Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menggelar Kelas Tafsir Tartibi pada Jumat, 24 Oktober 2025, menghadirkan penceramah Ustaz Umar Shahab. Dalam pertemuan ini, beliau melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah di bumi sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 29 dan ayat 30.
Ustaz Umar Shahab memulai dengan menjelaskan firman Allah swt pada Surah Al-Baqarah ayat 29:
huwalladzî khalaqa lakum mâ fil-ardli jamî‘an tsummastawâ ilas-samâ’i fa sawwâhunna sab‘a samâwât, wa huwa bikulli syai’in ‘alîm
Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke (penciptaan) langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dilanjutkan dengan ayat 30:
wa idz qâla rabbuka lil-malâ’ikati innî jâ‘ilun fil-ardli khalîfah, qâlû a taj‘alu fîhâ may yufsidu fîhâ wa yasfikud-dimâ’, wa naḫnu nusabbiḫu biḫamdika wa nuqaddisu lak, qâla innî a‘lamu mâ lâ ta‘lamûn
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam penjelasan Ustaz Umar Shahab, ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt menegaskan kebijaksanaan dan keagungan-Nya di hadapan para malaikat. Hanya Allah yang berhak mengagungkan diri-Nya, karena sifat Mutakabbir merupakan hak mutlak milik-Nya. Ketika para malaikat mempertanyakan keputusan-Nya, Allah tidak menunjukkan kemarahan, melainkan memberikan jawaban yang menunjukkan keluasan ilmu dan kebijaksanaan-Nya.
Selanjutnya, beliau menukil ayat 31:
wa ‘allama âdamal-asmâ’a kullahâ tsumma ‘aradlahum ‘alal-malâ’ikati fa qâla ambi’ûnî bi’asmâ’i hâ’ulâ’i ing kuntum shâdiqîn
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!”
Ayat ini, menurut Ustaz Umar Shahab, menjadi bentuk jawaban Allah kepada para malaikat. Allah tidak menolak pertanyaan mereka, tetapi mengujinya dengan perintah untuk menyebutkan nama-nama tersebut. Dari sini dapat dipahami bahwa akhlak yang diajarkan Allah adalah tidak menolak pertanyaan, melainkan menjelaskannya dengan pengetahuan.
Allah swt menguji malaikat untuk memperlihatkan perbedaan kapasitas antara manusia dan malaikat. Manusia diberi kemampuan menampung pengetahuan yang lebih luas, termasuk hal-hal yang tidak diajarkan kepada malaikat. Pengajaran nama-nama seluruhnya menjadi bukti keistimewaan yang menjadikan Nabi Adam pantas menduduki posisi khalifah.
Ustaz Umar Shahab menjelaskan bahwa frasa wa ‘allama âdamal-asmâ’a kullahâ menegaskan dua keistimewaan besar: pertama, Allah mengajarkan kepada Nabi Adam as pengetahuan secara langsung; kedua, pengetahuan itu mencakup seluruhnya, tanpa kecuali. Karena itu, ilmu yang diberikan Allah kepada Nabi Adam bersifat istimewa dan bermanfaat.
Beliau menambahkan bahwa kata asma tidak hanya berarti nama benda, tetapi juga tanda dan sesuatu yang tinggi. Akar kata ism mengandung makna “tanda” dan “ketinggian”, sebab sesuatu baru bisa menjadi tanda apabila terlihat, dan sesuatu yang terlihat adalah sesuatu yang tinggi. Nama juga merupakan tanda identitas yang membedakan satu dari yang lain. Dengan demikian, asma dapat mencakup apa pun yang menjadi tanda kebesaran Allah swt.
Dalam penjelasan beliau, penggunaan kata ganti hum pada ayat tsumma ‘aradlahum menunjukkan bahwa asma yang dimaksud bukan benda mati, melainkan sesuatu yang berakal. Dalam riwayat Ahlulbait, para maksum dan para nabi disebut sebagai asma, karena mereka menjadi tanda-tanda kebesaran Allah swt yang menuntun manusia untuk mengenal-Nya.
Malaikat kemudian menjawab sebagaimana disebut dalam ayat berikut:
qâlû sub-ḫânaka lâ ‘ilma lanâ illâ mâ ‘allamtanâ, innaka antal-‘alîmul-ḫakîm
Mereka berkata, “Mahasuci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Ustaz Umar Shahab menyampaikan bahwa seandainya asma hanya berupa nama-nama benda, malaikat tentu mengetahuinya, karena mereka mengurus langit dan bumi. Namun karena mereka tidak mengetahui asma yang dimaksud, berarti asma itu berkaitan dengan sesuatu yang istimewa, yang menjadikan Nabi Adam as memiliki kedudukan lebih tinggi.
Pengajaran asma juga berkaitan langsung dengan fungsi kekhalifahan manusia. Manusia diberi amanah untuk mengelola bumi, bukan hanya secara materi tetapi juga dalam dimensi batin yang memberi manfaat luas bagi kehidupan. Semua manusia memiliki potensi sebagai khalifah, tetapi yang tertinggi adalah para maksum, yang diberi oleh Allah swt otoritas paling luas.
Allah kemudian menegaskan kembali kebijaksanaan-Nya dalam ayat 33:
qâla yâ âdamu ambi’hum bi’asmâ’ihim, fa lammâ amba’ahum bi’asmâ’ihim qâla a lam aqul lakum innî a‘lamu ghaibas-samâwâti wal-ardli wa a‘lamu mâ tubdûna wa mâ kuntum taktumûn
Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkannya, Dia berfirman, “Bukankah telah Kukatakan kepadamu bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?”
Ayat ini menunjukkan bahwa keputusan Allah swt menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah didasarkan pada ilmu dan kebijaksanaan yang melampaui pengetahuan para malaikat. Allah mengetahui apa yang tampak maupun yang tersembunyi dalam hati mereka, termasuk perasaan bahwa mereka lebih pantas menjadi khalifah.
Melalui pembahasan tersebut, Ustaz Umar Shahab menekankan bahwa pengajaran nama-nama kepada Nabi Adam merupakan bukti keistimewaan manusia yang diberi potensi untuk menerima pengetahuan langsung dari Allah swt. Ilmu inilah yang menjadikan manusia layak memikul amanah kekhalifahan di muka bumi.


