Skip to main content

Pendahuluan: Antara Harapan dan Keputusasaan

Dalam perjalanan spiritual seorang mukmin, ada dua hal yang selalu bersaing di dalam hati: harapan (raja’) dan keputusasaan (ya’s). Sering kali, manusia lebih mudah terjerumus pada rasa putus asa daripada berharap kepada Allah. Padahal, Alquran dengan tegas mengingatkan:

“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.”
(QS. Yusuf [12]: 87)

Berbaik sangka kepada Allah, atau husnuzan billah, bukan sekadar sikap optimistis. Ia adalah bentuk pengakuan terdalam bahwa Allah adalah Zat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dalam tradisi Islam, khususnya dalam ajaran Ahlulbait as, husnuzan bukan hanya akhlak, tetapi juga bentuk tauhid praktis — meyakini bahwa segala kebaikan dan rahmat bersumber dari Allah semata.

Hadis Imam Ja‘far Shadiq as: Prasangka yang Menyelamatkan

Dalam kitab Safinah al-Bihar, diriwayatkan sebuah hadis menggetarkan dari Imam Ja‘far Shadiq as. Beliau berkata bahwa ada seorang hamba yang diperintahkan masuk ke dalam neraka. Namun ketika menoleh ke belakang, seakan mencari sesuatu yang hilang, Allah memerintah para malaikat untuk membawanya kembali.

Allah bertanya,
“Wahai hamba-Ku, mengapa engkau menoleh ke belakang?”

Hamba itu menjawab,
“Ya Allah, persangkaanku kepada-Mu tidak seperti ini. Aku menyangka Engkau akan mengampuni kesalahanku dan memasukkanku ke dalam surga-Mu.”

Allah pun bersabda kepada malaikat-Nya,
“Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, hamba ini tidak pernah berprasangka seperti ini dalam hidupnya. Namun karena ucapannya itu, berikanlah kepadanya ganjaran atas dustanya dan masukkanlah dia ke dalam surga.”
(Safinah al-Bihar, jil. 5, hal. 390, sebagaimana dinukil dalam Avatar Cinta, Habibullah Farakhzad)

Riwayat ini menggugah hati setiap pencari kebenaran. Meskipun hamba itu “berpura-pura” memiliki prasangka baik, Allah tetap menjadikannya alasan untuk memberinya rahmat. Ini menunjukkan betapa luas dan tak terbatas kasih sayang Ilahi.

Makna Spiritual Husnuzan Billah

Husnuzan kepada Allah bukanlah hasil dari logika kering, tetapi lahir dari hati yang mengenal kasih dan kebijaksanaan-Nya. Ketika manusia benar-benar mengenal Allah, dia akan malu untuk berprasangka buruk kepada-Nya.

Dalam sebuah munajat disebutkan:

“Duhai Zat yang memulai dengan memberi berbagai kenikmatan sebelum mereka berhak mendapatkannya.”

Artinya, Allah memberi sebelum kita meminta, dan mengampuni sebelum kita bertobat dengan sempurna. Ini menunjukkan bahwa berbaik sangka kepada Allah sejatinya adalah pengakuan atas kemurahan dan kasih sayang-Nya yang tak bersyarat.

Putus Asa dari Diri Sendiri, Bukan dari Allah

Sering kali, manusia keliru memahami makna harapan. Mereka mengira bahwa berharap kepada Allah berarti menutup mata dari kekurangan diri. Padahal, Imam Ja‘far Shadiq as menegaskan bahwa seorang mukmin harus putus asa dari dirinya sendiri, namun berharap sepenuhnya kepada Allah.

Alquran mengajarkan hal serupa:

“Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami.”
(QS. Yusuf [12]: 110)

Ayat ini menjelaskan bahwa pertolongan Allah datang justru ketika manusia benar-benar sampai pada batas kemampuan dirinya. Saat semua jalan tertutup, di sanalah cahaya Ilahi menembus kegelapan. Putus asa dari diri sendiri berarti menyadari bahwa hanya Allah-lah sumber segala pertolongan.

Allah Menghargai Setiap Niat Kebaikan

Salah satu pelajaran terindah dari hadis Imam Ja‘far Shadiq as adalah bahwa Allah menghargai niat, bahkan niat yang belum sempurna. Hamba dalam kisah tersebut tidak benar-benar berprasangka baik; ia sekadar berpura-pura. Namun kepura-puraan itu pun diterima Allah sebagai kebaikan.

