bisa kami distribusikan. Bantuan sudah habis. Perbatasan ditutup sepenuhnya,” ujarnya.
Ia juga menuturkan bahwa sejak 24 Maret, kehadiran staf PBB di Gaza dibatasi karena alasan keamanan. Ini menyusul serangan brutal yang menewaskan seorang staf internasional dan melukai banyak lainnya, bahkan ketika mereka berada di lokasi kerja resmi PBB.
“Kejadian ini menunjukkan betapa tidak amannya Gaza bahkan bagi para pekerja kemanusiaan. Kami terus menyerukan pencabutan blokade dan pengepungan total terhadap Gaza,” katanya.
UNRWA menegaskan seruannya untuk membuka jalur bantuan kemanusiaan secara penuh—tanpa hambatan, tanpa intervensi, dan tanpa upaya politisasi. Lembaga ini juga menyerukan pembebasan para sandera, tanpa mengorbankan hak rakyat Palestina.
Pelanggaran Terbuka terhadap Hukum Kemanusiaan Internasional
Lazzarini mengecam pembunuhan 15 relawan medis dan petugas pertahanan sipil Palestina yang dilakukan Israel baru-baru ini. Ia menyebutnya sebagai bukti nyata dari “penghinaan total terhadap hukum kemanusiaan internasional dan nyawa para pekerja kemanusiaan.”
Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 400 pekerja kemanusiaan telah gugur akibat serangan Israel, termasuk lebih dari 280 staf UNRWA. Lazzarini menyatakan bahwa pembunuhan 15 relawan terbaru ini dilakukan secara sistematis: “Mereka jelas-jelas mengenakan identitas. Mustahil diabaikan. Namun tetap saja mereka dibunuh, seolah-olah satu per satu.”
Ia menyerukan penyelidikan internasional yang independen dan tidak memihak untuk mengungkap kebenaran serta menuntut akuntabilitas. “Hingga kini, tak satu pun dari pelaku kejahatan ini diadili,” tegasnya.
Pujian bagi Jurnalis Palestina dan Seruan Perlawanan terhadap Propaganda
Dalam pernyataannya, Lazzarini juga memberikan apresiasi tinggi kepada jurnalis Palestina yang tetap melaporkan situasi di Gaza, meski nyawa mereka terancam setiap hari. Ia menekankan pentingnya kehadiran jurnalis asing independen untuk menandingi arus propaganda dan misinformasi yang menyelimuti narasi konflik ini.
“Di tengah arus informasi yang dipelintir, hanya jurnalisme yang jujur yang bisa mengungkap kebenaran Gaza,” ujarnya.
Gaza Hadapi Krisis Kemanusiaan Terburuk sejak Awal Agresi
PBB dalam pernyataan terbarunya juga menegaskan bahwa krisis kemanusiaan di Gaza telah mencapai level terparah sejak awal agresi Israel 18 bulan lalu. “Sudah satu setengah bulan tidak ada satu pun bantuan yang masuk ke Gaza. Ini merupakan jeda distribusi bantuan terlama sepanjang agresi berlangsung,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
Ia menyebut bahwa serangan Israel terbaru menyebabkan lonjakan korban sipil dan penghancuran infrastruktur vital yang masih tersisa. Dujarric juga mengecam empat perintah pengungsian baru yang dikeluarkan Israel akhir pekan lalu, yang semakin mempersempit ruang hidup warga sipil.
“Lebih dari 70 persen wilayah Gaza kini berada di bawah status pengungsian atau zona terlarang. Akses terhadap air bersih, makanan, dan layanan kesehatan kian mustahil dijangkau,” katanya.
Ketika ditanya apakah penghalangan bantuan oleh Israel tergolong kejahatan perang, Dujarric menjawab tegas: “Sebagai kekuatan pendudukan, Israel memiliki kewajiban hukum internasional untuk menyediakan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan. Itu tidak sedang terjadi sekarang. Paling tidak, ini merupakan pelanggaran hukum internasional.”
Korban Terus Bertambah, Agresi Israel Tak Mereda
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan pada Senin bahwa 39 warga Palestina syahid (38 tewas dalam serangan terbaru dan satu jenazah ditemukan), serta 118 lainnya terluka dalam 24 jam terakhir. Total korban sejak agresi 7 Oktober 2023 telah mencapai 50.983 syahid dan 116.274 luka-luka.
Sejak agresi kembali dimulai pada 18 Maret 2025, tercatat tambahan 1.613 syahid dan 4.233 korban luka.
Serangan udara, artileri, dan drone masih terus menggempur berbagai wilayah di Gaza. Suara bom dan jeritan masih menjadi latar hidup sehari-hari warga.
Rakyat Palestina Menolak Kontrol Bantuan oleh Israel
Sumber-sumber lokal Palestina menegaskan bahwa Israel tengah mencoba mengendalikan distribusi bantuan melalui perusahaan keamanan swasta atau pihak ketiga yang berafiliasi dengan pendudukan. Mereka menyebut skema ini sebagai bentuk eksploitasi kemanusiaan untuk melanggengkan kolonialisme.
“Upaya menjadikan bantuan sebagai alat politik harus ditolak. Kami tidak akan tunduk pada mekanisme distribusi yang tidak independen dan penuh kecurigaan,” demikian pernyataan kelompok sipil Palestina.
Mereka menuntut penghormatan terhadap prinsip netralitas dan transparansi dalam bantuan kemanusiaan, serta menolak segala bentuk intervensi yang bertentangan dengan legitimasi internasional.
Sumber berita: https://english.almayadeen.net/
Sumber gambar: https://www.aa.com.tr/