Perkembangan terbaru di Suriah, khususnya pengambilalihan kekuasaan oleh kelompok pemberontak, tampaknya lebih menguntungkan sejumlah aktor regional dan internasional daripada rakyat Suriah sendiri. Namun, tak ada pihak yang tampak lebih bersemangat dibandingkan Turki. Perubahan ini membuka peluang bagi Ankara untuk menghidupkan kembali kebijakan Timur Tengahnya yang gagal, sekaligus membangkitkan mimpi lama para pemimpinnya: membangun kembali kejayaan Kekaisaran Ottoman dan menempatkan diri sebagai kekuatan regional maupun global.
Antusiasme ini tergambar jelas dalam pidato dan wawancara para pemimpin Turki yang kerap diwarnai sikap jumawa dan retorika kemenangan. Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang belakangan ini mengalami penurunan popularitas akibat keterpurukan ekonomi—termasuk melemahnya lira, meningkatnya pengangguran, dan inflasi yang meroket—kembali mengandalkan politik populis berbasis neo-Ottomanisme. Salah satu langkah simbolis yang diambilnya adalah mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid, demi menarik dukungan dari kalangan Islamis dan nasionalis.
Bagi banyak pemimpin dan rakyat Turki, mereka menganggap diri sebagai pewaris sah Kekaisaran Ottoman. Narasi kebangkitan kejayaan Ottoman begitu kuat, terbukti dari popularitas drama sejarah Turki yang mengisahkan era para sultan, seperti Ertugrul, yang mengangkat sosok pendiri kekaisaran tersebut. Hagia Sophia sendiri menjadi simbol kemenangan Ottoman atas Kekaisaran Bizantium pada tahun 1453.
Namun, dengan perkembangan pesat di Suriah dan keberhasilan kelompok-kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Turki menguasai Damaskus, pendekatan neo-Ottoman yang sebelumnya hanya bersifat simbolis kini berubah menjadi lebih nyata. Pada 7 Januari, Erdogan bahkan menyebut apa yang disebutnya sebagai “revolusi Suriah” sebagai sebuah “kesempatan bersejarah” bagi Turki.
Salah satu tanda nyata dari kebangkitan kembali neo-Ottomanisme ini adalah meningkatnya kunjungan pejabat tinggi Turki, termasuk Wakil Presiden Cevdet Yılmaz, ke makam Ertugrul, ayah pendiri Kekaisaran Ottoman. Makam ini pertama kali dibangun oleh putranya, Ottoman I, dan direnovasi oleh Sultan Abdul Hamid II pada akhir abad ke-19. Baru-baru ini, militer Turki bahkan menempatkan pasukan kehormatan dengan seragam Ottoman di lokasi tersebut.
Dalam sebuah pidato simbolis, Yilmaz menyatakan, “Kami menatap langit di sini dan dengan bebas mengibarkan bendera kami, melihat negara yang berkembang di bawah naungan bendera ini… Para pendahulu kita membuat keputusan strategis yang tepat dan membangun negara dengan akar yang kuat. Kita harus memahami prinsip-prinsip pemerintahan mereka untuk mengembalikan keadilan dalam tatanan modern.”
Sejalan dengan itu, pejabat lain, termasuk Menteri Transportasi Turki, mulai berbicara tentang mewujudkan impian Sultan Abdul Hamid II: menghubungkan Turki dengan Hejaz melalui Damaskus dengan jalur kereta api, yang semakin menegaskan visi neo-Ottomanisme Ankara terhadap perkembangan di Suriah.
Kini, pendekatan dominan ini juga tercermin dalam pernyataan terbaru Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, yang menggeneralisasi perkembangan di Suriah ke seluruh kawasan. Ia menyoroti kebijakan Iran di Suriah, menuding pendekatan Republik Islam dalam mendukung kelompok-kelompok perlawanan sebagai sesuatu yang mahal, tidak stabil, dan perlu diubah.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, ketika ditanya tentang dampak perkembangan di Suriah terhadap posisi regional Iran, Fidan menyatakan bahwa Iran telah lama mengadopsi kebijakan berisiko tinggi dengan mendukung kelompok bersenjata di kawasan. Menurutnya, meskipun kebijakan ini memberi Iran beberapa keberhasilan, biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan keberhasilan itu terlalu besar. “Untuk mempertahankan kemenangan mereka di Irak dan Suriah, Iran harus mengeluarkan biaya yang lebih besar,” ujarnya.
