ICC Jakarta – Permasalahan yang berhubungan dengan filsafat kehidupan dan tujuan penciptaan bukanlah hal baru bagi manusia. Di sepanjang sejarah, pada setiap masyarakat, terdapat banyak individu mengkaji tema ini dengan meilhat perspektif dan amal perbuatan mereka yang beragam. Usaha cemerlang dari para filosof Yunani, pemikir Romawi, dan para teolog dari mazhab-mazhab besar tentang penafsiran kehidupan hakiki manusia merupakan dalil yang jelas untuk menetapkan bahwa persoalan tersebut telah direnungkan secara global. Berdasarkan realitas ini, permasalahan tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan dalam konteks sejarah sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri. Belum terdapat pembahasan tersendiri secara mendetail yang berhubungan dengan filsafat dan tujuan penciptaan pada tiga abad terakhir, namun pada masa kini hal itu telah dijadikan tema mandiri yang dikaji secara hangat, mendetail, dan mendalam.
Hangatnya pembahasan tema ini pada zaman modern karena tidak tercapainya harapan kemanusian yang diamanatkan kepada ilmu dan teknologi, walaupun apa yang telah dicapai sekarang ini kurang lebih sempurna secara material, teknologi, dan informasi, tetapi peradaban manusia dari dimensi psikologi dan spiritual mengalami kemunduran yang luar biasa yang belum pernah diprediksi oleh manusia itu sendiri. Kezaliman, ketidakadilan dan penderitaan umat manusia yang terjadi pada masa kini jauh lebih buruk dan menakutkan dari apa yang terjadi pada masa lampau, manusia lebih rendah dari binatang dan lebih licik dari iblis.
Kita mengetahui bahwa langkah pertama yang diambil untuk membahas setiap pokok masalah adalah meneliti secara tepat substansi dan latar belakang munculnya tema permasalahan dari semua aspek. Misalnya, begitu banyak kritikan dan sanggahan atas pembahasan yang berhubungan dengan fenomena-fenomena alam karena faktor ketiadaan pengamatan dan pengkajian yang tepat atas latar belakang permasalahan.
Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan untuk mengenal dan mengungkap rahasia filsafat penciptaan dan tujuan hakiki kehidupan manusia adalah mengkaji faktor-faktor dan motivasi-motivasi yang menyebabkan manusia lebih terdorong untuk memperhatikan dimensi filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
Dalam hal ini, adalah suatu kekeliruan apabila kita memandang bahwa solusi dari setiap masalah-masalah yang berkaitan dengan esensi manusia sama dengan kita menarik suatu garis lurus untuk menghubungkan antara titik awal dan titik akhir. Yang terbaik adalah memaparkan hal-hal yang substansial dan esensial kemudian mencari solusinya yang tepat. Di bawah ini akan kami jabarkan secara terperinci berbagai faktor-faktor dan alasan-alasan manusia yang mengharuskannya berpaling dan merenungkan kembali apa filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
1. Kehidupan dunia akan sirna
Mayoritas manusia ketika memandang aspek ketidaklanggengan, ketidakabadian, dan keterbatasan kehidupan di dunia ini lantas melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan. Semua kebahagiaan, kenikmatan, dan kebaikan di dunia ini mesti mengalami kefanaan, kehancuran, dan kepunahan. Tak satupun dari perkara dan realitas kehidupan yang abadi dan langgeng. Inilah sebuah kenyataan yang tak satupun manusia mengingkarinya. Di lubuk hatinya yang terdalam ia bertanya: apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah hakikat penciptaan alam yang tidak abadi ini? Apakah makna dan nilai-nilai kehidupan di dunia ini? Apakah substansi dan esensi kehidupan material ini? Apakah yang diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa kanak-kanak harus berakhir dengan masa remaja? Apakah masa remaja mesti berujung pada masa dewasa dan masa tua? Bukankah setelah semua penderitaan, kesedihan, dan kemalangan yang di alami manusia di dunia ini berakhir niscaya beralih pada kebahagiaan, kegembiraan, dan keberuntungan manusia? Bagaimana dengan segelintir manusia yang selama hidupnya senantiasa mengalami penderitaan dan kezaliman?
