Pada Jumat, 21 November 2025, kelas Tafsir Tartibi ICC Jakarta kembali dilaksanakan dengan penyampaian materi oleh Ustaz Umar Shahab. Pada pertemuan ini, beliau melanjutkan kajian Surah Al-Baqarah dengan fokus pembahasan mengenai Bani Israil. Beliau menyampaikan bahwa tema ini merupakan lanjutan dari pertemuan sebelumnya yang dimulai dari ayat ke-40, dan pada kesempatan ini pembahasan diulang secara singkat lalu diperdalam kembali.
Dalam penjelasannya, Ustaz Umar Shahab menyampaikan bahwa pembahasan mengenai Bani Israil dalam Al-Qur’an memberikan gambaran penting tentang karakter bangsa tersebut sepanjang sejarah. Beliau menekankan bahwa agama Yahudi berbeda dengan agama-agama lain. Jika agama-agama lain berdasarkan ajaran dan membuka ruang bagi siapa pun untuk memeluknya, maka agama Yahudi bersifat eksklusif dan hanya diperuntukkan bagi keturunan Bani Israil. Karena itu, menurut beliau, sikap dan karakter mereka sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an akan terus muncul di setiap generasi.
Beliau memulai pembahasan dengan ayat:
yâ banî isrâ’îladzkurû ni‘matiyallatî an‘amtu ‘alaikum wa aufû bi‘ahdî ûfi bi‘ahdikum, wa iyyâya far-habûn
“Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu. Hanya kepada-Ku hendaknya kamu takut.” (QS. Al-Baqarah [2]: 40)
Ustaz Umar Shahab menjelaskan bahwa ayat ini merupakan seruan pertama Allah swt kepada Bani Israil, dan di dalamnya terdapat tiga pesan utama: mengingat nikmat Allah swt, memenuhi janji kepada-Nya, dan takut hanya kepada-Nya. Menurut beliau, tiga pesan ini menggambarkan tiga karakter dasar Bani Israil yang kemudian dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya. Perintah pertama muncul karena Bani Israil memiliki sifat melupakan kebaikan dan nikmat yang diberikan Allah swt, padahal Allah swt memberikan anugerah besar dan khusus hanya kepada mereka.
Penjelasan dilanjutkan dengan ayat:
sal banî isrâ’îla kam âtainâhum min âyatim bayyinah, wa may yubaddil ni‘matallâhi mim ba‘di mâ jâ’at-hu fa innallâha syadîdul-‘iqâb
“Tanyakanlah kepada Bani Israil, ‘Berapa banyak bukti nyata (kebenaran) yang telah Kami anugerahkan kepada mereka?’ Siapa yang menukar nikmat Allah (dengan kekufuran) setelah (nikmat itu) datang kepadanya, sesungguhnya Allah Mahakeras hukuman-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 211)
Beliau menjelaskan bahwa tanda-tanda kebesaran Allah swt telah diberikan kepada Bani Israil secara langsung. Dua belas suku mereka mendapatkan mata air masing-masing agar tidak saling bertengkar, mereka diselamatkan dari kejaran Fir’aun melalui laut yang terbelah, dan banyak nikmat lain yang mereka saksikan sendiri. Namun segala tanda itu tidak membuat mereka taat.
Ustaz Umar Shahab melanjutkan dengan ayat:
wa idz qâla mûsâ liqaumihî yâ qaumidzkurû ni‘matallâhi ‘alaikum idz ja‘ala fîkum ambiyâ’a wa ja‘alakum mulûkaw wa âtâkum mâ lam yu’ti aḫadam minal-‘âlamîn
(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, menjadikanmu (terhormat seperti) para raja, dan menganugerahkan kepadamu apa yang belum pernah Dia anugerahkan kepada seorang pun di antara umat yang lain.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 20)
Beliau menambahkan ayat lain sebagai penguat:
yâ banî isrâ’îladzkurû ni‘matiyallatî an‘amtu ‘alaikum wa annî fadldlaltukum ‘alal-‘âlamîn
“Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan sesungguhnya Aku telah melebihkan kamu daripada semua umat di alam ini (pada masa itu).” (QS. Al-Baqarah [2]: 47)
Menurut penjelasan beliau, bagian berikutnya dari ayat 40 berbicara tentang perjanjian. Allah swt telah mengambil janji dari Bani Israil, tetapi mereka tidak memenuhinya. Beliau menyinggung bahwa sikap ini masih tampak hingga kini, termasuk dalam hubungan politik modern Israel dengan Palestina.
