Majelis Taklim Akhwat Islamic Cultural Center (ICC) Zainab Al-Kubra menggelar kajian bersama Ustaz Umar Shahab pada Rabu, 19 November 2025. Dalam pertemuan ini, beliau melanjutkan pembahasan mengenai memahami Syiah, dengan menjelaskan garis besar akidah Syiah Imamiyah, sejarah ringkas aliran-aliran teologi dalam Islam, serta perbedaan prinsip antara mazhab-mazhab tersebut.
Ustaz Umar Shahab menyampaikan bahwa dalam sistem keyakinan Islam dikenal adanya mazhab-mazhab akidah atau aliran teologi, yaitu perspektif akidah sebagaimana dipahami oleh aliran-aliran tersebut. Secara umum, aliran dalam Islam dapat dibagi menjadi Asy‘ariyah atau Ahlussunnah wal Jamaah, Syiah Imamiyah, dan aliran Salafi yang meskipun mengklaim sebagai Ahlussunnah wal Jamaah tetap memiliki posisi teologis tersendiri. Setiap aliran memiliki pendekatan dalam menetapkan keyakinan, dengan dua landasan utama yaitu akal dan wahyu. Syiah Imamiyah mengedepankan akal namun tetap berpijak pada wahyu, sedangkan Asy‘ariyah dan Salafi menempatkan wahyu sebagai dasar utama dan akal sebagai pendukung. Karena itu Syiah Imamiyah dikategorikan sebagai aliran rasional dalam Islam. Beliau menambahkan bahwa meskipun sering dikaitkan, Mu‘tazilah pada masa kini dianggap tidak lagi ada sebagai mazhab aktif.
Ustaz Umar Shahab menjelaskan bahwa terdapat tiga keyakinan utama yang wajib diyakini setiap Muslim: tauhid atau meyakini Allah SWT Maha Esa, nubuwwah atau meyakini bahwa Allah SWT mengutus para nabi, dan ma‘ad atau meyakini hari akhir dan pertanggungjawaban. Selain tiga pokok ini, masing-masing aliran memiliki ciri khas tambahan. Pada Syiah Imamiyah terdapat dua keyakinan tambahan yaitu keadilan Tuhan dan imamah setelah Nabi Muhammad saw. Kedua poin ini menjadi identitas Syiah Imamiyah. Karena itu dalam sistem keyakinan Syiah Imamiyah dikenal dua kategori: ushuludin atau pokok keyakinan agama yang wajib diyakini semua Muslim, dan ushulul mazhab yaitu fondasi keyakinan khusus mazhab Syiah Imamiyah. Beliau menekankan bahwa seseorang disebut penganut Syiah Imamiyah bila ia meyakini keadilan Tuhan dan imamah setelah Nabi Muhammad saw, di samping tiga pokok ushuludin.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa prinsip ushul juga ditemukan pada mazhab lain. Dalam Asy‘ariyah terdapat enam rukun iman: iman kepada Allah SWT, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, dan qada serta qadar. Tiga di antaranya sama dengan Syiah Imamiyah, yaitu iman kepada Allah SWT, kenabian, dan hari akhir. Adapun iman kepada malaikat, kitab, serta qada dan qadar merupakan identitas mazhab Asy‘ariyah. Aliran Salafi juga berpegang pada enam poin tersebut namun dengan penjelasan yang berbeda. Ustaz Umar Shahab menegaskan bahwa Syiah Imamiyah juga meyakini malaikat, kitab-kitab, dan qada serta qadar, hanya saja tidak memasukkannya sebagai ushuludin karena iman kepada malaikat termasuk dalam iman kepada Allah SWT sebagai pesuruh-Nya, iman kepada kitab termasuk dalam iman kepada kenabian, dan iman kepada qada serta qadar merupakan bagian dari iman kepada Allah SWT. Dengan demikian perbedaan keduanya lebih merupakan perbedaan dalam cara merumuskan identitas mazhab.