Fidan bahkan mengklaim bahwa ia telah menyampaikan kepada pejabat Iran bahwa kebijakan ini perlu diubah, karena meskipun mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, dalam jangka panjang justru membebani Iran dan kawasan. Ia juga menyatakan bahwa perkembangan terbaru telah memberikan pelajaran besar bagi Iran.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Turki ini mendapat tanggapan dari Kementerian Luar Negeri Iran, yang melihatnya sebagai upaya mengalihkan kesalahan demi menutupi dampak destabilisasi yang diakibatkan oleh kebijakan neo-Ottoman Turki di Suriah dan Irak selama dekade terakhir.
Jika dibandingkan antara kebijakan regional Iran yang berbasis prinsip dan pendekatan ekspansionis neo-Ottoman Turki, ada beberapa poin penting yang perlu dicatat:
1. Iran dan Perlawanan: Anti-Imperialisme vs. Ekspansionisme Turki
Berbeda dengan kebijakan regional Turki yang cenderung ekspansionis, poros perlawanan yang dipimpin Iran bersifat anti-imperialis. Iran telah membantu negara-negara di kawasan, terutama Palestina, untuk membebaskan diri dari pendudukan Israel dan dominasi politik Amerika Serikat.
Perbedaan ini tampak jelas dalam perkembangan beberapa bulan terakhir setelah Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober oleh Hamas. Iran dan sekutunya di poros perlawanan berdiri teguh bersama perjuangan Gaza dan Palestina, dengan biaya besar baik dari sisi sumber daya manusia, keuangan, maupun militer. Dari Lebanon hingga Yaman, sekutu Iran memberikan tekanan pada Israel dan Barat untuk menghentikan kejahatan dan pembantaian terhadap warga Palestina.
Sebaliknya, Turki, yang sering mengklaim mendukung Palestina, tetap mengekspor minyak ke pelabuhan Israel bersama sekutunya, Azerbaijan. Berbagai laporan bahkan mengungkapkan bagaimana Turki tetap berdagang dengan Israel melalui pelabuhan-pelabuhan Palestina yang berada di bawah kendali Otoritas Palestina.
Di Suriah, Turki justru bekerja sama dengan Israel dan AS untuk menumbangkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad—seorang pemimpin yang secara historis merupakan pendukung utama Palestina dan musuh Israel. Hingga kini, Ankara tak menunjukkan langkah berarti untuk mengakhiri pendudukan Israel di bagian selatan Suriah, karena dalam perspektif neo-Ottomanisme, pengaruh regional berarti mengembalikan dominasi Turki, yang pada dasarnya bertentangan dengan keberadaan negara-negara merdeka dan berdaulat di sekitar Turki.
Ambisi Turki untuk mencaplok Aleppo dan Mosul pun bukan rahasia lagi bagi para analis politik. Namun, apa yang oleh Menteri Luar Negeri Turki disebut sebagai “biaya tinggi” dalam mendukung kelompok perlawanan, justru merupakan bukti konsistensi Iran dalam prinsip revolusionernya, yang telah memberinya kredibilitas di mata bangsa-bangsa tertindas dan negara-negara yang menentang hegemoni AS serta kejahatan Israel.
2. Kebijakan Destabilisasi Turki vs. Pendekatan Iran
Menteri Luar Negeri Turki menyebut kebijakan Iran “destabilisasi,” namun justru kebijakan neo-Ottoman Turki yang selama ini menyebabkan kekacauan di kawasan. Fidan, yang selama lebih dari satu dekade memimpin Organisasi Intelijen Nasional Turki (MIT), tentu mengetahui bahwa Turki adalah aktor utama dalam menciptakan kekacauan di Suriah, baik dengan mendukung kelompok-kelompok teroris maupun menyediakan jalur transit bagi mereka dari berbagai penjuru dunia.
Pada puncak perang saudara Suriah, Turki bahkan membeli minyak dari ISIS melalui Pelabuhan Cihan, yang memberikan dana jutaan dolar bagi kelompok teroris untuk terus beroperasi. Di konflik Karabakh, Turki juga mengirim militan takfiri dari Idlib untuk berperang bersama pasukan Azerbaijan melawan Armenia, yang semakin memperkeruh situasi regional. Sebaliknya, Iran selalu mengutamakan stabilitas kawasan, mempertahankan keutuhan wilayah negara-negara tetangganya, dan secara efektif memerangi terorisme.
3. Kelompok Perlawanan Bukan Proxy Iran
Berbeda dengan klaim Fidan dan pandangan neo-Ottoman Turki, kelompok perlawanan bukanlah proksi Iran, melainkan gerakan yang berlandaskan pemikiran keagamaan, politik, dan spiritual dari Imam Khomeini dan Imam Khamenei. Tujuan mereka jelas: membebaskan Palestina, mengakhiri pendudukan Israel di Suriah dan Lebanon, serta melawan intervensi imperialis AS di kawasan.
Sumber berita: en.abna24.com
Sumber gambar: https://www.dw.com/