“Yaumul Mahabbah” adalah hari pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as yang terjadi pada tahun kedua Hijriah, tanggal 1 Dzulhijjah. Menurut pendapat masyhur, mahar Sayidah Zahra sa adalah mahr al-Sunnah (lima ratus Dirham). Rasulullah saw setelah menolak dengan halus beberapa pelamar, akhirnya menerima lamaran Ali bin Abi Thalib as dan menyebut pernikahan tersebut sebagai pernikahan dari sisi Allah dan atas kehendak-Nya dan dijelaskan bahwa Allah lah yang menikahkan Fatimah dengan Ali as.
Maka sebagian kaum Muhajirin berkata kepada Imam Ali as, “Mengapa engkau tidak melamar Fatimah sa?” Beliau menjawab: “Demi Allah, aku tidak memiliki apapun.”
Mereka berkata, bahwa :Rasulullah saw tidak menghendaki apapun darimu.” Akhirnya Imam Ali as menemui Rasulullah saw, namun beliau pun tak dapat mengutarakan niatnya karena rasa malu yang menghinggapinya. Untuk ketiga kalinya, akhirnya beliau mengutarakan niatnya melamar Fatimah sa.
Imam Ali menemui Rasulullah (saww) yang saat itu berada di rumah Ummu Salamah, ketika sampai di depan rumah Rasulullah (saww) maka Imam Ali as mengetuk pintunya. Rasul (saww) berkata kepada Ummu Salamah;
“Bukalah pintu, orang yang mengetuk pintu adalah orang yang dicintai Allah dan Rasul-NYA, dan dia juga mencintai Allah dan Rasul-NYA.”
Ummu Salamah bertanya : “Wahai Rasulullah, Ayah dan ibuku menjadi tebusan anda, siapakah yang Anda maksud?”
Rasulullah (saww) bersabda : “Wahai Ummu Salamah, diamlah, Dia Ksatria, lelaki pemberani, saudara putra paman, dan orang tercinta di sisiku.”
Ummu Salamah bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu. Imam Ali (as) masuk dan mengucapkan salam kepada Rasulullah (saww), beliau duduk dekat Rasulullah (saww). Wajah Imam Ali (as) memerah lantaran malu. Beliau menundukkan kepala terdiam; tak mampu mengutarakan niatnya.
Beberapa saat berlalu dan keduanya tetap diam. Rasulullah (saww) memecah keheningan itu dengan bersabda; “Wahai Ali, tampaknya engkau datang menemuiku untuk suatu keperluan, namun engkau malu mengutarakannya. Sampaikanlah keperluanmu tanpa malu dan yakinlah, keinginanmu pasti diterima.”
Imam Ali (as) menjawab, “Wahai Rasulullah (saww), ayah dan ibu saya menjadi tebusan Anda..! Saya tumbuh besar di rumah Anda dan beroleh pendidikan dari Anda. Anda lebih baik ketimbang ayah dan ibu saya dalam mendidik saya. Saya beroleh hidayah melalui berkah keberadaan Anda.
Wahai Rasulullah, Demi Allah, Anda adalah kekayaan dunia dan akhirat saya. Sekarang, telah tiba saatnya untuk membina sebuah rumah tangga, sehingga beroleh keterangan darinya. Jika Anda memandang baik, nikahkanlah saya dengan Fathimah. Sesungguhnya itu kebahagiaan terbesar bagi saya.”
Rasulullah merasa senang mendengar pernyataan Imam Ali (as). Beliau berkata : “Sabarlah, saya ingin tahu bagaimana pendapat Fathimah tentang hal ini.”
Kemudian Rasulullah (saww) menemui Sayyidah Fathimah (as) dan berkata kepadanya : “Wahai putriku, Ali bin Abi Thalib datang meminangmu. Setujukah bila aku menikahkanmu dengannya?”
