Ketua Parlemen Republik Islam Iran, Dr. Mohammad Bagher Ghalibaf, mendapat sambutan meriah dari ribuan hadirin saat tiba di Islamic Cultural Center (ICC), Jakarta (15/5/2025). Setibanya di lokasi, Dr. Ghalibaf langsung disambut oleh masyarakat yang memadati halaman ICC, diiringi lantunan Tim Hadrah Khatamun Nabiyyin. Bendera Indonesia, Iran, dan Palestina berkibar berdampingan, menyimbolkan persahabatan antarbangsa. Dr. Ghalibaf kemudian memasuki aula utama ICC untuk menghadiri peringatan milad Imam Ali al-Ridha as.
Acara dimulai dengan pembukaan oleh Ustaz Hafid Al Kaf, yang memandu sekaligus mengumumkan kehadiran Dr. Ghalibaf kepada publik ICC. Dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Ustaz Usep Irawan, serta menyanyikan lagu kebangsaan Republik Islam Iran dan “Indonesia Raya” oleh Tim Paduan Suara STAI Sadra. Selanjutnya, Ustaz Abdullah Assegaf menyampaikan tausiyah seputar hikmah milad Imam Ridha.
Dalam tausiyahnya, Ustaz Abdullah Assegaf menegaskan bahwa mazhab Ahlulbait dibangun di atas dua fondasi utama: akal dan hati. Keduanya harus berjalan seiring—akal dalam makrifat tidak bisa dipisahkan dari koneksi batin kepada Ahlulbait. Beliau juga menyinggung kedudukan agung Sayyidah Fatimah az-Zahra sa yang diakui oleh seluruh umat Islam, serta keilmuan dan kepahlawanan Imam Ali bin Abi Thalib as. Meski demikian, minimnya dukungan umat kala Sayyidah Fatimah sa mengetuk pintu demi membela Imam Ali as, atau saat peristiwa Shiffin di mana sebagian umat lebih cenderung terhadap Abu Musa Al-Asyari. Menurut beliau, hal itu menunjukkan lemahnya keterhubungan spiritual umat kepada Ahlulbait.
Beliau menggarisbawahi pentingnya tawasul dalam tradisi doa Syiah, sebagai jembatan spiritual yang membangun ikatan batin antara umat dan Ahlulbait. Dalam konteks ini, beliau mengutip pemikiran Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam karya monumental Insan 250 Tahun, yang menekankan bahwa para Imam, meskipun hidup di era berbeda, merupakan satu ruh perjuangan dengan visi tunggal untuk menegakkan agama Rasulullah.
Imam Musa Al-Kazhim as, ujar beliau, menghadapi rezim Harun Ar-Rasyid yang menyelimuti kekuasaan politiknya dengan simbol-simbol Islam. Imam Musa Al-Kazhim menyuarakan Islam murni yang membuat beliau dianggap ancaman oleh penguasa hingga akhirnya dipenjara dan wafat dalam kondisi diracun. Kendati dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lain, pengaruh beliau tetap hidup di hati para sipir dan narapidana.
Selepas kesyahidan Imam Musa Al-Kazhim, perjuangan dilanjutkan oleh Imam Ali ar-Ridha as yang menyebarkan ajaran Ahlulbait melalui para muridnya. Dalam strategi dakwahnya, Imam Ridha menerapkan prinsip taqiyyah—yakni menyampaikan kebenaran secara bijak dalam kondisi tertekan, bukan sekadar demi keselamatan diri, melainkan untuk meneruskan visi perjuangan. Ustaz Abdullah Assegaf menekankan bahwa mencintai Ahlulbait bukan perkara simbolik, melainkan mengandung konsekuensi perjuangan.
Setelah penampilan lagu “Salam Farmandeh” oleh anak-anak Darul Qur’an, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Direktur ICC, Prof. Dr. Syaikh Abdolmajid Hakimollahi. Beliau menyampaikan ucapan selamat datang kepada Dr. Ghalibaf, yang dinilai sebagai sosok revolusioner dan abdi negara yang telah teruji dalam medan perjuangan, politik, dan manajemen kenegaraan.
Prof. Dr. Syaikh Abdolmajid Hakimollahi menekankan bahwa kebijakan Republik Islam Iran mendorong kerja sama lintas bidang—politik, ekonomi, dan kebudayaan—dengan negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Beliau mengingatkan sejarah panjang kedua negara, sembari menyebut kontribusi tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang telah mengguncang dunia keilmuan.
Beliau juga menyoroti bahwa dunia saat ini tengah mengalami krisis spiritualitas, dan Iran sebagai negeri Timur dengan kemapanan hikmah dan kemajuan teknologi memiliki potensi besar menjadi sumber harapan. Indonesia, sebagai bangsa religius, dinilai sangat siap menyambut pemikiran Imam Khomeini dan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei.
Menurut beliau, kunjungan Dr. Mohammad Bagher Ghalibaf ke Indonesia dapat memperkuat kerja sama di bidang sains, filsafat, dan teknologi, yang berlandaskan pada kemuliaan insani. Kehadiran Dr. Mohammad Bagher Ghalibaf diharapkan menjadi jembatan nilai spiritual dan peradaban antara kedua negara, serta menjadi teladan bagi kalangan intelektual dan generasi muda Indonesia.
