Skip to main content

Pendahuluan

Dalam khazanah filsafat Jawa, istilah Sangkan Paraning Dumadi menempati posisi yang sangat penting. Konsep ini bukan sekadar ungkapan budaya, tetapi sebuah ajaran metafisika, etika, dan spiritualitas yang telah menjadi fondasi laku hidup masyarakat Jawa selama ratusan tahun.

Secara etimologis:

  • sangkan berarti asal mula,
  • paran berarti tujuan akhir,
  • dumadi berarti terjadinya makhluk atau proses penciptaan.

Dengan demikian, Sangkan Paraning Dumadi merujuk pada pemahaman tentang dari mana manusia berasal dan ke mana manusia akan kembali. Inilah pertanyaan mendasar dalam banyak tradisi filsafat besar: dari filsafat Timur, tasawuf Islam, hingga filsafat Yunani seperti Stoisisme.

Menariknya, ketika konsep ini diperinci, ditemukan paralel kuat dengan ajaran Stoisisme—filsafat Yunani kuno yang menekankan hidup berdasarkan kebajikan, keselarasan dengan alam, pengendalian diri, serta penerimaan terhadap takdir (amor fati). Menggabungkan perspektif Jawa dan Stoa menghasilkan pembacaan yang kaya, relevan, dan modern.

Artikel ini menjelaskan makna Sangkan Paraning Dumadi secara komprehensif, sekaligus menunjukkan bagaimana filsafat Stoa dapat memperkuat pemahaman tentang asal-usul, tujuan hidup, dan cara mencapai kebijaksanaan serta ketenangan batin.

1. Makna Filosofis Sangkan Paraning Dumadi

A. Sangkan: Asal-Usul Keberadaan Menurut Filsafat Jawa

Dalam filsafat Jawa, sangkan berkaitan dengan asal-usul segala sesuatu. Manusia diyakini berasal dari Sumber Mutlak yang dikenal dengan berbagai nama:

  • Sang Hyang Tunggal,
  • Gusti,
  • Tuhan Yang Maha Esa,
  • atau dalam pengaruh Islam: Gusti Allah.

Asal-usul manusia tidak dipahami secara fisik saja, tetapi terutama metafisik. Wujud manusia adalah pancaran atau manifestasi kehendak Ilahi. Karena itu, mengenali asal berarti mengenali hakikat diri: “Sapa sira, sira iku aku.

Perspektif Stoa: Logos sebagai Asal

Stoisisme memiliki gagasan serupa melalui konsep logos—akal kosmik yang mengatur seluruh alam semesta. Para filsuf seperti Marcus Aurelius dan Zeno meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat percikan logos, benih ketuhanan (logos spermatikos).

Artinya, manusia tidak terpisah dari alam semesta atau Tuhan; ia adalah bagian dari tatanan kosmik yang sama. Di sinilah titik temu antara sangkan dan logos.

B. Paran: Tujuan Akhir Manusia

Dalam tradisi Jawa, paran berarti tujuan akhir: kembali kepada Sang Sumber. Tujuan hidup bukan hanya kebahagiaan duniawi, tetapi juga kesadaran tertinggi, kebeningan jiwa, dan penyatuan spiritual dengan Tuhan. Hidup dipandang sebagai perjalanan kembali “pulang ke asal”.

Perspektif Stoa: Hidup Selaras dengan Alam

Stoisisme mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah hidup selaras dengan alam (living according to nature), yaitu hidup sesuai:

  • akal sehat,
  • kebajikan,
  • dan tatanan kosmos.

Ketika manusia selaras dengan alam dan logos, ia mencapai apatheia—ketenangan jiwa yang bersih dari emosi negatif.

Baik Stoa maupun Jawa sama-sama menegaskan bahwa manusia harus kembali kepada prinsip asalnya, entah disebut Gusti maupun logos.

2. Laku Spiritualitas: Eling, Sabar, Takwa, dan Nrimo

Filsafat Jawa menuntut praktik nyata (laku). Tiga yang utama adalah:

  1. Eling (Kesadaran Spiritual)
    Eling berarti selalu ingat—kepada Tuhan, asal-usul diri, tujuan hidup, serta kefanaan dunia.Dalam Stoisisme, eling sejalan dengan self-awareness, yaitu refleksi diri yang dilakukan terus-menerus. Marcus Aurelius menulis catatan harian untuk menjaga kejernihan moralnya.
  2. Sabar dan Takwa
    Kesabaran adalah kekuatan jiwa menghadapi ujian tanpa kehilangan arah.Stoisisme menekankan discipline of desire—mengatur keinginan agar tak dikuasai hal-hal yang berada di luar kendali.
  3. Nrimo (Acceptance)
    Nrimo ing pandum berarti menerima takdir dengan ikhlas tanpa pasrah buta. Ini penerimaan aktif disertai usaha.Dalam Stoa, ini identik dengan:
    • dikotomi kendali (dichotomy of control),
    • amor fati (mencintai takdir).

