Skip to main content

Dalam pertemuan Majelis Taklim Akhwat ICC Zainab Al-Kubro pada Rabu, 12 November 2025, Ustaz Umar Shahab melanjutkan pembahasan yang telah diangkat dalam dua pertemuan sebelumnya mengenai mazhab Syiah. Beliau mengawali dengan menjelaskan bahwa Syiah harus dipahami sebagai Islam dalam perspektif ahlul bait as. Penjelasan ini menegaskan bahwa Syiah tidak terpisah dari Islam, melainkan identik dengannya. Seluruh ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan ada dalam Syiah, sehingga sangat keliru jika ada yang menganggap Syiah bukan bagian dari Islam. Hanya saja, penjelasan Syiah mengenai ajaran Islam mengikuti tafsir dan pemahaman yang bersumber dari ahlul bait as, sehingga bisa berbeda dengan pandangan di luar Syiah.

Ustaz Umar Shahab menjelaskan bahwa ajaran Islam secara umum mencakup tiga bidang utama, yaitu keyakinan, syariat, dan moral. Karena Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah swt melalui Nabi Muhammad saw, maka dalam memahami Islam seseorang harus merujuk kepada dua sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Kedua sumber ini menjadi landasan bagi seluruh umat Islam, tetapi antara Al-Qur’an dan hadis terdapat perbedaan prinsip. Al-Qur’an dalam istilah ushul fikih bersifat mutlak, sementara hadis bersifat dugaan, karena hadis hanya diduga berasal dari Nabi Muhammad saw melalui jalur periwayatan.

Menurut penjelasan beliau, Al-Qur’an adalah satu dan tidak memiliki versi yang berbeda. Jika ada orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an Syiah berbeda dengan Al-Qur’an yang lain, maka anggapan itu adalah kekeliruan besar, sebab Allah sendiri telah menegaskan pemeliharaan terhadap kitab suci ini dalam firman-Nya:

innâ naḥnu nazzalnadz-dzikra wa innâ lahû laḥâfidhûn
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Sementara itu, hadis yang ada sekarang berbentuk kitab-kitab hadis yang jumlahnya banyak dan berbeda antara satu dengan yang lain, baik dari segi jumlah, teks, maupun periwayatan. Kitab-kitab hadis tersebut disusun oleh para ulama setelah melalui proses periwayatan panjang. Sahabat yang mendengar langsung dari Nabi saw meriwayatkan kepada orang lain, terutama setelah wafatnya beliau. Generasi yang menerima riwayat dari para sahabat dikenal sebagai tabi’in. Pada masa itu, hadis beredar secara lisan di tengah masyarakat Muslim selama kurang lebih seratus tahun sebelum kemudian dibukukan secara bertahap pada abad kedua hijriah. Artinya, terdapat jeda sekitar 150 hingga 200 tahun antara masa Rasulullah saw dengan masa pembukuan hadis.

Karena hadis bersifat dugaan, maka tidak semuanya dapat langsung dianggap benar berasal dari Nabi saw. Untuk itu, diperlukan proses verifikasi melalui ilmu hadis. Dalam mazhab Syiah, verifikasi ini memiliki kelebihan karena dilakukan melalui ahlul bait as, yang diyakini sebagai manusia-manusia terbaik pada zamannya, maksum, dan menjadi rujukan sebagaimana diwasiatkan oleh Rasulullah saw. Nabi saw telah menegaskan bahwa ketika umat berbeda pendapat, mereka harus kembali kepada ahlul bait as. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt:

fas’alû ahladz-dzikri in kuntum lâ ta‘lamûn
“Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)

Selain itu, Rasulullah saw juga mewariskan dua pusaka kepada umat Islam, yaitu Kitab Allah dan ahlul bait. Keduanya menjadi pegangan yang tidak boleh dipisahkan agar umat tidak tersesat. Karena itu, dalam menilai kebenaran suatu hadis, ukuran utama adalah kesesuaiannya dengan Al-Qur’an. Bila hadis bertentangan dengan Al-Qur’an, maka hadis tersebut harus dipertanyakan. Al-Qur’an menjadi standar kebenaran, sedangkan hadis diuji berdasarkan kesesuaiannya dengan kitab suci tersebut.

Namun, tidak semua orang dapat memverifikasi makna Al-Qur’an secara langsung karena Al-Qur’an adalah teks yang memiliki banyak kemungkinan penafsiran. Oleh sebab itu, peran imam as menjadi penting dalam memberikan penjelasan yang benar. Di sinilah Syiah menegaskan bahwa sumber pemahaman agama adalah dua: Al-Qur’an dan sunnah. Untuk memahami keduanya secara benar, maka harus merujuk kepada penjelasan ahlul bait as.

Di masa kegaiban Imam Mahdi afs, ketika umat tidak bisa bertanya langsung kepada imam, maka umat diperintahkan untuk berijtihad, yaitu berupaya sungguh-sungguh memahami ajaran Islam dan menjawab persoalan kehidupan berdasarkan dalil yang ada. Namun, ijtihad tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Hanya mereka yang mengkhususkan diri mempelajari Islam secara mendalam—yakni para ulama—yang dapat melakukannya. Tidak semua ulama memiliki kemampuan yang sama, sehingga umat harus merujuk kepada ulama yang mumpuni dalam keilmuan dan memiliki moralitas tinggi. Karena itu, para imam as berwasiat agar umat merujuk kepada fuqaha yang memenuhi syarat dari kalangan ahlul bait as.

Dalam sejarah Syiah, tidak pernah ada masa di mana terjadi kekosongan para faqih. Tradisi ijtihad di kalangan Syiah terus berlanjut dan berkembang hingga sekarang. Di sisi lain, dalam kalangan ahlusunnah, praktik ijtihad sudah ada sejak masa para sahabat dan berkembang pesat pada abad kedua hijriah melalui empat ulama besar yang menjadi rujukan utama hingga saat ini. Momentum ijtihad di kalangan ahlusunnah kemudian mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-19. Adapun dalam mazhab Syiah, ijtihad tetap hidup karena ulama yang dijadikan rujukan selalu adalah mereka yang masih hidup, sehingga mampu memahami kondisi dan persoalan zamannya.

Ustaz Umar Shahab menegaskan bahwa dalam mazhab Syiah, akal atau rasio memiliki kedudukan penting. Penggunaan akal inilah yang membuat ijtihad dalam tradisi Syiah berkembang sangat maju. Oleh karena itu, dalil keagamaan dalam Syiah mencakup empat sumber utama: Al-Qur’an, sunnah termasuk ajaran para imam as, ijma, dan rasio. Dengan demikian, Syiah menempatkan akal sebagai alat penting dalam memahami wahyu, sebagaimana yang diajarkan oleh para imam ahlul bait as.

Leave a Reply