Skip to main content

Kholid al-Walid selaku Ketua Asosiasi Akidah dan Filsafat Islam menjadi salah satu pemateri dalam Seminar Internasional “Menemukan Hikmah Al-Qur’an di Era Global: Membaca Pemikiran Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i” yang diselenggarakan ICC Jakarta pada Jumat, 14 November 2025 di Auditorium Imam Khomeini. Dalam pemaparannya, beliau menempatkan Allamah Thabathaba’i sebagai figur sentral dalam perkembangan filsafat Islam modern, sekaligus sebagai pembaharu tradisi al-Hikmah al-Muta‘aliyah pasca era Mulla Sadra.

Di awal penyampaiannya, Kholid al-Walid menjelaskan bahwa pembacaan umum terhadap sejarah filsafat Islam selama ini dianggap hanya berlangsung dari al-Kindi hingga Ibnu Rusyd, lalu terhenti. Narasi tersebut cenderung menyatakan bahwa filsafat Islam hanya muncul melalui penerjemahan karya-karya Yunani dan tidak memiliki akar independen dalam tradisi Islam. Namun, penelitian Henry Corbin, seorang filsuf Prancis yang belajar langsung kepada Allamah Thabathaba’i di Iran, menunjukkan gambaran yang berbeda. Corbin menemukan bahwa filsafat Islam terus berkembang setelah Ibnu Rusyd dan memiliki madrasah serta kesinambungan pemikiran yang bersumber dari peradaban Islam itu sendiri.

Dalam penjelasan tersebut, beliau memaparkan tiga madrasah utama dalam filsafat Islam: madrasah peripatetik yang berpusat pada Ibnu Sina dengan dasar rasionalitas murni; madrasah iluminasi yang digagas Suhrawardi dan berusaha merekonsiliasi rasionalitas dan intuisi; serta al-Hikmah al-Muta’aliyah yang merupakan sintesis rasionalitas, intuisi, dan teologi filosofis dengan landasan kuat pada ajaran-ajaran Imam Ali bin Abi Thalib. Allamah Thabathaba’i kemudian tampil sebagai pembaru dalam tradisi terakhir ini dan dikenal sebagai representasi neo-Sadrian.

Beliau disoroti sebagai tokoh filsafat yang berbeda dari pendahulunya, khususnya melalui kritiknya terhadap konsep wujud mental dan gagasan bahwa keberadaan dalam pikiran dapat diperlakukan sebagai wujud independen. Selain itu, beliau menyusun karya sistematis seperti Bidayat al-Hikmah yang merangkum struktur pemikiran Mulla Sadra, sekaligus menyajikan kritik terhadap filsafat Barat modern. Tafsir al-Mizan diposisikan sebagai bagian dari kesinambungan filsafat tersebut, di mana Allamah mengintegrasikan pendekatan filosofis dan irfani dalam memahami Al-Qur’an.

Menurut Kholid al-Walid, Allamah Thabathaba’i memainkan peran penting sebagai penghubung antara filsafat klasik dan pemikiran filsafat kontemporer di Iran. Pemikiran beliau menjadi upaya revitalisasi filsafat hikmah di tengah dominasi paradigma Barat dan modernitas. Dengan mempertahankan posisi wahyu sebagai pusat epistemologi, beliau menyusun kerangka rasional dan spiritual yang tetap relevan bagi perkembangan ilmu, budaya, dan kesadaran keagamaan di dunia Islam hari ini.

Leave a Reply