ICC Jakarta – Ratusan tokoh masyarakat dan agama di Cianjur Jawa Barat menolak pembangunan Pondok Pesantren Riyadhus Sholihin yang akan didirikan oleh Sebuah yayasan wahabi bernama Yayasan Islam Al Huda Bogor Indonesia di Jl. Raya Cianjur-Cibeber, Kp. Cijeblog Rt. 02 Rw. 05, Peuteuycondong, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Mereka menyuarakan penolakan tersebut dengan membubuhkan tanda tangan penolakan di atas kertas pada 22 Februari 2017. Jumlah yang bertanda tangan menolak yayasan wahabi ada 165 KK dan 100 pimpinan ponpes se Cianjur. “Mereka siap jihad jika pesantren itu mamaksa diri harus dibangun,” ujar Ustad Subhan ZE (Kang Aang), perwakilan keluarga besar Pesantren Gelar, Ahad (19/03/2017).
Awal Maret 2017 lalu, Dutaislam.com sempat meninjau lokasi seluas 2.813 meter persegi yang menurut Kang Aang sudah dibeli senilai 1,2 miliar. Rencananya, tempat tersebut akan dibangun masjid pesantren, tempat wudlu, ruang mudaris, kantor/ruang tamu, ruang makan/ laundy, ruang laborat bahasa, ruang asrama, teras dan septitank.
Setelah dilacak, ternyata yayasan itu diatasnamakan Ende Hasan Al Bana, warga kampung Cimanglid, Sukamantri, Tamansari, Bogor, Jawa Barat. Menurut keterangan yang dihimpun Dutaislam.com, pesantren itu adalah pindahan dari Bogor, yang juga ditolak warga Bogor karena terindikasi berpaham Islam ekstrim wahabi takfiri.
Sama seperti di Peuteuycondong, alasan penolakan warga Bogor atas yayasan wahabi tersebut adalah rentan menimbulkan gesekan karena salah satu pentholan yang ikut memproses adalah Yazid Jawas, tokoh wahabi Indonesia yang sering blak-blakan menuduh orang lain berbeda amaliyah sebagai bid’ah, sesat dan kafir. (Baca: Mayoritas Dijamin Nabi Tidak Sesat; Bantahan Kepada Yazid Jawas)
Awalnya, warga tidak ada yang mengetahui kalau lokasi yang berdekatan dengan Masjid Umar bin Khattab (wahabi juga) akan didirikan pesantren. Masjid yang berjarak hanya 100 meteran dari lokasi pesantren itulah yang menurut Kang Aang sering didatangi kelompok cingkrang, berjenggot dan perempuan bercadar, entah darimana asalnya.
Menurut murid Habib Luthfi tersebut, pesantren baru ketahuan warga setelah bangunan berdiri. Bahkan perangkat desa dan Camat setempat ikut hadir membuka dimulainya pembangunan pesantren tanpa melibatkan tokoh masyarakat dan pimpinan pesantren lain yang berada di sekitar wilayah. Tidak ada silaturrahim laiknya adab ahlus sunnah wal jamaah.
Awal mula kisruh, lanjut Aang, memang dimulai dari masjid wahabi sebelah. “Ada sekitar 50 orang dari luar desa yang sering datang ke situ,” terangnya. Masjid awalnya dianggap aman dijadikan sarang wahabi karena sebelumnya sudah ada perjanjian dengan ketua MUI desa setempat bahwa masjid tidak akan digunakan untuk menyebarkan paham takfiri wahabi.
Namun, pada tahun 2011, sempat ada pengajian dimana para ibu-ibu peserta ngaji di masjid Umar bin Khattab dibayar hadir agar dianggap “normal”, tidak apa-apa. Istilahnya, duit itu adalah “sogokan” biar diam dan dianggap “ramah”. Sebelumnya, 50-an orang yang sering datang dan pergi ke masjid tersebut membuat ulah dengan melakukan kegiatan yang tidak kompromis dengan budaya warga. Dutaislam.com sengaja tidak menyebutkan.
Karena sudah dianggap normal, proses “curi-curi membangun pesantren” dimulai. Selain tokoh wahabi macam Jawaz, nama yang terlibat penuh dalam mengurus berdirinya pesantren itu adalah Dikdik, kader Hizbut Tahrir. Wahabi “kawin” dengan HTI, serasi bukan?
Dikdik itulah nama yang disebut santer oleh ratusan pimpinan pesantren setempat sebagai aktor yang berhasil mengegolkan diam-diam Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Cianjur. Surat bernomor 503/0041/IMB/PTMDPSP/2017 itu dimohonkan atas nama Ende Hasan Al Bana pada 13 Desember 2016.
Ahmad Yani, mantan sekretaris umum MUI Cianjur yang kemarin mengundurkan diri pasca mengundang Alfian Tanjung (yang menuduh NU identik PKI), diminta tolong oleh Dikdik agar pembangunan pesantren terus berjalan tanpa hambatan. Maunya hendak melobi Ketua MUI desa setempat, KH Mubarok, pemimpin pesantren Darul Abror, Sadamaya, Peuteuycondong, Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
kang Aang yang sudah dijadikan juru bicara penolakan pesantren tersebut menjelaskan kalau Sekum MUI jugalah yang meminta mediasi ulang melibatkan pihak yayasan yang ada di Bogor, tapi dia tolak.
Sebagai pimpinan MUI, Kiai Mubarok pun mengaku siap jihad juga untuk menolak berdirinya pesantren wahabi tersebut. Bahkan, dialah yang pertama kali (nomor wahid) membubuhkan tanda tangan menolak pesantren tersebut, ini bukti yang didapatkan di lapangan, beberapa pekan lalu:
Tanda tangan penolakan yayasan wahabi
Walau mediasi sudah ditutup dan pembangunan pesantren sudah dihentikan, gerombolan mereka sepertinya, kata Kang Aang, akan membuat strategi lagi yang layak diwaspadai juga. “Ada beberapa kali nongkrong mobil-mobil mewah di lokasi,” katanya kepada tim Dutaislam.com di sana.
Tapi berkali-kali Kang Aang menyatakan akan terus menolak sekeras-kerasnya dan jika perlu, akan didatangkan massa sebanyak-banyaknya untuk menolak basis akan berdirinya sarang wahabi di dekat lokasi banyaknya pesantren salaf berdiri, ratusan tahun lalu itu. “Mereka (para kiai) siap jihad,” tegasnya.
Bupati Cianjur pun, melalui keterangan yang didapatkan Kang Aang dari Pak Kapolsek Cibeber pasti tidak akan mendukung pembangunan tersebut dengan alasan lokasi bangunan calon pesantren itu merupakan lahan sawah (lahan produktif). Sayangnya, Camat dan perangkat desa sekarang sudah tiarap dibalik alasan normatif “selaku pimpinan daerah” yang tidak bisa menolak keinginan warga.
Mau perang? Ya ijinkan saja murid-murid ideologis Yazid Jawas bermunculan di Cianjur. Mudah kok menyulut mereka keluar saling mengafirkan. Apalagi lokasinya dekat pesantren salaf, bakal mudah tuh untuk menyulut konflik kapan-kapan.
Tujuannya apa kalau bukan merusak tatanan, lha wong cara berdirinya saja colong-colongan tanpa melibatkan warga setempat kok. Gaya ini pernah terjadi di Jepara (Ngabul dan juga Karimunjawa) dan beberapa kota lain di Indonesia. Waspadalah, waspadalah!
Sumber: Dutaislam