Pada dasarnya manusia senantiasa merindukan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaan hakiki, apabila ia telah mendapatkan apa yang dicita-citakan, maka mustahil ia menanyakan dan merenungkan kembali hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hidup, filsafat penciptaan, dan tujuan kehidupan.
2. Misteri kematian
Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan kezaliman harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk. Seluruh manusia jujur berkata bahwa satu-satunya kenyataan dalam catatan kehidupan mereka adalah kematian.
Ketika manusia melihat kehidupannya sendiri, ia mendapatkan kehidupannya yang harus berujung pada gerbang kematian. Ia lantas merenung bahwa mengapa kehidupan dunia ini tercipta dan setelah menjalaninya untuk beberapa waktu lamanya dalam kubangan lumpur penderitaan mesti berakhir pada kematian? Kenapa tidak dari awalnya kehidupan alam materi ini dibentuk secara abadi dan berkepanjangan? Apakah permainan kehidupan ini yang ujungnya adalah kematian mempunyai arah dan tujuan? Apakah substansi dan esensi kehidupan?
Begitu banyak manusia yang dapat kita saksikan bagaimana dalam kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat dan tujuan penciptaan, tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung kematian salah satu dari keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak dan kemudian larut merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan manusia di dunia ini.
3. Kegagalan cita-Cita
Pengaruh yang cukup besar dalam upaya mengalihkan manusia untuk kembali merenungkan tentang tujuan hakiki kehidupan dunia adalah ketika manusia menghadapi beragam kegagalan dan putus asa dalam menggapai cita-cita dan keinginan duniawi.
Dalam menjalani kehidupan di alam fana ini manusia diharuskan merancang cita-citanya yang relatif itu dan kemudian berupaya untuk mencapainya dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi sangat disayangkan, manusia yang semestinya menjadikan cita-cita yang relatif itu sebagai perantara meraih tujuan hakiki dan filsafat kehidupan, hanya akan berpaling kepada cita-cita hakiki ketika mulai terjebak dan tersudut di pojok kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi berbuat yang terbaik bagi kehidupan duniawinya.
Point yang perlu juga diperhatikan di sini berhubungan dengan perenungan kembali persoalan hakikat dan filsafat penciptaan adalah ketinggian cita-cita seseorang. Sebagai contoh, seorang musafir yang menentukan tujuan perjalanannya pada wilayah tertentu dalam waktu yang terbatas. Ketika ia tidak dapat mencapai tujuan perjalanannya itu terkadang ia merenung sejenak mengenai arti kehidupan dan tujuan manusia dihamparan kehidupan alam materi ini. Tapi manusia seperti ini, ketika waktu berlalu dan mendapatkan lagi sebuah keinginan baru yang menggantikan cita-citanya yang dulu, maka ia kembali lupa dan tidak menghiraukan lagi tujuan hakikinya yang dulu ia tetapkan. Hal ini berbeda dengan seorang kaya dan berilmu yang mematok cita-cita duniawi setinggi langit dan kemudian berupaya di sepanjang umurnya dengan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya dalam mencapai cita-citanya tersebut. Apabila telah bertahun-tahun lamanya berusaha namun apa yang dicita-citakannya sama sekali tak kunjung tercapai, ia malah semakin bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam keputus-asaannya, ia menggugat peran kekayaan dan keilmuannya yang tidak dapat menafsirkan secara benar dan bisa mengantarkan kehidupannya kepada apa-apa yang dicita-citakan, disaat seperti ini, terkadang akan mengarahkan pikiran-jernih dan menggoyah kesadaran batinnya untuk kembali merenungkan tujuan hakiki kehidupan dan filsafat penciptaan.
