ICC Jakarta menyelenggarakan seminar internasional bertajuk Menemukan Hikmah Al-Qur’an di Era Global: Membaca Pemikiran Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i pada Jumat, 14 November 2025 di Auditorium Imam Khomeini. Acara dipandu oleh Ustaz Zaki Amami dari Departemen Tabligh dan Budaya ICC Jakarta. Dalam pembukaan tersebut, beliau menegaskan bahwa Allamah Thabathaba’i adalah salah satu pemikir terbesar dalam tradisi Islam modern, seorang mufasir dan filsuf yang menyatukan akal, wahyu dan intuisi dalam satu kerangka epistemologis. Karya monumentalnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, digambarkan sebagai tafsir yang tidak hanya menjelaskan makna ayat, melainkan juga mempertemukan wahyu dengan realitas zaman, sehingga Al-Qur’an hadir bukan sebagai teks pasif, tetapi sebagai pusat hidup dan pusat pengetahuan.
Dalam penjelasan tersebut disampaikan bahwa Allamah Thabathaba’i melanjutkan dan memperbarui tradisi al-Hikmah al-Muta‘aliyah yang diwariskan Mulla Sadra. Beliau mengembangkan gagasan penyaksian wujud secara batiniah dan menyatukan filsafat, metafisika dan irfan dalam pendekatan tafsir Al-Qur’an. Di tengah krisis makna, disrupsi moral dan dehumanisasi ilmu pada era global, pemikiran beliau menawarkan alternatif keilmuan yang menempatkan wahyu sebagai fondasi tertinggi.
Acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Ustaz Zainus Sulthan dan menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Sambutan resmi disampaikan oleh Direktur ICC Jakarta, Syaikh Mohammad Sharifani, melalui naskah yang dibacakan oleh Ustaz Zaki Amami. Dalam sambutan tersebut beliau menegaskan bahwa seminar ini diselenggarakan untuk menghidupkan kembali nama tokoh-tokoh besar yang berperan dalam pembentukan ilmu dan peradaban Islam, termasuk Allamah Thabathaba’i, yang karyanya melampaui batas geografis dan mazhab. Beliau digambarkan sebagai sosok yang berhasil menghidupkan kembali dinamika filsafat Islam dan menyusunnya kembali berdasarkan prinsip-prinsip Al-Qur’an.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menjelaskan empat dimensi kepribadian Allamah Thabathaba’i. Pertama, dimensi ilmiah dan filsafat, di mana beliau menata ulang pembahasan filsafat dalam kerangka ontologis, memperkuat metodologi rasional, dan mengaitkan seluruh pembahasan metafisika dengan Al-Qur’an. Kedua, dimensi tafsir dan pengetahuan Qur’ani, karena al-Mizan disusun berdasarkan prinsip bahwa Al-Qur’an menafsirkan dirinya sendiri dengan menggabungkan akal, riwayat, dan argumentasi filosofis. Ketiga, dimensi akhlak dan spiritual, terlihat dari ketenangan jiwa, ketakwaan dan kehidupan batin beliau. Keempat, dimensi sosial dan pendidikan, sebab beliau membina generasi baru, membuka dialog antara dunia Islam dan Barat, dan mendidik tokoh-tokoh yang hari ini menjadi rujukan dalam pemikiran Islam kontemporer. Dalam sambutan itu, Syaikh Sharifani menegaskan bahwa warisan utama Allamah Thabathaba’i bukan hanya karya-karyanya, melainkan generasi yang menggabungkan rasionalitas, spiritualitas dan komitmen terhadap wahyu.
Sesi utama seminar memaparkan makalah dari Syaikh Mohammad Parsaniya (anggota Dewan Filsafat dan Sosiologi Universitas Tehran), yang dibacakan oleh Akmal Kamil selaku Ketua Departemen Riset ICC Jakarta. Di dalam makalah tersebut dijelaskan bahwa metodologi al-Mizan didasarkan pada prinsip bahwa Al-Qur’an harus dipahami melalui Al-Qur’an, bukan dipaksa menyesuaikan diri dengan teori luar. Beliau menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah tali Allah yang menghubungkan manusia dengan realitas terdalam wujud, sehingga ia menjadi pusat epistemologi, moralitas, budaya dan peradaban Islam.
Dalam paparan itu dijelaskan bahwa Allamah Thabathaba’i menolak pendekatan modern yang menundukkan ayat-ayat Al-Qur’an pada teori Barat atau sains modern. Ketika terjadi pertentangan antara teori ilmiah dan prinsip wahyu, beliau tidak menyesuaikan tafsir agar sejalan dengan teori tersebut, tetapi mempertanyakan struktur epistemologi yang menjadi dasar teori itu. Dengan demikian, beliau tidak hanya menyusun tafsir, tetapi juga membangun kembali kerangka pengetahuan Islam. Kerangka tersebut berpijak pada empat unsur: wahyu sebagai kebenaran tertinggi, filsafat sebagai instrumen penalaran, riwayat sebagai pendukung kritis, dan kritik terhadap hegemoni pemikiran Barat. Karena itu, al-Mizan dipahami bukan hanya sebagai karya tafsir, tetapi juga sebagai jembatan antara wahyu, akal, dan peradaban.
Diskusi dipandu oleh Syafinuddin Al-Mandari, Koordinator Divisi Riset dan Kegiatan Ilmiah ICC Jakarta. Di akhir acara, disampaikan rencana pertemuan lanjutan yang akan menghadirkan tiga pembicara utama: Kholid al-Walid (Ketua Asosiasi Akidah dan Filsafat Islam) yang membahas epistemologi dan ontologi tafsir falsafi dalam konteks pendidikan filsafat Islam kontemporer; KH. Miftah Fauzi Rakhmat (Ketua Yayasan Pendidikan Muthahhari) yang menjelaskan kontribusi pemikiran Allamah Thabathaba’i terhadap pendidikan dan penguatan moral; serta Abdul Aziz Abbasi (peneliti irfan dari Aljazair) yang menguraikan peran dimensi spiritual dan metafisik dalam pembentukan kesadaran Qur’ani menurut Tafsir al-Mizan.



