Khutbah Jumat di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada 21 November 2025 disampaikan oleh Ustaz Abdullah Beik dengan fokus pada tema pentingnya pendidikan dalam membentengi generasi muda. Beliau membuka khutbah dengan menyoroti sebuah peristiwa tragis yang sempat mengguncang dunia pendidikan Indonesia, di mana seorang pelajar SMA melakukan aksi pengeboman di masjid yang berada di lingkungan sekolahnya. Menurut beliau, kejadian ini menjadi sebuah peringatan keras bahwa ada aspek yang belum tersentuh dalam sistem pendidikan, terutama dalam membangun kekuatan moral, emosional, dan spiritual anak.
Ustaz Abdullah Beik menekankan bahwa dalam Islam, pendidikan bukan sekadar proses penyampaian ilmu pengetahuan atau pencapaian akademik. Pendidikan adalah proses pembentukan karakter, akhlak, dan kesadaran diri sebagai hamba Allah dan bagian dari masyarakat. Beliau menjelaskan bahwa proses ini bahkan dimulai jauh sebelum seorang anak lahir, yaitu sejak pemilihan pasangan hidup. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya fondasi awal dalam membangun generasi yang berkualitas dan tidak lemah.
Beliau merujuk Surah An-Nisa ayat 9 sebagai dasar:
Walyakhsyalladzîna lau tarakû min khalfihim dzurriyyatan dli‘âfan khâfû ‘alaihim falyattaqullâha walyaqûlû qaulan sadîdâ.
Artinya: “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan keturunan yang lemah, yang mereka khawatirkan (keadaannya). Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berkata dengan perkataan yang benar.”
Menurut beliau, makna lemah dalam ayat ini tidak terbatas pada aspek finansial. Anak-anak juga dapat menjadi lemah secara mental, spiritual, dan akhlak apabila tidak dipersiapkan untuk menghadapi tantangan zaman. Menumpuk harta bagi keturunan tanpa membangun nilai dan karakter hanya akan melahirkan generasi yang rapuh dan mudah terpengaruh.
Beliau kemudian membahas konsep fitrah sebagai potensi bawaan manusia untuk condong kepada kebaikan. Potensi ini harus diarahkan melalui pendidikan, pembiasaan, dan lingkungan yang benar. Tanpa bimbingan, fitrah tersebut dapat terganggu oleh gaya hidup yang keliru atau pengaruh lingkungan negatif.
Untuk memperkuat penjelasan ini, beliau mengutip Surah Ar-Rum ayat 30:
Fa aqim wajhaka lid-dîni hanîfâ, fithratallâhillatî fatharan-nâsa ‘alaihâ, lâ tabdîla likhalqillâh, dzâlikad-dînul qayyimu wa lâkinna aktsaran-nâsi lâ ya‘lamûn.
Artinya: “Maka tegakkanlah wajahmu kepada agama yang lurus; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ustaz Abdullah Beik kemudian menjelaskan bahwa proses pendidikan harus mencakup dua dimensi: transfer ilmu (ta’lim) dan pembinaan karakter (tarbiyah). Pembiasaan ibadah, doa, serta keterlibatan dalam kegiatan spiritual menjadi bagian dari proses yang membentuk kepribadian kokoh. Beliau juga menyampaikan doa dalam Surah Al-Furqan ayat 74 sebagai gambaran ideal keluarga dalam Islam:
Rabbanâ hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a‘yuniw waj‘alnâ lil-muttaqîna imâmâ.
Artinya: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa.”
Pada bagian khutbah kedua, beliau mengaitkan pembahasan pendidikan dengan momentum hari-hari yang berkaitan dengan Sayyidah Fatimah s.a., putri Rasulullah saw. Beliau menjelaskan bahwa dalam tradisi pendidikan Islam yang diwariskan para ulama dan Ahlulbait, memperingati hari kelahiran maupun wafat tokoh suci merupakan bagian dari pembinaan spiritual dan intelektual. Dengan mengenang kehidupan mereka, umat dapat belajar dari keteladanan akhlak, cara hidup, serta pesan moral yang mereka sampaikan.
Menurut beliau, menghadiri majelis ilmu secara langsung memiliki nilai khusus. Meskipun kemajuan teknologi memungkinkan seseorang mengikuti kajian secara daring, namun suasana, interaksi, dan keberkahan kehadiran fisik tidak dapat tergantikan. Untuk menggambarkan kedudukan majelis ilmu, beliau membacakan Surah An-Nur ayat 36:
Fî buyûtin adzinallâhu an turfa‘a wa yudzkar fîhasmuhû yusabbihu lahû fîhâ bil-ghuduwwi wal-âshâl.
Artinya: “(Cahaya Allah itu ada) di rumah-rumah yang telah Allah perintahkan untuk dimuliakan dan disebut di dalamnya nama-Nya; di dalamnya bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”
Dalam penutup khutbahnya, Ustaz Abdullah Beik menegaskan kembali pentingnya kehadiran umat Muslim dalam majelis yang mengingat Allah, Rasulullah, dan keluarga suci Ahlulbait, serta pentingnya menjadikan momen-momen tersebut sebagai bagian dari proses membangun diri dan keluarga agar tetap berada dalam jalur pendidikan yang benar dan bernilai.



