ICC Jakarta – Ada tiga manuskrip yang bisa dikaji untuk mempelajari bagaimana ajaran tasawuf Martabat Tujuh Syaikh Muhyi Pamijahan. Hal ini disampaikan KH Ali M Abdillah dalam kajian Sufi Nusantara di Islam Nusantara Center (INC), Sabtu, (23/09).
“Naskah Martabat Tujuh ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) menggunakan Bahasa Jawa baru pesisir,” kata dosen UNISNU Jakarta ini.
“Manuskrip karya Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan itu berjudul Martabat Kang Pipitu,” tambahnya.
Tiga naskah Martabat Tujuh tersebut adalah naskah dari Garut yang telah diteliti oleh Edi S Ekadjatidkk; naskah yang disimpan di Leiden Belanda dengan nomor katalog cod. or 7527; dan naskah dengan nomor Katalog cod.or 7705.
“Namun naskah nomor cod. or. 7465 belum ditemukan,” terangnya.
Menurut Ali, ada yang menarik karena dua diantaranya menjadi koleksi SnouckHorgronje.
“Satu sisi kita gemes sama SnouckHorgronje, sisi lain kita terima kasih, karena bisa mengamankan harta kekayaan ulama Nusantara, tersimpan rapi di Universitas Leiden Belanda sana. Kalau dibiarkan di Garut ya sudah rusak semua,” ujar Ketua MATAN DKI Jakarta ini.
Kajian ini, menurut temuan Ali, mempunyai kesimpulan bahwa kajian ontologi dan kosmolgi dalam Martabat Tujuh Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, murid Shaykh Abdul Rauf al-Singkili bercorak Ash’ariyah.
“Yaitu menerima tanzih dan menolak tashbih, sebab Syaikh Abdul Muhyi tetap memilah wujud qadim dan wujud huduth, antara hamba dan Tuhan sesuai pemahaman Syaikh Abdul Rauf al-Singkili” tandasnya.
Syaikh Muhyi adalah bagian dari penyebar Martabat Tujuh di Pulau Jawa. Berawal dari Syaikh Abdurrahman Singkili, di Jawa ada Syaikh Muhyi Pamijahan, di Padang ada Syaikh Burhanudin ulakan. (M Syakir Niamillah/Kendi Setiawan – NU Online)