ICC Jakarta – Asyura bukan hanya peristiwa memilukan yang terjadi pada tahun 61 H karena jika Asyura hanya merupakan kejadian sejarah yang mengharu biru pada tahun itu, maka tentu saja peristiwa itu tidak akan dikenang hingga sekarang. Kejadian Asyura memberi pelajaran yang penting manusia dan kemanusiaan.
Mengingat manusia merupakan makhluk yang misterius dan manusia tidak memiliki pemahaman dan makrifat yang memadai tentang satu dengan yang lain, jika tidak mendapat pancaran cahaya berupa panduan samawi dan melulu bersandar semata pada metode bumi dengan menetapkan kaidah-kaidah keliru memilih seorang pemimpin umat. Maka manusia dengan cara demikian sekali-kali tidak akan pernah mendulang kesuksesan dalam menjalani hidupnya; lantaran pemerintahan akan jatuh di tangan orang yang tidak patut menempati posisi sebagai pemerintah. Dan nilai-nilai Ilahi dan nabawi akan mengalami distorsi. Dan sebagai gantinya adalah nilai-nilai jahiliyah yang menjadi sandaran utama. Ketika nilai-nilai jahiliyah yang menjadi poros, maka perilaku moral dan sosial jahiliyyah juga akan mengikuti poros ini.
Nilai dari sudut pandang sosiologi adalah keyakinan atau ideologi yang mengakar dimana sekelompok masyarakat merujuk tatkala berhadapan dengan masalah seperti segala kebaikan, keburukan, keutamaan dan kesempurnaan ideal. Namun yang dimaksud dengan nilai dengan pendekatan sosiologis adalah nilai-nilai (positif) yang diterima oleh kebanyakan masyarakat. Nilai-nilai ini dapat bercorak agama atau berwarna sosial. Perbedaan dari keduanya dapat ditelusuri pada sumbernya. Jelas bahwa nilai-nilai agama sumbernya adalah wahyu sementara nilai-niliai sosial adalah bersumber pada penerimaan masyarakat umum. Kendati nilai-nilai sosial yang memiliki akar wahyu dapat bewarna agama. Dengan memperhatikan definisi yang diberikan di atas nilai-nilai merupakan pemandu segala perilaku yang dipraktikan oleh sebuah masyarakat.
Salah satu pengaruh penting dan asasi kebangkitan Imam Husain As adalah menghidupkan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan yang merupakan kebutuhan kunci dan urgen seluruh komunitas manusia. Lantaran nilai-nilai merupakan salah satu unsur utama dan berpengaruh pada domain kebudaayaan masyarakat. Dimana kebudayaan laksana udara bagi masyarakat yang tanpanya masyarakat tidak akan dapat bernafas. Unsur-unsur kebudayaan terpengaruh langsung oleh nilai-nilai yang dianut pada masyarakat tersebut.
Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ini penting lantaran tiadanya akan menyebabkan chaos dalam ucapan, tindak sosial dan tindak moral. Menukil Durkheim, anomic akan muncul di tengah masyarakat. Karena nilai-nilai merupakan lentera dan pelita petunjuk bagi ucapan dan tindakan masyarakat dimana tanpanya komunitas tidak akan mampu membentuk dan menyelaraskan dirinya.
Salah satu nilai penting agamis dan insaniah yang dihidupkan oleh Imam Husain dan para pengikutnya adalah gairah pada syahada (martrydom) dan semangat altruisme (itsar). Menurut Syahid Muthahhari dalam Hamâse Husaini, berkata bahwa setiap kematian suci (syahadah) memendarkan cahaya kepada masyarakat.”
Dengan pendaran cahaya syahadah ini masyarakat dapat melenggang menjalani kehidupannya jauh dari kegelapan. Tatkala ingin mencapai sebuah tujuan mulia, sekalipun harus ditebus dengan jiwa, maka tanpa tedeng aling-aling nyawa pun dipertaruhkan.
Sejarah kehidupan umat manusia secara tegas memberikan kesaksian bahwa manusia semenjak penciptaannya hingga detik ini dengan pelbagai cara berusaha supaya dirinya abadi dan lestari. Tuhan yang sangat mengetahui kecendrungan esoterik manusia ini menunjukkan jalan keabadian kepada manusia dan menganugerahkan syahadah kepadanya dan berfirman, “Kiranya manusia memilih kematian merah (syahadah) untuk menuju jalan keabadian hingga ia merengkuh “ahya”.”Jangan kalian mengira bahwa orang-orang yang dibunuh di jalan Allah adalah mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dan dianugerahi.” (Qs. Ali Imran [2]:169)
Nabi Saw melebarkan ayat ini dengan bersabda: “Barangsiapa yang terbunuh dalam berjuang menghadapi kezaliman maka ia adalah syahid.” (Hurr al-Amili, Wasâil asy-Syiah, jil. 11, hal. 92)
Imam Husain As dalam mempersembahkan pengorbanan pada altar sejarah kemanusiaan adalah mengikut para nabi yang diabadikan dalam al-Qur’an seperti pada pengorbanan Ibrahim, Musa, Nuh, Luth, Hud, Shaleh, Syuaib dan Muhammad Saw yang berteriak lantang dan bangkit melawan para penguasa para tiran, penyembah berhala, kebodohan, puritanisme sempit, kerusakan sosial dan moral. Bahkan kondisi yang hadir di hadapan Imam Husain melebihi kondisi para nabi yang disebutkan di atas. Betapa tidak yang dihadapi oleh Imam Husain adalah umat Islam sendiri. Umat yang mengklaim diri mereka sebagai pengikut datuknya, Muhammad Saw.
Itsar dalam menyelamatkan manusia dari kekaraman kerusakan sosial dan membawa manusia dari kegelapan kepada cahaya adalah kiprah yang diperankan dengan sempurna oleh Imam Husain As. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya al-Husain adalah bahtera keselamatan dan pelita hidayah.”
Imam Husain merupakan putra binaan wahyu. Ia adalah hasil didikan Fatimah dan Ali yang berada pada garda terdepan dalam masalah pengorbanan. Allah Swt mengabadikan keluarga nubuwwah ini atas pengorbanan mereka dalam al-Qur’an, “dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu),” (Qs. Al-Hasyr [59]:9), “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu.(Qs. Al-Insan [76]:8-9)
Dalam konteks kemasyarakatan selalu diperlukan pengorbanan tatakala kita dihadapkan dengan pilihan antara dunia dan akhirat, antara diri dan umat, antara jabatan dan bangsa dimana amat disayangkan dewasa ini kita lebih banyak memilih yang pertama ketimbang yang belakangan. [Asyura dan Rekayasa Sosial/A. Kamil]