Skip to main content

Khutbah Jumat ICC Jakarta tanggal 14 November 2025 yang disampaikan oleh Ustaz Hafidh Alkaf mengangkat pembahasan mendalam tentang adab berdoa, dengan menelusuri kisah Nabi Zakaria AS sebagaimana terekam dalam Surah Maryam dan Surah Ali Imran. Khutbah ini diawali dengan penjelasan mengenai realitas kehidupan manusia yang selalu dilingkupi berbagai kesulitan. Setiap orang mengalami kesulitan dengan cara yang berbeda; bahkan dalam diri satu orang pun, persepsi mengenai beratnya masalah bisa berganti dari hari ke hari. Menurut Ustaz Hafidh Alkaf, kesulitan adalah cara Allah SWT memanggil manusia agar kembali merendah kepada-Nya. Namun manusia sering keliru: bukan merendah kepada Allah, tetapi justru merendah kepada makhluk, padahal kerendahan itu hanya layak diberikan kepada Tuhan.

Allah SWT berfirman: wa qâla rabbukumud‘ûnî astajib lakum, innalladzîna yastakbirûna ‘an ‘ibâdatî sayadkhulûna jahannama dâkhirîn — “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk Jahanam dalam keadaan hina.” (Ghafir: 60). Ayat ini menegaskan hubungan erat antara doa dan ibadah sebagaimana dipahami para mufasir. Orang yang enggan berdoa sesungguhnya sedang menunjukkan kesombongan di hadapan Allah SWT.

Dalam lanjutan penjelasan khutbah, Ustaz Hafidh Alkaf mengisahkan bagaimana Al-Qur’an menuturkan perjumpaan Nabi Zakaria AS dengan Sayyidah Maryam SA. Nabi Zakaria AS yang telah tua dan belum memiliki keturunan, suatu hari memasuki mihrab Maryam dan mendapati makanan yang tidak semestinya ada pada musim itu. Ketika beliau bertanya, Maryam menjawab bahwa rezeki itu berasal dari Allah SWT.

Allah berfirman: fa taqabbalahâ rabbuhâ biqabûlin ḥasanin wa ambatahâ nabâtan ḥasanan wa kaffalahâ zakariyyâ… (Ali Imran: 37) — sebuah ayat yang menggambarkan bagaimana Allah sendiri memelihara Maryam melalui Nabi Zakaria AS dan menganugerahinya rezeki di luar kebiasaan.

Melihat tanda kekuasaan Allah tersebut, Nabi Zakaria AS tersentuh dan berdoa:
hunâlika da‘â zakariyyâ rabbah, qâla rabbi hab lî mil ladunka dzurriyyatan ṭayyibah, innaka samî‘ud-du‘â’ — “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali Imran: 38)

Dalam Surah Maryam, Al-Qur’an menampilkan adab doa beliau secara lebih intim:
idz nâdâ rabbahû nidâ’an khafiyyâ — “Ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara lirih.”
Beliau memulai dengan pengakuan jujur tentang kelemahannya: qâla rabbi innî wahanal-‘adhmu minnî wasyta‘alar-ra’su syaibâ — tulang-tulangnya telah melemah dan rambutnya memutih. Namun meski fisiknya melemah, ia mengakui bahwa ia “tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu”. Nabi Zakaria AS juga menyebut kekhawatirannya tentang al-mawâliyya, yaitu orang-orang di sekitarnya yang beliau khawatirkan akan menyimpangkan ajaran setelah beliau wafat.

Karena itu beliau memohon seorang pewaris: fa hab lî mil ladunka waliyyâ, yaritsunî wa yaritsu min âli ya‘qûb — pewaris yang akan melanjutkan misi dakwah dan menjaga warisan keluarga Ya‘qub. Ustaz Hafidh Alkaf menekankan bahwa Nabi Zakaria AS tidak memaksa doa itu agar wajib dikabulkan, tetapi menyampaikannya dengan ketundukan dan pujian terlebih dahulu. Beliau memuji nikmat Allah dan menyebut bahwa semua yang dimiliki berasal dari Allah SWT, sebagaimana tradisi doa para Ahlulbait AS yang selalu dimulai dengan pujian sebelum permintaan.

Dalam khutbah disampaikan pula bahwa terkabulnya doa berkaitan dengan tiga hal: keadaan orang yang berdoa, apa yang dimintanya, dan kondisi pada saat permintaan itu disampaikan, termasuk waktu dan tempat. Nabi Zakaria AS berdoa dengan niat yang baik dan tujuan dakwah, bukan kepentingan pribadi.

Jawaban Allah pun datang: yâ zakariyyâ innâ nubasysyiruka bighulâmin ismuhû yaḥyâ… (Maryam: 7). Allah bukan hanya mengabulkan doa beliau, tetapi memberikan lebih dari yang diminta: seorang anak yang akan menjadi nabi. Nabi Yahya AS dianugerahi kedudukan istimewa dan sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an: membenarkan kalimat Allah, terhormat, memiliki kemampuan menahan diri, bertakwa, penuh kasih sayang, bersih dari dosa, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ini menunjukkan bahwa ketika doa dipanjatkan dengan adab dan keikhlasan, Allah dapat memberi karunia yang jauh lebih besar.

Ustaz Hafidh Alkaf kemudian menyampaikan pelajaran bahwa manusia jangan menetapkan hasil untuk doanya sendiri. Ada doa yang diminta tetapi justru membahayakan pemintanya. Untuk itu beliau menyinggung kisah Tsa‘labah, sahabat Nabi yang meminta kekayaan tetapi akhirnya menjauh dari Rasulullah SAW dan bahkan menolak zakat. Kisah ini menjadi contoh bagaimana keinginan pribadi yang nampak baik bisa menjadi ujian yang gagal ketika tidak dibingkai dengan kedewasaan spiritual.

Pada khutbah kedua, Ustaz Hafidh Alkaf membuka pesan khutbah dengan mengingatkan keteladanan Sayyidah Fatimah az-Zahra SA. Beliau adalah sosok agung yang dengannya bersatu dua mata rantai penting: nubuwwah dan imamah. Sayyidah Fatimah SA adalah penopang hati Rasulullah SAW dalam masa-masa berat dakwah. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang sujud di Masjidil Haram dan Abu Jahal meletakkan kotoran unta di kepala beliau, Sayyidah Fatimah SA segera datang dan membersihkannya. Bila Rasulullah SAW memiliki empat putri sebagaimana riwayat populer, maka mengapa pujian-pujian agung beliau hanya ditujukan kepada Fatimah SA? Hal itu mencerminkan kedudukan beliau yang sangat istimewa.

Setiap kali Rasulullah SAW hendak keluar kota, beliau berpamitan terlebih dahulu kepada Sayyidah Fatimah SA; dan setiap kembali ke Madinah, beliau adalah orang pertama yang ditemui. Karena kedekatan itu, setelah Rasulullah SAW wafat, Sayyidah Fatimah SA tidak mampu bertahan lama di dunia. Riwayat menyebutkan bahwa ketika Malaikat Maut datang saat Rasulullah SAW sakit, Sayyidah Fatimah SA menangis hingga Rasulullah SAW membisikkan bahwa ia akan menjadi orang pertama dari keluarganya yang menyusul beliau. Pada hari-hari terakhirnya, beliau memandikan dan merapikan anak-anaknya sebelum meminta mereka pergi ke masjid, lalu menyampaikan kepada Imam Ali AS bahwa ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang memintanya untuk segera menyusul.

Leave a Reply