Sayyidah Fathimah terdiam lantaran malu, namun tidak menunjukkan sikap menolak. Rasulullah (saww) paham bahwa diamnya Sayyidah Fathimah (as) merupakan tanda persetujuan darinya. Oleh karena itu Rasulullah (saww) berkata : “Allahu Akbar..! Diamnya Fathimah adalah setuju” (Abbas Azizi, 360 Fadhail Mashaib wa Karamat-e Fatimaeh)
Rasuullah saw bersabda : “Wahai Ali, orang-orang telah mendahuluimu meminang Fathimah kepadaku. Setiap kali ku sampaikan (itu) kepada putriku, tidak tampak persetujuan darinya. Karena itu biarlah aku berbicara padanya tentangmu.”
Setelah itu, Nabi (saww) menemui Sayyidah Fathimah (as) dan berkata : “Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib telah masyhur keluarga dan keutamaannya dalam Islam. Aku mohon kepada Tuhanku untuk menikahkanmu dengan makhluk-NYA yang paling baik dan paling dicintai-NYA. Bagaimana pendapatmu wahai Fathimah?”
Sayyidah Fathimah (as) terdiam, dan Rasulullah (saww) pun keluar seraya berkata; “Allahu Akbar..! Diamnya Fathimah (as) adalah persetujuan darinya.”
Rasulullah (saww) kembali menemui Imam Ali (as) dan menyampaikan kabar gembira perihal persetujuan Sayyidah Fathimah (as).
Rasulullah saw bersabda, “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?” Ali menjawab: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki sesuatu apapun kecuali baju perangku.” Akhirnya Rasulullah menikahkan Fatimah sa dengan mahar 12,5 ons emas dan beliau mengembalikan baju perang tersebut kepada Ali. Diriwayatkan bahwa sebagian kaum Muhajirin mengeluh atas pernikahan ini, namun beliau as mengatakan, “saya tidak memberikan Fatimah kepada Ali; Allah lah yang memberikannya untuk Ali.”
Sumber-sumber sejarah menuturkan bahwa jumlah mahar Sayidah Zahra sa berkisar sekitar 400-500 dirham. Dalam sebuah hadis dari Imam Ridha as, disebutkan bahwa maharnya, yang terkenal dengan istilah Mahr al-Sunnah, berjumlah lima ratus dirham. Mengenai ukuran timbangan dirham terjadi perbedaan, namun berdasarkan beberapa referensi fikih, 500 Dirham kurang lebih 1250 gram emas. Pada periode Nabi, setiap sepuluh dirham perak kurang lebih satu dinar emas. Atas dasar ini, mahar Sayidah Zahra sa diperkirakan sekitar 170 hingga 223 gram emas.
Imam Ali as menjual salah satu peralatannnya untuk memenuhi mahar tersebut dan menjamin mahar Sayidah Fatimah. Terjadi perselisihan tentang apa peralatan tersebut. Sebagian sejarawan mengatakan baju perang, sebagian yang lain mengatakan kulit kambing atau pakaian Yamani atau onta. Apapun itu, dijual dan uangnya dibawa ke hadapan Rasulullah.
Beliau dengan tanpa menghitung, mengambil sedikit dari uang tersebut dan menyerahkannya kepada Bilal dan mengatakan, “Belilah wewangian dengan uang ini!” Kemudian sisanya diberikan kepada Abu Bakar dan berkata, siapkanlah dengan uang tersebut apa saja yang diperlukan untuk putriku. Ammar bin Yasir dan beberapa sahabat lainnya menyertai Abu Bakar hingga dengan sarannya, mereka mempersiapkan perlengkapan untuk Sayidah Zahra.
Syaikh Thusi menulis daftar perlengkapan sebagai berikut:
▪Baju dengan nilai 7 dirham.
▪Kerudung dengan nilai 4 dirham.
▪Selimut hitam tenunan Khaibar.
▪Dua kasur, yang satunya dari serabut korma dan satunya lagi dari bulu domba.
▪Empat bantal kulit dari Tha’if
▪Tikar
▪Sebuah penggiling gandum.
▪Baskom dari tembaga untuk mencuci pakaian.
▪Kantong dari kulit (untuk menyimpan air).
▪Mangkok untuk memeras susu.
▪Qirbah air.
