Skip to main content

Kelas Tafsir Maudhu’i di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada Kamis, 6 November 2025 menghadirkan Ustaz Hafidh Alkaf sebagai pembicara utama. Dalam kajian kali ini, beliau melanjutkan pembahasan mengenai tema persatuan, meliputi hakikatnya, urgensinya, faktor-faktor yang dapat menguatkan persatuan, manfaat yang dihasilkan darinya, serta berbagai bentuk persatuan baik yang terpuji maupun tercela sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an.

Ustaz Hafidh menjelaskan bahwa Al-Qur’an menggambarkan sejumlah kelompok yang bersatu di jalan kebaikan. Salah satu contoh adalah para nabi yang memiliki kesatuan dalam misi mereka, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Surah Asy-Syura ayat 13:

“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”

Ayat berikutnya, Asy-Syura ayat 14, menunjukkan bahwa perpecahan muncul bukan karena kurangnya ilmu, tetapi karena kedengkian dan hawa nafsu:

“Mereka (Ahlulkitab) tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (tentang kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Seandainya tidak karena suatu ketetapan yang telah terlebih dahulu ada dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Sesungguhnya orang-orang yang mewarisi kitab suci setelah mereka benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentangnya.”

Dalam lanjutan ayatnya, Asy-Syura ayat 15, Allah Swt memerintahkan Nabi untuk tetap teguh di jalan yang benar:

“Oleh karena itu, serulah (mereka untuk beriman), tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Nabi Muhammad), dan janganlah mengikuti keinginan mereka. Katakanlah, ‘Aku beriman kepada kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagimu perbuatanmu. Tidak (perlu) ada pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali.’”

Rasulullah saw, lanjut beliau, juga mencontohkan semangat persatuan ketika memasuki Kota Madinah dan menghadapi keberagaman masyarakat, termasuk tiga kelompok Yahudi dan komunitas Nasrani. Nabi menghadapi mereka dengan menyerukan kesatuan di atas tauhid. Hal ini ditegaskan dalam Surah Ali ‘Imran ayat 64:

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.’”

Namun, tidak semua bentuk persatuan dalam Al-Qur’an bersifat baik. Ada juga bentuk persatuan yang tercela, seperti yang dilakukan oleh kelompok Yahudi dan kaum munafik yang bersekongkol memusuhi Rasulullah saw. Allah Swt berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 14:

“Apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ‘Kami telah beriman.’ Akan tetapi apabila mereka menyendiri dengan setan-setan mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya pengolok-olok.’”

Beliau menambahkan, sebagian kecil dari suku Aus dan Khazraj yang tidak masuk Islam, seperti Abdullah bin Ubay, bergabung dengan orang-orang Yahudi dalam persekongkolan tersebut. Inilah yang disebut oleh Al-Qur’an sebagai “setan-setan mereka”.

Ustaz Hafidh juga menyinggung contoh persatuan negatif lain, yakni yang dipimpin oleh Firaun. Dalam Surah Asy-Syu’ara ayat 53–56, diceritakan bagaimana Firaun mengerahkan bala tentaranya untuk menentang Nabi Musa a.s.:

“Lalu, Fir‘aun mengirimkan orang ke kota-kota untuk mengumpulkan (bala tentaranya). (Fir‘aun berkata,) ‘Sesungguhnya mereka (Bani Israil) hanyalah sekelompok kecil. Sesungguhnya mereka telah membuat kita marah. Sesungguhnya kita semua benar-benar harus selalu waspada.’”
Demikian pula ketika Firaun memerintahkan untuk mengumpulkan para penyihir guna melawan Nabi Musa sebagaimana disebutkan dalam Surah Thaha ayat 64:
“Kumpulkanlah segala tipu daya (sihir)-mu, kemudian datanglah dalam satu barisan! Sungguh, beruntung orang yang menang pada hari ini.”