3. Hubungan Sangkan Paraning Dumadi dengan Tasawuf Islam Jawa

Pemikiran Jawa banyak beririsan dengan tasawuf. Konsep al-mabda’ (asal) dan al-ma‘ad (kembali), serta ajaran wahdat al-wujud, memiliki kedekatan dengan Sangkan Paraning Dumadi.

Stoisisme memberi perspektif rasional: kesatuan manusia–kosmos dipahami sebagai tatanan universal yang logis dan teratur.

4. Manunggaling Kawula–Gusti dan Oikeiosis dalam Stoa

Manunggaling Kawula–Gusti adalah puncak spiritualitas Jawa: penyatuan kesadaran antara hamba dan Tuhan (bukan penyatuan fisik).

Dalam Stoa, ada konsep oikeiosis, proses kedekatan jiwa dengan kosmos melalui pemahaman logos. Ketika ego mereda, manusia merasakan dirinya sebagai bagian dari keseluruhan.

Keduanya mengarah pada:

  • kesadaran kosmik,
  • ketenangan batin,
  • kebebasan dari dorongan rendah.

5. Dimensi Etika Jawa dan Stoisisme

Etika Jawa dibangun atas harmoni. Nilai-nilai utama:

  • tepa slira (empati),
  • gotong royong,
  • aja dumeh (jangan sombong),
  • memayu hayuning bawana (membuat dunia lebih baik).

Stoisisme memiliki empat kebajikan pokok:

  • kebijaksanaan,
  • keberanian,
  • keadilan,
  • pengendalian diri.

Keduanya menegaskan: manusia yang mengenal asal dan tujuannya akan bertindak dengan kebajikan.

6. Relevansi Modern: Sangkan Paraning Dumadi, Stoisisme, dan Psikologi Kontemporer

Di era modern, banyak orang mencari makna hidup. Ajaran Jawa memberi fondasi spiritual; Stoisisme memberi metode psikologis dan praktis.

Stoisisme melahirkan terapi modern seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Ajaran Jawa menginspirasi psikologi transpersonal dan budaya.

Dengan menggabungkannya, kita memperoleh:

  • fondasi makna hidup,
  • teknik penguatan mental,
  • manajemen stres,
  • kesadaran spiritual yang seimbang.

Keduanya menekankan perlunya:

  1. arah hidup,
  2. ketenangan batin,
  3. keseimbangan dunia–jiwa.

7. Tahapan Kesadaran dalam Jawa dan Stoisisme

A. Tahapan Jawa

  1. Pamoring Kawula–Gusti – mulai menyadari hubungan dengan Tuhan.
  2. Panyawangan – melihat dunia dengan mata batin jernih.
  3. Kasampurnan – kesadaran mendalam tentang asal dan tujuan.
  4. Manunggal – penyatuan spiritual.

B. Tahapan Stoa

  1. Memahami dikotomi kendali.
  2. Membersihkan emosi negatif.
  3. Hidup sesuai kebajikan.
  4. Mencapai apatheia (ketenangan batin).

Kesamaan ini menunjukkan bahwa manusia di berbagai budaya memiliki pencarian yang sama: menjadi utuh, sadar, dan selaras dengan alam serta Tuhan.

Kesimpulan

Sangkan Paraning Dumadi adalah ajaran mendalam tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia. Ia menegaskan bahwa manusia berasal dari Tuhan, hidup untuk menyucikan diri, dan kembali kepada-Nya dalam keadaan penuh kesadaran.

Ketika diperkaya dengan Stoisisme, konsep ini semakin relevan. Stoisisme memberi bahasa dan metode praktis untuk menjalani laku Jawa:

  • eling menjadi self-awareness,
  • nrimo menjadi amor fati,
  • sabar menjadi discipline of desire,
  • manunggal menjadi kesatuan dengan logos.

Dengan demikian, Sangkan Paraning Dumadi dan Stoisisme bersama-sama menawarkan panduan moral, spiritual, dan psikologis untuk menjalani hidup dengan bijaksana, tenang, dan penuh makna.
(Ram, disarikan dari beberapa jurnal.)

Leave a Reply