Dalam khutbah Jumat di aula Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada 31 Oktober 2025, Ustaz Hafidh Alkaf menyampaikan pembahasan tentang krisis hidayah di tengah masyarakat modern. Beliau menguraikan bahwa salah satu krisis terbesar umat Islam di zaman ini adalah hilangnya kesadaran akan pentingnya hidayah dan upaya untuk memperolehnya. Fenomena kemungkaran, pelanggaran terhadap nilai-nilai agama, serta ketidakpatuhan terhadap ajaran Islam semakin sering terlihat, menandakan betapa manusia kini jauh dari cahaya petunjuk Allah SWT.
Ustaz Hafidh menjelaskan bahwa hidayah tidak datang begitu saja, melainkan harus diusahakan dengan kesungguhan. Ketika hidayah hilang dari hati manusia, maka yang muncul adalah pembenaran terhadap kesalahan. Ia mengingatkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menggunakan dalil demi membenarkan perbuatannya yang keliru. Sebagaimana direkam dalam Al-Qur’an tentang ucapan Fir’aun dalam Surah Ghafir ayat 29: “Aku hanya mengemukakan kepadamu apa yang aku pandang baik dan aku hanya menunjukkan kepadamu jalan yang benar.” Bahkan ketika Nabi Musa AS mengajaknya kepada kebenaran, Fir’aun justru berkata, “Hai Haman, buatkanlah untukku sebuah bangunan tinggi agar aku dapat melihat Tuhan Musa. Sesungguhnya aku menganggapnya pendusta.” (Ghafir: 36–37).
Fir’aun, kata beliau, adalah simbol manusia yang merasa benar meski melakukan kebatilan, hingga keburukan terlihat indah di matanya. Itulah yang dimaksud krisis hidayah—ketika kesalahan dibungkus dengan pembenaran.
Beliau menekankan bahwa meskipun kebanyakan manusia bukan penguasa seperti Fir’aun atau Qarun, kecenderungan untuk melakukan dosa dengan justifikasi serupa tetap ada dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam perkara ghibah atau menggunjing orang lain, di mana Rasulullah SAW menyebutnya sebagai “lauk penghuni neraka”. Namun banyak orang berusaha membenarkannya dengan alasan untuk memperingatkan orang lain. Jika kebiasaan membenarkan kesalahan ini terus dibiarkan, manusia akan dengan mudah melakukan pelanggaran yang lebih besar dan semakin jauh dari hidayah.
Ustaz Hafidh kemudian mengaitkan tema ini dengan momentum peringatan syahadah Sayyidah Fatimah az-Zahra SA. Beliau mengingatkan bahwa mencintai dan meneladani Sayyidah Fatimah SA merupakan bentuk penjagaan terhadap kebenaran dan hidayah itu sendiri. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang membahagiakan Fatimah, maka ia membahagiakanku; barang siapa yang membuat Fatimah sedih, maka ia membuatku sedih.” Bahkan, “Keridaan Fatimah adalah keridaanku, dan keridaanku adalah keridaan Allah SWT.” Rasulullah juga bersabda, “Jika aku rindu surga, aku memandang wajah Fatimah dan menciumnya.”
Dari berbagai riwayat, Sayyidah Fatimah SA dikenal bukan hanya sebagai putri Rasulullah SAW, tetapi juga sebagai sosok pembela kebenaran yang teguh. Imam Ja’far Ash-Shadiq AS bahkan berkata, “Kami adalah hujjah Allah atas manusia, dan Fatimah adalah hujjah Allah atas kami.” Salah satu peristiwa penting yang menjadi simbol perjuangan beliau adalah peristiwa Fadak, sebuah tanah milik Sayyidah Fatimah yang dirampas setelah wafat Rasulullah SAW. Fadak bukan sekadar soal kepemilikan tanah, tetapi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam perdebatan dengan khalifah Abu Bakar, Sayyidah Fatimah SA menolak alasan bahwa para nabi tidak meninggalkan warisan, karena Al-Qur’an dengan jelas menyebut Nabi Sulaiman mewarisi Nabi Dawud, dan Nabi Zakariya berdoa agar diberi keturunan yang akan mewarisi dirinya dan keluarga Ya’qub (Maryam: 6).