Contoh lain dari bentuk persatuan yang tidak baik adalah kisah saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. yang sepakat mencelakakannya. Allah Swt berfirman dalam Surah Yusuf ayat 15:

“Maka, ketika mereka membawanya serta sepakat memasukkannya ke dasar sumur, (mereka pun melaksanakan kesepakatan itu). Kami wahyukan kepadanya, ‘Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan mereka ini kepada mereka, sedangkan mereka tidak menyadari.’”

Setelah membahas bentuk-bentuk persatuan, Ustaz Hafidh menjelaskan pula faktor-faktor yang menghalangi persatuan. Yang pertama adalah kebodohan, seperti yang tergambar dalam Surah Al-Baqarah ayat 113:

“Orang Yahudi berkata, ‘Orang Nasrani itu tidak menganut sesuatu (agama yang benar)’ dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, ‘Orang-orang Yahudi tidak menganut sesuatu (agama yang benar),’ padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu (musyrik Arab) berkata seperti ucapan mereka itu. Allah akan memberi putusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa (agama) yang mereka perselisihkan.”

Penghalang kedua adalah tidak menggunakan akal, sebagaimana disebut dalam Surah Al-Hasyr ayat 14:

“Mereka tidak akan memerangi kamu (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antar sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira bahwa mereka itu bersatu, padahal hati mereka terpecah belah. Hal itu disebabkan mereka kaum yang tidak berakal.”

Faktor berikutnya adalah keraguan, sebagaimana dalam Surah Fushshilat ayat 45:

“Sungguh, Kami benar-benar telah menganugerahkan Kitab (Taurat) kepada Musa, lalu ia (kitab itu) diperselisihkan. Seandainya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Tuhanmu (bahwa orang-orang yang mendustakan Al-Qur’an akan ditunda penyiksaannya), niscaya telah dilaksanakan hukuman di antara mereka. Sesungguhnya mereka benar-benar dalam kebimbangan dan keraguan terhadapnya.”

Allah Swt juga menyebutkan dalam Surah Hud ayat 118 bahwa meskipun sarana untuk bersatu telah ada, manusia tetap saja berselisih:

“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu. Namun, mereka senantiasa berselisih.”

Selain itu, ketakutan juga menjadi penyebab perpecahan. Hal ini tergambar dalam kisah Perang Badar, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Anfal ayat 42–43:

“(Yaitu,) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat (kota Madinah) dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh (dari kota Madinah), sedangkan kafilah itu berada lebih rendah daripada kamu (menelusuri pantai). Seandainya kamu mengadakan perjanjian (untuk menentukan hari pertempuran), niscaya kamu berbeda pendapat dalam menentukan hari pertempuran itu, tetapi (pertempuran itu terjadi) supaya Allah melaksanakan suatu urusan yang harus terjadi… Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
“(Ingatlah) ketika Allah memperlihatkan mereka kepadamu (Nabi Muhammad) di dalam mimpimu (dalam jumlah) sedikit. Seandainya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah) banyak, niscaya kamu gentar dan kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, tetapi Allah telah menyelamatkan (kamu). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati.”

Faktor penghalang lain yang disebutkan adalah sihir, sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 102:

“Maka, mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan (sihir)-nya, kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Sungguh, mereka benar-benar sudah mengetahui bahwa siapa yang membeli (menggunakan sihir) itu niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh, buruk sekali perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir jika mereka mengetahui(-nya).”

Terakhir, Ustaz Hafidh menyebutkan kemunafikan sebagai faktor penting yang menyebabkan perpecahan umat, sebagaimana termaktub dalam Surah At-Taubah ayat 107:

“(Di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), (menyebabkan) kekufuran, memecah belah di antara orang-orang mukmin, dan menunggu kedatangan orang-orang yang sebelumnya telah memerangi Allah dan Rasul-Nya. Mereka dengan pasti bersumpah, ‘Kami hanya menghendaki kebaikan.’ Allah bersaksi bahwa sesungguhnya mereka itu benar-benar pendusta (dalam sumpahnya).”

Leave a Reply