Para hadirin kemudian berkesempatan mendengarkan pidato Dr. Ghalibaf. Beliau memulai pidatonya dengan mengucapkan “selamat malam” dalam bahasa Indonesia dan menyampaikan rasa bahagia dapat hadir di tengah masyarakat Indonesia. Dr. Ghalibaf turut menyampaikan salam hangat dari rakyat Iran dan Pemimpin Besar Revolusi Islam, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei. Beliau berjanji akan menyampaikan salam dari masyarakat Indonesia saat berziarah ke makam Imam Ridha as dan ketika menghadap Ayatullah Sayyid Ali Khamenei.
Dalam pidatonya, Dr. Ghalibaf menekankan pentingnya kepedulian terhadap nasib umat Islam, sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan oleh Ahlulbait. Beliau menyoroti penderitaan rakyat Palestina yang kini terjebak dalam dua pilihan: syahid akibat mesin perang atau karena luka dan kelaparan. Dalam kondisi ini, beliau menekankan bahwa umat Islam tidak boleh diam, karena diam terhadap kezaliman sama artinya dengan kematian ruhani.
Dr. Ghalibaf membedakan antara Islam murni dan Islam yang berkiblat kepada Amerika Serikat. Menurutnya, Islam yang sejati tidak membiarkan agama dibatasi hanya pada ibadah personal, tapi menuntut keterlibatan aktif dalam menegakkan keadilan sosial. Ia menyebut rezim Zionis Israel sebagai kekuatan haus darah yang didukung penuh oleh Amerika, dan menyerukan bahwa perlawanan terhadap kezaliman adalah kewajiban semua orang yang mengaku Muslim.
Sebagai teladan perjuangan, Dr. Ghalibaf menyinggung sosok Syahid Qasem Soleimani, yang beliau sebut sebagai mujahid sejati, lahir dan besar dalam madrasah Ahlulbait. Ia menyatakan kebanggaannya atas konsistensi Syahid Soleimani yang tidak pernah meninggalkan medan perjuangan, bahkan sejak awal Revolusi Islam hingga detik syahidnya.
Dr. Ghalibaf mengisahkan kiprah Syahid Soleimani pasca-perang Iran-Irak, di mana beliau mengabdi di tenggara Iran—daerah miskin dan rawan konflik. Setelah menyelesaikan misinya, ia melanjutkan perlawanan terhadap proyek kekerasan global yang disponsori Amerika dan Zionis, termasuk kemunculan ISIS yang membantai kaum Muslim, baik Sunni, Syiah, bahkan umat Kristen dan Yahudi.
Syahid Soleimani, menurut Dr. Ghalibaf, adalah lambang persatuan umat. Ia berhadapan dengan kelompok-kelompok yang enggan melawan hegemoni Amerika, namun tetap teguh memegang prinsip muqawamah. Semangat perlawanan beliau bersumber dari ajaran Islam dan pemikiran Imam Khomeini. Dalam menghadapi musuh, beliau tidak pernah gentar, dan meyakini janji Allah sebagaimana disebut dalam kisah Perang Ahzab, bahwa kemenangan pasti diraih oleh kaum mukmin.
Untuk menghidupkan Islam dan mengembalikan kehormatan kaum Muslimin, Dr. Ghalibaf menekankan dua hal utama: menjaga persatuan umat dan membangkitkan semangat perlawanan terhadap kezaliman. Menurutnya, Islam yang tidak melawan kezaliman adalah Islam yang mati. Ia menambahkan bahwa, seperti Imam Khomeini dan Syahid Soleimani, setiap Muslim yang menanti kedatangan Imam Mahdi harus memperbaiki diri dan masyarakatnya. Pidato Dr. Ghalibaf ditutup dengan harapan akan meningkatnya kerja sama antara Iran dan Indonesia di bawah naungan nilai-nilai Al-Qur’an demi kepentingan umat Islam di seluruh dunia.
Acara kemudian berlanjut dengan penyerahan cinderamata berupa keris dari Prof. Dr. Syaikh Abdolmajid Hakimollahi, kepada Dr. Ghalibaf sebagai simbol penghargaan dan persahabatan budaya Indonesia. Secara simbolik, Dr. Ghalibaf juga memotong kue milad untuk memperingati hari lahir Imam Ridha. Dr. Ghalibaf turut menyaksikan peluncuran sejumlah karya penting yang diterbitkan ICC, di antaranya Mafahim al-Qur’an, Tafsir al-Huda, serta buku-buku karya Imam Ali Khamenei dan syarah atas Ihya Ulumuddin.
Di penghujung acara, para hadirin mendapat kesempatan bertabarruk dengan bendera yang pernah menghiasi makam suci Imam Ridha as. Dr. Ghalibaf kemudian diiringi lantunan Tim Hadrah untuk bersalaman dengan para hadirin sebelum melanjutkan ke sesi ramah tamah di ICC.