4. Kehidupan sosial yang tak menguntungkan
Keadaan kehidupan masyarakat yang sarat dengan problem dan masalah yang sulit mencari solusi dan pemecahannya merupakan salah satu faktor yang dapat membuat manusia kembali merenungkan makna kehidupan dan tujuan penciptaannya.
Seorang miskin yang jauh dari kenikmatan kehidupan duniawi, kehidupannya dijalani dengan segala penderitaan, usaha keras dan banting tulang dari pagi hingga malam hari terus mencari sesuap nasi dan memenuhi segala kebutuhan primernya, orang seperti ini yang hanya mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya akan merenungkan kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir di dunia ini sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan dan kemalangan?
Sudah tentu ada diantara orang-orang yang tidak mendapatkan hak-haknya, tidak berhasil, dan tidak rela dengan keadaan hidupnya di dunia ini pasti akan melontarkan perkataan tentang arah dan tujuan kehidupan duniawi. Tapi kalau diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang seperti ini bila meraih apa yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan besar tidak memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan makna dan tujuan penciptaan, karena mereka sesungguhnya hanya menginginkan perubahan kondisi kehidupan duniawinya dan lantas menempatkan secara salah pertanyaan tentang tujuan hidup.
5. Pertanyaan hakiki tentang filsafat penciptaan
Hal-hal yang dikemukakan di atas belumlah menyentuh jawaban hakiki dari permasalahan tujuan kehidupan dan filsafat penciptaan, mereka yang mencari jawaban itu pada dasarnya hanyalah bersifat aksidental karena penderitaan hidup senantiasa meliputi diri mereka. Tapi bagi mereka yang tidak lagi dipengaruhi oleh watak kehidupan material dan bahkan menguasai seluruh sendi kehidupan duniawi, memandang kehidupan dunia ini dan segala realitas keberadaan niscaya akan mendapatkan jawaban hakiki atas pertanyaan tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan tersebut.
Memandang kehidupan dunia ini secara hakiki, hanya bisa dirahi ketika manusia lepas dari pengaruh emosional dan kejiwaan yang menimpa kehidupan dunianya dan melihatnya dengan jiwa yang suci dan perenungan rasional, dengan demikian ia akan mencapai masalah yang hakiki mengenai tujuan penciptaan dan jawaban atasnya.
Sesungguhnya jawaban atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap manusia, tujuan dan filsafat penciptaan tidak terletak di dalam kehidupan material dan fenomena-fenomena lahiriah seperti makan, minum, dan tidur serta kecenderungan-kecenderungan alami lainnya.
Apabila manusia telah puas dengan kehidupan material dan duniawi ini, maka ia tak lagi mengejar pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita datang? Kenapa kita lahir di dunia ini? Dan hendak kemana kita pergi? Atau paling tidak jawaban dari pertanyaan ini tidak ditafsirkan dan diarahkan kepada kehidupan duniawi dan material.
Para pengikut filsafat nihilisme juga melakukan suatu kesalahan besar, karena mereka memandang bahwa kehidupan hakiki hanyalah kehidupan dunia-material. Oleh karena itu, segala hal, termasuk tujuan dan filsafat penciptaan didasarkan dan ditafsirkan berdasarkan watak kehidupan duniawi. Mereka menolak tujuan lain selain ini.
Pandangan yang berlawanan dengan perspektif di atas adalah bahwa kehidupan dunia-material bukanlah tujuan akhir dan hakiki, mereka beranggapan bahwa alam itu tidak terbatas pada alam materi saja melainkan terdapat juga alam akal dan mitsal (barzakh)[1]. Alam-alam ini, walaupun mempunyai tujuan-tujuan sementara, tetapi secara universal memiliki tujuan akhir dan hakiki. Adalah suatu kesalahan apabila kita memandang bahwa kumpulan dari tujuan-tujuan setiap alam itu merupakan tujuan esensial dan hakiki. Tujuan hakiki tak lain adalah tujuan akhir seluruh penciptaan dan realitas kehidupan. (Mohammad Adlany)
[1] . Alam yang terletak di antara alam akal (alam tertinggi) dan alam materi (alam terendah).