Beliau menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan ini dipengaruhi oleh landasan tiap aliran. Mu‘tazilah dan Syiah Imamiyah termasuk mazhab rasional sehingga penetapan lima poin tadi merupakan hasil aktivitas akal berdasarkan ajaran Allah SWT yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kesimpulan-kesimpulan itu merupakan hasil penalaran, karena tidak mungkin seseorang menyimpulkan sesuatu tanpa menggunakan akal. Sementara dalam mazhab Sunni, landasan utamanya adalah teks. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak hal yang harus diimani, misalnya ayat “kullun âmana billâhi wa malâ’ikatihî wa kutubihî wa rusulih” dalam Surah al-Baqarah ayat 285, yang memuat empat objek iman. Dalam Al-Qur’an tidak terdapat redaksi yang secara langsung mewajibkan iman kepada takdir, namun secara substansial terdapat dalam banyak ayat. Karena itu Asy‘ariyah menetapkan enam rukun iman dengan merujuk pula kepada hadis.
Ustaz Umar Shahab menambahkan bahwa perbedaan perumusan rukun iman tidak menjadi masalah karena penyusunannya merupakan proses kategorisasi. Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari maupun Shahih Muslim terdapat puluhan poin iman—bahkan salah satu hadis menyebutkan 36 poin. Misalnya iman kepada pertanyaan di alam kubur, iman kepada keberadaan surga dan neraka, iman kepada kitab amal, dan sebagainya. Semua ini diyakini baik oleh Sunni maupun Syiah Imamiyah meskipun tidak semuanya dimasukkan sebagai rukun iman. Syiah Imamiyah tidak menjadikannya sebagai ushuludin bukan karena tidak bersandar kepada Al-Qur’an dan hadis, tetapi karena hadis harus diuji kesahihannya, sementara Al-Qur’an secara mutlak sahih.
Beliau menegaskan bahwa Syiah Imamiyah meyakini malaikat, surga dan neraka, pertanyaan kubur, syafaat, dan keberadaan shirath al-mustaqim. Namun untuk memudahkan identifikasi keyakinan, maka dibedakan antara ushuludin dan ushulul mazhab sehingga identitas keislaman seseorang dapat dikenali. Jika terdapat perdebatan mengenai poin-poin yang harus diyakini seorang Muslim, beliau menegaskan bahwa semuanya diyakini, namun rumusannya boleh berbeda. Perbedaan lainnya muncul dari penafsiran, misalnya perbedaan pemahaman mengenai ketauhidan Allah SWT yang didasari perbedaan pendekatan rasional dan tekstual.
Karena landasan Syiah Imamiyah adalah rasio, maka keyakinan bukan sekadar percaya; setiap keyakinan harus didukung oleh argumentasi rasional maupun tekstual. Perbedaan utama antara Syiah Imamiyah dan Ahlussunnah terdapat pada dua poin: keadilan Tuhan dan imamah. Dalam Syiah Imamiyah, keadilan Tuhan bermakna seluruh perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan. Allah SWT memberi ganjaran berupa surga bagi amal baik dan memasukkan pelaku keburukan ke dalam neraka. Dalam Ahlussunnah, terutama perspektif Wahabi, keyakinan ini tetap ada namun dengan pemahaman bahwa seluruh perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah SWT. Dengan demikian manusia menjadi pasif, dan ganjaran atau hukuman berasal dari penetapan Ilahi. Dalam pembahasan teologi dikenal istilah Jabariyah, Qadariyah, dan Adliyah.
Perbedaan berikutnya berkaitan dengan imamah. Dalam Syiah Imamiyah, pemimpin umat bukan hanya penguasa tetapi sosok yang membawa umat menuju jalan yang lurus. Karena itu pemimpin tersebut harus ditentukan oleh Allah SWT sebagaimana nabi ditentukan oleh-Nya. Allah SWT menunjukkan kepada Nabi Muhammad saw bahwa penerusnya adalah Ahlul Bait as. Sementara dalam perspektif Sunni, imamah identik dengan kekuasaan atau khilafah. Karena mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw tidak menunjuk seorang pengganti sebagai penguasa, maka urusan kepemimpinan dikembalikan kepada umat, dan bimbingan agama diposisikan sebagai urusan kolektif umat.