Beliau menegaskan bahwa semakin besar kezaliman, semakin besar pula justifikasi yang digunakan untuk membenarkannya. Ketika kezaliman dibiarkan, maka ia akan berkembang dan melahirkan kezaliman baru. Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa kesudahan orang-orang yang berbuat jahat adalah kebinasaan karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan memperoloknya. Tidak ada kezaliman yang dibenarkan, sekecil apa pun, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Bahkan dalam ayat lain Allah menegaskan, “Mereka tidak menzalimi manusia sedikit pun.”
Ustaz Hafidh mengingatkan bahwa jika kezaliman dibiarkan, maka dampaknya bisa sampai kepada generasi berikutnya. Contohnya adalah tragedi yang menimpa Imam Husain AS, cucu Rasulullah SAW, yang menjadi korban kezaliman di Karbala. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Husain dariku dan aku dari Husain.” Peristiwa Karbala adalah puncak dari akumulasi kezaliman yang tidak dicegah sejak awal, sesuatu yang telah diperingatkan oleh Sayyidah Fatimah SA melalui khutbah Fadakiyah-nya. Dalam khutbah tersebut, beliau menegur kaum Anshar yang dahulu membela ayahnya, namun kemudian diam saat putrinya dizalimi. Beliau sadar bahwa kezaliman yang dibiarkan akan menimbulkan kehancuran yang lebih besar di masa depan.
Dalam penutup khutbah pertama, Ustaz Hafidh menekankan bahwa tugas umat Islam adalah menjaga diri dari kezaliman dan terus memperkuat ketakwaan. Ketakwaan, katanya, adalah benteng yang dapat menghindarkan manusia dari pembenaran terhadap kesalahan dan menjaga cahaya hidayah di dalam hati.
Dalam khutbah kedua, Ustaz Hafidh Alkaf melanjutkan dengan mengingatkan pentingnya menjadikan para teladan suci sebagai contoh kehidupan. Ia menjelaskan bahwa dalam sejarah manusia, Allah SWT mengutus para nabi agar menjadi panutan. Dalam Surah Al-Ahzab ayat 21 disebutkan, “Sungguh, pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kamu.” Demikian pula dalam Surah Ali Imran ayat 97, Allah berfirman tentang kewajiban manusia melaksanakan ibadah haji. Kedua ayat ini, kata beliau, bukan sekadar berita, melainkan perintah agar manusia meneladani ajaran dan jalan hidup para nabi.
Namun, meneladani Rasulullah SAW secara sempurna tentu tidak mungkin dilakukan, sebab beliau adalah manusia maksum yang suci dari kesalahan. Oleh karena itu, Allah juga menghadirkan teladan-teladan lain dari kalangan manusia biasa, seperti Sayyidah Zainab al-Kubra SA, yang menjadi pelanjut perjuangan suci ibunya, Sayyidah Fatimah SA. Ustaz Hafidh menjelaskan bahwa khutbah Jumat kali ini bertepatan dengan hari-hari di antara kelahiran Sayyidah Zainab al-Kubra SA dan syahadah Sayyidah Fatimah az-Zahra SA—dua sosok agung yang menjadi simbol keteguhan dan perlawanan terhadap kezaliman.
Beliau kemudian mengingatkan kembali firman Allah SWT dalam Surah Al-A’raf ayat 142, yang menceritakan bagaimana kaum Bani Israil tersesat dan menyembah patung anak sapi saat Nabi Musa AS meninggalkan mereka hanya selama empat puluh malam, padahal beliau telah meninggalkan saudaranya, Nabi Harun AS, sebagai pengganti. Ini menjadi cerminan bahwa penyimpangan dapat terjadi bahkan di tengah umat yang baru saja menerima wahyu. Karena itu, umat Islam harus terus menjaga keteguhan iman dan tidak mengulangi kesalahan serupa.
Sayyidah Fatimah SA telah memperingatkan bahaya kezaliman yang dibiarkan, dan Sayyidah Zainab al-Kubra SA menjadi saksi sekaligus penegak kebenaran melalui khutbahnya di Kufah setelah tragedi Karbala.