▪Kendi untuk bersuci.
▪Guci hijau.
▪Dua kendi tanah
Dinukilkan bahwa, Fatimah as setelah pernikahannya, ketika bertemu dengan seorang wanita pengemis dan meminta sesuatu darinya, maka beliau pun memberikan pakaian barunya dan berganti memakai pakaian biasa.
Halabi dalam Manaqib Al Abi Thalib mencatat, Rasulullah saw menyampaikan khotbah saat menikahkan Fatimah sa dengan Ali as, dimana Imam Ridha as dan Yahya bin Mu’in dalam Āmālinya dan Ibnu Baththah dalam Al-Inābah menukilnya dengan tanpa sanad dari Anas bin Malik, beliau saw berkata:
“Segala puji bagi Allah yang terpuji dengan segala nikmat-Nya, yang disembah dengan ketentuan-Nya, yang ditaati dengan kekuasaan-Nya, yang ditakuti azab dan kekuasaan-Nya, yang meliputi perkara-Nya di langit dan bumi-Nya, yang menciptakan makhluk dengan takdir-Nya, yang mengistimewakan makhluk-Nya dengan hukum-Nya dan memuliakan mereka dengan agama-Nya, yang menjadikan mereka mulia dengan Nabi-Nya Muhammad saw.
Sesungguhnya Allah, nama-Nya Maha Mulia, Maha Tinggi dan Maha Agung. Ia telah menjadikan mushaharah (hubungan keluarga karena pernikahan) sebagai sebab penerus generasi, perkara yang menjadi sebab penyambung keluarga dan penerus generasi manusia. Allah yang Maha Mulia dalam firman-Nya menyatakan: “Dialah yang menciptakan manusia dari air kemudian menjadikan manusia punya keturunan dan mushaharah, dan Tuhanmu Maha Kuasa”.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkanku untuk menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikan bahwa sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus keping uang perak, apakah kamu ridha dengan hal itu?”
Kemudian Ali menjawab: “Ya, aku ridha wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw memanggil Bilal Habasyi dan berkata kepadanya, “Karena sekarang adalah pernikahan putriku dan anak pamanku, maka saya menyukai sunnah umatku yaitu mengadakan walimah (jamuan makan) saat pernikahan. Pergilah dan sediakanlah satu kambing dan lima mud (satuan ukuran Arab) gandum untuk mengundang kaum Muhajirin dan Anshar.”
Bilal pun menyiapkannya dan membawanya ke hadapan Rasulullah saw, lalu beliau meletakkan di depannya. Dengan perintah Rasulullah, masyarakat datang ke masjid secara kelompok per kelompok dan setelah makan, mereka pergi sampai ke semuanya mendapatkan makanan dan masih ada sedikit makanan yang tersisa. Rasulullah memberikan berkah makanan yang sedikit itu dan berkata kepada Bilal, “bawalah makanan ini untuk para wanita dan katakan, makanlah makanan ini dan berilah makan orang-orang yang bersama kalian dengan makanan tersebut.”
Setelah walimatul ‘arusy, Rasulullah saw bersama Ali as pergi ke rumahnya dan memanggil Fatimah sa. Ketika Fatimah datang, ia melihat suaminya bersama Rasulullah. Rasulullah berkata kepadanya, “mendekatlah.” Fatimah mendekati ayahnya.
Beliau pun memegang tangan keduanya dan saat hendak meletakkan tangan Fatimah ke tangan Ali, ia berkata, “Demi Allah, yang mana aku tidak melalaikan hak-Mu dan memuliakan firman-Mu. Aku menikahkanmu dengan orang paling terbaik dari keluargaku dan demi Allah aku telah menikahkanmu dengan orang yang menjadi penghulu dunia dan akhirat dan termasuk orang yang salih… pergilah ke rumah kalian. Allah memberkati kalian atas pernikahan ini dan memperbaiki urusan kalian.”
