Skip to main content

Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta menggelar Seminar Internasional bertajuk Menemukan Hikmah Al-Qur’an di Era Global: Membaca Pemikiran Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i pada Jumat, 14 November 2025. Dalam acara ini, Abdul Aziz Abbasi, pakar irfan dan tasawuf modern, memaparkan secara mendalam posisi irfan dalam pemikiran Allamah Thabathaba’i, khususnya dalam tafsir al-Mizan.

Beliau menjelaskan bahwa irfan adalah puncak dari ilmu. Allah swt menciptakan manusia untuk satu tujuan, yaitu makrifat. Jika manusia tidak mencapai makrifat, maka tujuan penciptaan tidak tercapai dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri manusia. Sebagaimana dibahas oleh Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, terutama dalam al-Mizan, manusia dapat mencapai kebahagiaan hakiki, menikmati kedudukan sebagai manusia, dan mencapai keadaan yang adil. Jika diri tidak mencapai keadaan adil, maka manusia tidak akan menghasilkan hal yang baik di luar dirinya. Semua potensi manusia memiliki tujuan tertentu, sehingga seluruh potensi itu harus dibimbing dengan hidayah.

Abdul Aziz Abbasi menegaskan bahwa Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dalam tafsirnya menghadapi masalah manusia dengan mempelajari alam, ontologi, epistemologi, dan kosmologi untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Irfan mempengaruhi beliau dalam menulis al-Mizan. Beliau tidak hanya menguasai filsafat, tetapi juga mencapai makrifat. Sebelum membicarakan sesuatu, Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i mengamalkannya. Beliau menulis beberapa riwayat tentang kehidupan sehari-hari Rasulullah saw dan mengamalkannya sebelum menulisnya. Beliau juga menekankan peran akal sebagai ilmu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkatan berikutnya.

Dalam al-Mizan, beliau selalu menjelaskan bahwa kepercayaan tidak identik dengan iman, berbeda dengan tradisi Barat yang memisahkan rasionalitas dengan kepercayaan. Padahal tidak mungkin ada iman tanpa rasionalitas. Tafsir al-Mizan bersifat multi-dimensi, menekankan aspek hukum, sosial, pendidikan, politik, irfan, dan filsafat. Namun, irfan Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i berbeda dengan irfan lain. Tidak akan ditemukan istilah “irfan” dalam tafsir al-Mizan, tetapi beliau menekankan tujuan puncak perjalanan manusia, yaitu makrifat. Makrifat hanya dapat dicapai melalui jalan Rasulullah saw dan para Imam Ahlul Bait as.

Ini menjadi ciri khas irfan beliau: meskipun tidak disebut secara eksplisit sebagai irfan, beliau membimbing manusia untuk mencapainya secara praktis, sehingga menjadi arif eksistensial, bukan hanya arif secara konseptual atau imajinatif. Definisi irfan dalam karya beliau adalah makrifat melalui penyingkapan, yang dimulai dari pengetahuan, kemudian amal, iman, yaqin, dan akhirnya kasyf. Kasyf yang dimaksud adalah kasyf maknawi berupa ilmu yang sangat berharga dan tidak bisa diperoleh dengan mudah, yang diperoleh melalui tradisi yang diajarkan Rasulullah saw dan para Imam Ahlul Bait as. Kasyf yang benar bukan sekadar melihat penampakan luar biasa, tetapi membedakan hak dan batil serta mendapatkan inspirasi untuk mencapai makrifat.

Abdul Aziz Abbasi menekankan bahwa makrifat bukan fantasi, melainkan memperlakukan segala sesuatu dalam segala bentuk manifestasinya sehingga semua hal menjadi sakral dan tidak ada yang profan. Setiap sesuatu yang hadir tidak hadir sebelum Allah swt bagi orang yang memiliki makrifat, sedangkan orang awam melihat segala sesuatu sebelum melihat Allah swt.

Beliau juga menanggapi tuduhan bahwa irfan berangkat dari budaya lain. Padahal, irfan Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak ada padanan yang sama dalam mistisisme lain. Apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw dan para Imam Ahlul Bait as sangat mendalam, sehingga memerlukan ilmu yang sangat dalam. Sebagaimana Henry Corbin, profesor filsafat, baru menemukan hikmah sederhana dalam hadis-hadis Ahlul Bait as.

Dalam irfan Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, tidak asing dengan tasawuf lain mengenai irfan praktis dan irfan teoretis. Irfan teoretis merupakan hasil dari kasyf para urafa yang diterjemahkan ke dalam filsafat teoretis atau tasawuf falsafi, menggambarkan ontologi pengalaman ke dalam bahasa rasional agar dapat dipahami mereka yang belum mengalaminya, meliputi keseluruhan ontologi dan antropologi. Irfan praktis membimbing seseorang untuk mendapatkan pengalaman hingga mencapai tujuan. Kedua jenis irfan ini saling melengkapi.

Beliau menegaskan bahwa awal agama adalah makrifat; jika seseorang tidak mengenal Tuhan secara fitrah, tidak mungkin mengenal sifat-sifat atau manifestasi-Nya. Beliau juga menekankan taskiyatun nafs, penyucian diri, karena mustahil mencapai makrifat tanpa mensucikan diri. Semua ilmu hakiki berasal dari Allah swt; ilmu lain hanya mempersiapkan wadah agar dapat diisi oleh Allah swt sesuai kesiapannya.

Abdul Aziz Abbasi menambahkan bahwa Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i menekankan riyadhah syar’i yang bersumber dari sunnah Rasulullah saw. Poin penting yang perlu dicatat adalah irfan beliau didasarkan pada Ahlul Bait as. Meskipun menempatkan tasawuf secara teoretis, al-Mizan tidak pernah menyebutkan tasawuf dari jalur lain. Metode tafsir Qur’an bil Qur’an sering digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan diri manusia.

Leave a Reply