Bagian ketiga dari ayat tersebut, yaitu takut hanya kepada Allah swt, dijelaskan sebagai bentuk ancaman karena sebagian dari mereka dikutuk menjadi kera dan babi akibat pembangkangan.
Kajian berlanjut pada ayat:
wa âminû bimâ anzaltu mushaddiqal limâ ma‘akum wa lâ takûnû awwala kâfirim bihî wa lâ tasytarû bi’âyâtî tsamanang qalîlaw wa iyyâya fattaqûn
“Berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah Aku turunkan sebagai pembenar bagi apa yang ada pada kamu (Taurat) dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 41)
Di bagian ini, Ustaz Umar Shahab menyampaikan bahwa sebagian Bani Israil datang dan tinggal di Madinah untuk menunggu Nabi Akhir Zaman karena hal itu tercantum dalam kitab mereka. Namun ketika Nabi Muhammad saw datang dan tidak sesuai dengan ambisi mereka, mereka mengingkarinya. Beliau menjelaskan bahwa hal ini serupa dengan sikap mereka terhadap para nabi sebelumnya.
Beliau kemudian melanjutkan dengan ayat:
wa lâ talbisul-ḫaqqa bil-bâthili wa taktumul-ḫaqqa wa antum ta‘lamûn
“Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya).” (QS. Al-Baqarah [2]: 42)
Menurut beliau, salah satu karakter Bani Israil adalah mencampurkan yang benar dan yang salah sehingga batas kebenaran menjadi kabur. Beliau mengutip riwayat Imam Ali as yang menyebutkan bahwa kebenaran akan tampak bila ditampakkan sebagai kebenaran dan kebatilan akan tampak bila disampaikan sebagaimana adanya. Namun ketika kebenaran dicampur dengan kebatilan, banyak manusia menjadi bingung dan setan mengambil kesempatan. Beliau menyinggung contoh dalam kehidupan sehari-hari, seperti kebiasaan menganggap kebohongan kecil sebagai hal lumrah, padahal hakikatnya tetap buruk.
Pembahasan kemudian beralih ke ayat:
wa aqîmush-shalâta wa âtuz-zakâta warka‘û ma‘ar-râki‘în
“Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)
Menurut penjelasan beliau, Bani Israil mengenal salat dan zakat, tetapi praktik mereka tidak sesuai dengan ajaran yang mereka sendiri serukan. Hal ini ditegaskan oleh ayat selanjutnya:
a ta’murûnan-nâsa bil-birri wa tansauna anfusakum wa antum tatlûnal-kitâb, a fa lâ ta‘qilûn
“Mengapa kamu menyuruh orang lain untuk (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)
Ustaz Umar Shahab menjelaskan bahwa ajaran mereka baik dalam teori, tetapi buruk dalam praktik. Beliau menyinggung adanya doktrin rasis yang tertanam dalam sebagian ajaran modern Yahudi, sehingga kekejaman terhadap bangsa Arab dan Palestina dianggap hal biasa.
Kajian ditutup dengan ayat:
wasta‘înû bish-shabri wash-shalâh, wa innahâ lakabîratun illâ ‘alal-khâsyi‘în
“Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS. Al-Baqarah [2]: 45)
alladzîna yadhunnûna annahum mulâqû rabbihim wa annahum ilaihi râji‘ûn
“(yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 46)