Rasulullah saw berkata kepada Asma’ binti Umais, “bawakanlah bejana hijau untukku.” Asma’ pun berdiri dan membawakan sebuah bejana yang penuh dengan air dan membawanya ke hadapannya. Nabi saw mengambil segenggam air dan memercikkannya di atas kepala Sayidah Fatimah dan telapak satunya mengambil air dan mengusapkan ke tangannya dan kemudian memercikkannya ke leher dan badannya.
Kemudian berkata, “Ya Allah! Fatimah dariku dan aku dari Fatimah. Sebagaimana Engkau jauhkan kotoran dariku dan menyucikanku sesuci-sucinya, maka sucikanlah ia.” Kemudian beliau berkata supaya meminum air dan membasuh mukanya dengan air tersebut dan berkumur-kumur.
Lalu beliau meminta air dari bejana lain dan memanggil Imam Ali as dan beliau melakukan hal yang serupa dan berdoa dengan doa yang sama dan kemudian beliau berkata, “Semoga Allah mendekatkan hati kalian, menciptakan kasih sayang, memberkati keturunan kalian dan memperbaiki urusan-urusan kalian.”
Dalam kitab Hilyah al Auliya (5/59) Hafidz Abu Nu’aim menukilkan dari Ibn Mas’ud :
Acara pernikahan Sayyidah Fathimah dilangsungkan malam hari.
Keesokan harinya, Sayyidah Fathimah (as) menderita demam. Untuk menghibur putrinya, Rasulullah (saww) berkata kepada putrinya :
“Wahai Fathimah, aku menikahkanmu dengan seorang laki-laki yang di dunia ini merupakan pemimpin dan orang besar, sedangkan di akahirat dia termasuk orang-orang shaleh dan baik. Wahai Fathimah, takala Allah berkehendak menikahkanmu dengan Ali, Dia memerintahkan Malaikat Jibril agar berdiri di langit keempat dan membacakan khutbah nikah di hadapan para malaikat yang berbaris-baris. Kemudian Allah memerintahkan kepada pohon-pohon surga agar membawa mutiara-mutiara dan menebarkannya kepada para malaikat. Setiap malaikat yang beroleh mutiara lebih banyak, maka dia membanggakan diri atas malaikat lain hingga hari kiamat.”
Ummu Salamah menuturkan : “Sayyidah Fathimah membanggakan diri diatas para wanita lain, lantaran beliau adalah wanita pertama yang khutbah nikahnya dibacakan malaikat Jibril.”
Beberapa hari dari pernikahan sudah lewat, jauh dari Fatimah sa sangatlah sukar bagi Rasulullah, karena Fatimah sudah bertahun-tahun ada di sisinya dan mengingatkan kenangannya bersama Khadijah sa, Khadijah yang disifati dengan, “siapakah orang yang menggantikan kedudukan Khadijah?! Saat masyarakat mendustakanku, ia malah menganggapku jujur. Saat semuanya meninggalkanku, ia membelaku dengan keimanan dan hartanya. Karenanya, saya hendak membawa menantu dan putriku ke rumahku. Aku ingin kenangan Khadijah senantiasa ada di sampingku, namun ia sekarang ini adalah istri Ali dan harus tinggal di rumahnya. Jika ada kamar di dekat rumah dia akan persiapkan untuk mereka, maka ia akan tenang, namun bisa jadi kaum muslimin Madinah akan bersusah payah. “
Pada akhirnya keinginan Nabi saw menaruh menantu dan putrinya supaya mereka ada di kamarnya pun terlaksana. Namun hal ini sangat sukar, terlebih-lebih di rumah beliau ada dua orang wanita (Saudah dan Aisyah). Salah seorang sahabat bernama Haritsah bin Nu’man mengetahui kondisi tersebut dan mendatangi beliau. Ia berkata:
“Rumah-rumahku kesemuanya dekat denganmu. Diriku dan apa yang aku punyai adalah milikmu. Demi Allah, aku lebih menyukai hartaku engkau ambil daripada engkau menyisakannya di tanganku.”
Rasulullah saw menjawab: “Semoga Allah memberikan pahala untukmu.” Setelah itu, Sayyidah Fatimah as dan Imam Ali as pindah ke salah satu rumah Haritsah.