Khutbah Jumat di aula Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada 24 Oktober 2025 disampaikan oleh Ustaz Hafidh Alkaf dengan tema Menghidupkan Amanah di Tengah Krisis Integritas Publik. Dalam khutbahnya, beliau menyoroti krisis yang dihadapi manusia di berbagai bidang kehidupan, tidak hanya ekonomi atau pangan, melainkan juga krisis amanah dan integritas yang kini melanda masyarakat luas.
Ustaz Hafidh Alkaf menjelaskan bahwa ketika krisis amanah meluas dalam suatu negara—dari pucuk pimpinan hingga lapisan masyarakat bawah—maka kehancuran akan sulit dihindari. Padahal, amanah merupakan salah satu nilai pokok dalam ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Beliau menekankan bahwa amanah tidak hanya berkaitan dengan urusan pribadi, tetapi juga mencakup segala hal yang menjadi titipan Allah SWT—baik pekerjaan, jabatan, harta, anak, rezeki, maupun umur. Ketika seseorang diberikan tanggung jawab, maka di sanalah ia sedang mengemban amanah. Sayangnya, banyak orang meremehkan hal ini, termasuk dalam menjaga rahasia dan menjaga kehormatan sesama, bahkan antara suami dan istri.
Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak ada keimanan bagi orang yang tidak dapat menjaga amanah, dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak menepati janji. Amanah, lanjut beliau, merupakan ciri utama seorang nabi. Amanah pertama yang dilakukan para nabi adalah menerima dan menyampaikan wahyu dengan benar. Imam Ali AS menyebut amanah sebagai sistem utama bagi agama, dan puncak dari keimanan seseorang adalah amanah itu sendiri. Imam Ja’far Ash-Shadiq AS pun menegaskan bahwa ukuran kebaikan seseorang tidak diukur dari banyaknya ibadah, melainkan dari kemampuannya memegang amanah.
Dari berbagai riwayat ini, Ustaz Hafidh Alkaf menyimpulkan bahwa iman sejati bukan hanya sekadar keyakinan dalam hati, melainkan harus terwujud dalam sikap amanah. Termasuk di dalamnya adalah amanah ilmu, di mana orang berilmu wajib menyampaikan apa yang diketahuinya dengan benar dan tidak memberikan penjelasan yang salah kepada masyarakat.
Beliau kemudian mencontohkan keteladanan para imam suci Ahlul Bait AS. Imam Ali AS, dalam sebuah surat kepada Malik Asytar ketika mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, mengingatkan bahwa jabatan bukanlah santapan dan kehormatan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam Surah Al-Anfal ayat 27, Allah SWT memperingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.”
Ustaz Hafidh Alkaf menjelaskan bahwa untuk mengatasi krisis integritas publik, agama menawarkan dua langkah utama. Pertama, menyadari bahwa menunaikan amanah merupakan bentuk ibadah. Banyak orang keliru memahami ibadah hanya sebatas salat, puasa, atau membaca Al-Qur’an, padahal melaksanakan amanah juga termasuk ibadah karena diperintahkan langsung oleh Allah SWT. Kedua, menumbuhkan kesadaran kolektif dalam masyarakat agar nilai amanah kembali ditegakkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Beliau menuturkan kisah keteladanan Imam Ali AS bersama pelayannya, Qanbar. Suatu hari, Imam Ali AS menitipkan kudanya kepada seseorang ketika hendak menjenguk orang sakit. Namun ketika keluar, pelana kudanya telah hilang. Qanbar mencari dan menemukan pelana itu di sebuah toko. Penjual mengaku baru saja membelinya dari seseorang dan ingin menjualnya kembali seharga tiga dirham. Qanbar membayar harga tersebut dan melaporkan kejadian itu kepada Imam Ali AS. Mendengar hal itu, Imam Ali AS berkata bahwa Rasulullah SAW pernah mengingatkan setiap manusia telah ditetapkan rezekinya oleh Allah SWT. Jika seseorang mengambil rezeki dengan cara yang haram, maka Allah tetap akan memberinya rezeki yang sama melalui jalan halal, tetapi ia kehilangan keberkahan. Orang yang mencuri pelana itu, kata Imam Ali AS, sebenarnya hanya memilih cara yang haram untuk mendapatkan dua dirham yang sudah Allah sediakan baginya secara halal.
Ustaz Hafidh Alkaf juga menyinggung kisah seorang pemilik pohon kurma yang sering melewati pekarangan rumah orang lain tanpa izin. Pemilik rumah mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah menegur pemilik pohon, orang itu menolak memperbaiki sikapnya. Bahkan setelah Rasulullah menawarkan ganti dengan harga tinggi dan bahkan dengan “pohon di surga,” ia tetap menolak. Rasulullah SAW kemudian menegaskan bahwa selain amanah terhadap harta, ia juga telah melanggar amanah kehormatan keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Akhirnya, Rasulullah SAW memerintahkan agar pohon itu dicabut dan dipindahkan, sebagai pelajaran bahwa menjaga amanah mencakup menjaga hak dan kehormatan sesama manusia.
Dalam khutbah kedua, Ustaz Hafidh Alkaf menyinggung perkembangan di Timur Tengah, khususnya di Gaza, Palestina. Ia menyoroti genosida yang berlangsung selama dua tahun oleh rezim zionis terhadap rakyat Palestina, yang menewaskan lebih dari seratus ribu jiwa. Dunia, katanya, hanya menyaksikan tanpa berbuat apa pun. Kini, meski terjadi gencatan senjata dan pertukaran tahanan, umat Islam tidak boleh lengah karena Israel sering kali melanggar perjanjian dan tetap menindas rakyat Palestina. Ia mengajak jamaah untuk terus mendukung perjuangan rakyat Gaza, melanjutkan aksi boikot terhadap produk zionis, dan mendoakan kesembuhan bagi yang terluka serta ketinggian derajat bagi para syuhada.
Ustaz Hafidh Alkaf menegaskan bahwa apa yang terjadi di Palestina menunjukkan kebenaran sabda Sayyid Hassan Nasrallah bahwa kekuatan rezim zionis lebih lemah dari sarang laba-laba. Selama dua tahun, mereka gagal menaklukkan pejuang Palestina yang hanya bersenjata sederhana. Perlawanan, kesabaran, dan tawakal kepada Allah SWT menjadi bukti bahwa kekuatan apa pun bisa dikalahkan oleh iman dan keteguhan.
Beliau menutup khutbah dengan mengingatkan bahwa dalam beberapa hari mendatang, umat Islam akan memperingati syahadah Sayyidah Fatimah AS. Berdasarkan berbagai riwayat, Sayyidah Fatimah AS wafat antara 45 hingga 95 hari setelah Rasulullah SAW. Peristiwa ini, tegas beliau, tidak boleh dilupakan karena Sayyidah Fatimah AS adalah sosok yang paling terdepan dalam membela wilayah Amirul Mukminin Imam Ali AS. Sebagai pengikut Ahlul Bait, memperingati syahadah beliau adalah bentuk kesetiaan kepada perjuangan suci dalam menjaga kebenaran dan keadilan.