Ini adalah cerminan dari sifat Allah yang disebut dalam Alquran:

“Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Fath [48]: 14)

Kata “kânallâh” (adalah Allah) dalam ayat ini menunjukkan bahwa sifat pengampun dan penyayang Allah tidak pernah berubah, baik di masa lalu, sekarang, maupun masa depan. Ia selalu konsisten dalam rahmat dan kasih-Nya.

Berprasangka Baik: Jalan Menuju Surga

Imam Ja‘far Shadiq as berkata:

“Setiap hamba yang berprasangka baik kepada Allah, maka Allah akan memperlakukannya sesuai dengan prasangka itu. Dan setiap hamba yang berprasangka buruk kepada Allah, maka Allah pun akan memperlakukannya sesuai prasangka itu pula.”

Ayat Alquran menguatkan pernyataan ini:

“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangkakan kepada Tuhanmu, Dia membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. Fushshilat [41]: 23)

Maka, ketika seorang mukmin yakin bahwa Allah akan mengampuninya, Allah benar-benar akan memperlakukannya sesuai keyakinannya. Sebaliknya, keyakinan buruk bahwa Allah tidak akan mengampuninya justru menjadi penghalang rahmat. Itulah sebabnya Imam Ja‘far menyebut buruk sangka kepada Allah sebagai dosa terbesar, sebab ia berarti menolak sifat rahmat dan kasih Tuhan.

Menghidupkan Harapan di Tengah Kejatuhan

Kita hidup di zaman yang penuh keputusasaan: krisis moral, tekanan ekonomi, dan rasa bersalah atas dosa masa lalu sering membuat manusia kehilangan harapan. Namun, riwayat ini mengajarkan bahwa bahkan “prasangka pura-pura” kepada Allah pun bisa menjadi titik balik kehidupan spiritual.

Maka, jangan menunggu diri menjadi suci untuk berharap kepada Allah. Justru dalam keadaan kotor, hancur, dan berdosa, kita dipanggil untuk mendekat kepada-Nya. Karena Allah adalah Tuhan yang Mahabaik, yang tidak pernah menolak siapa pun yang datang dengan hati penuh harapan.

Refleksi Tasawuf Ahlulbait: Cinta Ilahi yang Tidak Bersyarat

Dalam pandangan tasawuf Ahlulbait, husnuzan kepada Allah bukan sekadar ajaran moral, tetapi manifestasi cinta. Ketika kita berbaik sangka, kita sebenarnya sedang mencintai Allah sebagaimana kita mencintai seseorang yang kita percayai sepenuhnya.

Cinta yang sejati selalu percaya. Ia tidak menuduh, tidak meragukan, dan tidak menolak. Jika kita mencintai Allah, bagaimana mungkin kita berprasangka buruk kepada-Nya?

Imam Ali as pernah berkata:

“Aku tidak menyembah Tuhan karena takut kepada neraka atau karena mengharap surga, tetapi karena aku mendapati-Nya layak untuk disembah.”

Maka, berbaik sangka kepada Allah adalah bentuk cinta yang tertinggi — cinta yang yakin bahwa apa pun yang Allah lakukan selalu mengandung rahmat dan hikmah.

Penutup: Rahmat Allah Tak Bertepi

Hadis Imam Ja‘far Shadiq as menegaskan sebuah kebenaran mendalam: Allah tidak pernah pelit dalam memberi rahmat. Bahkan kepura-puraan hamba yang berpura-pura berprasangka baik pun menjadi alasan bagi-Nya untuk memberikan surga.

Karena itu, jangan pernah membiarkan dosa, kesalahan, atau masa lalu membuat kita kehilangan harapan. Allah tidak menilai masa lalu kita lebih besar dari rahmat-Nya. Ia adalah Tuhan yang mengampuni sebelum kita meminta ampun, dan mencintai sebelum kita belajar mencintai-Nya.

“Prasangka baik kalianlah yang akan menyelamatkan kalian dari neraka, dan prasangka buruk kalianlah yang membinasakan kalian,”
demikian sabda Imam Ja‘far Shadiq as.

Maka, ceritakanlah tentang rahmat, cinta, dan keindahan-Nya. Jadikan husnuzan billah sebagai kunci menuju kebahagiaan abadi — karena di balik setiap keputusasaan, selalu ada Allah yang menunggu dengan kasih tanpa batas.

Leave a Reply