Imam Hasan Askari a.s. adalah manusia suci ke-13 [dari mata rantai 14 manusia suci], sekaligus Imam ke-11 dari 12 Imam Ahlulbait setelah Rasulullah Saw. Beliau lahir pada 8/ 10 Rabiul Akhir di Madinah dalam didikan dan asuhan ayahnya Imam Ali Hadi a.s. yang keilmuan, kezuhudan, ketakwaan, dan jihadnya mengungguli semua manusia pada masanya. Bersama ayahnya, Ia hidup selama kurang lebih 22 atau 23 tahun. Selama rentang waktu itu, Hasan muda menerima warisan (gemblengan) keimamahan dan ilmu kenabian dari ayahnya.
Hasan muda baik dalam hal keilmuan, tindakan, kepemimpinan, perjuangan, maupun Iangkah reformasi (yang beliau tempuh) adalah demi umat kakeknya Muhammad Saw. Sejak di masa ayahnya, telah nampak pada diri beliau jiwa kepemimpinan. Fakta ini dikuatkan oleh Imam Ali Hadi a.s. sendiri di hadapan para sahabat khusus beliau dan kepada seluruh kaum muslimin, bahwa Imam Hasan Askari adalah seorang imam yang mesti ditaati setelah ketiadaan diri beliau a.s.
Sesudah ketiadaan ayahnya, imamah ada di pundak beliau. Kepemimpinan yang dijalankan itu berlangsung selama lebih kurang enam tahun. Dengan penuh tanggung jawab beliau jalankan amanat yang berat dan agung tersebut dalam situasi politik dan kondisi sosial yang gawat dan genting. Terlebih melihat kenyataan bahwa beliau merupakan bagian dari Ahlulbait Nabi. Ketika para pengguasa Bani Abbasiyah yang merupakan dinasti paling rakus dibanding yang lainnya dalam persoalan kekuasaan dan kelanggengannya mengetahui bahwa al-Mahdi al-Muntazhar a.s. berasal dari Ahlulbait Rasulullah dari keturunan Ali dan Husain a.s. mereka senantiasa menanti-nantikan kelahiran dan kemunculannya, namun bukan untuk menyerahkan tampuk pemerintahan dan kepemimpinan kepadanya, melainkan untuk mengantisipasi dan menyingkirkan sosok yang ditunggu-tunggu kelahirannya itu (yakni al-Mahdi a.s.) secepat mungkin, dengan harapan akan lebih memudahkan para penguasa zalim tersebut dalam mengintimidasi kaum mustadhafin.
Pemerintahan Abbasiyah ‘mewajibkan’ Imam Hasan Askari secara paksa untuk mengunjungi istana Abbasiyah dua kali dalam sepekan. Sesuai tuturan sejarah, manakala beliau hendak berjalan menuju istana, jalan-jalan menjadi ramai oleh suara hewan ternak dan lainnya. Sampai-sampai tak ada tempat yang ‘bebas’ dari suara binatang ternak. Namun ketika Imam a.s. datang, maka suasana menjadi hening dan beliau dengan tenang dan mudah melewati jalan yang akan dilaluinya.
Sepanjang hidupnya Imam a.s. sangat tekun beribadah, terlebih ketika berada dalam penjara. Ketika berada di dalam penjara, Imam a.s. disatukan dengan dua preman jahat. Namun Imam a.s. mampu mengubah jiwa kedua orang itu. Akhirnya keduanya menjadi termasuk golongan ahli ibadah. Ketika pertama kali Imam a.s. melihat kedua orang tersebut, mereka tampak gemetar dan merasa serba salah. Sebelumnya mereka tidak pernah merasakan keadaan seperti itu. Pada akhirnya Imam a.s. berhasil mengubah perilaku dan jiwa kedua preman jahat itu.
Rezim Abbasiyah selalu mengawasi Imam Hasan Askari a.s. secara ketat. Mereka senantiasa memantau semua gerak gerik Imam a.s. dengan tujuan untuk menggagalkan semua kegiatan yang beliau lakukan, baik dalam lapangan keilmuan maupun politik. Mereka menempatkan orang-orang khususnya (yang bertugas sebagai mata-mata) di tengah-tengah umat. Dalam kondisi seperti ini Imam a.s. tetap konsisten berjalan di atas jalan yang ditempuh para pendahulunya yang suci.
Imam melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, disamping beliau juga mengatur suatu strategi bagi para wakilnya supaya beliau dapat memainkan perannya sesempurna mungkin dalam situasi yang sangat sulit tersebut, sekaligus sebagai upaya untuk memudahkan beliau dalam mengantisipasi tipu muslihat para musuh dan pembenci Ahlulbait a.s.
Imam Hasan Askari a.s. sebagaimana para pendahulunya, benar-benar memahami medan dan suhu politik yang tengah berkembang dalam menghadapi kezaliman, teror, dan siasat yang dilancarkan rezim serta kepentingan dan nasib umat. Beliau senantiasa menjaga prinsip-prinsip syariat dan nilai-nilai risalah. Beliau persiapkan semua itu sebagi pendahuluan dan ‘batu loncatan’ bagi tibanya masa kegaiban al-Mahdi a.s, yang kepastian dan keniscayaannya telah disinyalir oleh Nabi Muhammad Saw dan para Imam Ahlulbait a.s.
Akademi (madrasah) Ahlulbait a.s. di masa Imam Askari sarat dengan aktivitas keilmuan dan dakwah (seruan) yang mengajak umat untuk kembali kepada khittah Ahlulbait a.s. serta membela syariat Islam melalui para sahabat Imam, para perawi hadisnya dan para murid yang belajar di akademi yang beliau bina.
Meskipun berada dalam kondisi politik yang sangat menyulitkan, beliau tetap tegar dalam melindungi syariat Islam, memberantas bid’ah-bid’ah, memberi pengarahan kepada orang-orang yang berada dalam keraguan, serta menuntun mereka untuk kembali ke wilayah nilai-nilai agama.
Di masa kepemimpinannya yang relatif singkat itu, Imam a.s. menjalani kehidupan semasa dengan Khalifah Mu’taz, Muhtadi, dan Mu’tamad. Mereka selalu menyulutkan api permusuhan, bertindak kejam, dan perilaku buruk lainnya kepada Imam a.s. Telah berulang-ulang mereka melancarkan upaya pembunuhan terhadap Imam a.s. Kebencian Mu’tamad semakin besar dan memuncak manakala ia melihat bahwa umat secara bersama-sama memberikan penghormatan dan pemuliaan yang tulus kepada pribadi Imam a.s. dan semua anak keturunan Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Muthalib.
Di masa itu, Mu’tamad adalah khalifah yang tidak disukai oleh umat. Kenyataan pahit ini ‘mendesak’ dirinya untuk sesegera mungkin membunuh Imam a.s, dan satu-satunya jalan yang ia anggap paling ‘aman’ adalah dengan jalan meracuninya. Tidak lama kemudian, Imam Askari a.s. menemui ajalnya dengan jiwa penuh kesabaran sebagai seorang yang menerima anugerah syahadah (kesyahidan). Beliau syahid ketika belum genap berusia 30 tahun. Salam sejahtera atasnya di hari kelahirannya, di saat kesyahidannya di jalan risalah Allah, dan di hari ketika beliau dibangkitkan kembali.
*Disadur dari buku Biografi Imam Hasan Askari yang disusun oleh The Ahlul Bayt World Assembly