Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menyelenggarakan Majelis Duka Muharram 1447 H pada Kamis malam, 3 Juli 2025, bertepatan dengan malam kedelapan Muharram. Majelis dibuka dengan pengantar oleh Ustaz Arif Mulyadi, disusul tilawah Al-Qur’an oleh Deden Saputra. Acara dilanjutkan dengan penampilan operet tentang perjuangan Ali Akbar dalam peristiwa Karbala, yang dibawakan oleh anak-anak dari Ummul Ushul Children Islamic Studies (ULCIS).
Ceramah utama malam itu disampaikan oleh Ustaz Umar Shahab, yang mengawali dengan menegaskan bahwa Allah SWT telah mengenalkan kepada umat Islam sosok para Imam suci dari keluarga Rasulullah SAW. Di negeri seperti Indonesia, masih banyak muslimin yang belum mengenal siapa Ahlulbait. Namun bagi mereka yang telah mengenalnya, hal itu adalah karunia agung dari Allah SWT.
Beliau menekankan bahwa pengorbanan Imam Husain a.s. dan para syuhada Karbala telah memastikan Islam tetap hidup dan dikenal hingga hari ini. Tanpa peristiwa Asyura, bukan mustahil Islam mengalami nasib yang sama dengan agama-agama terdahulu yang telah kehilangan kemurniannya.
Ustaz Umar Shahab mengingatkan bahwa Allah SWT telah mengutus 124.000 nabi dan lebih dari 300 rasul. Namun, dari semua ajaran tersebut, sangat sedikit yang tetap bertahan dalam bentuk aslinya. Ajaran Nabi Isa a.s. dan Nabi Musa a.s., misalnya, kini telah banyak mengalami penyimpangan dalam pemahaman dan praktik umatnya. Padahal Nabi Isa a.s. tidak pernah mengajarkan bahwa dirinya adalah anak Tuhan, dan Nabi Musa a.s. pun tidak pernah menyimpang dari prinsip tauhid. Satu-satunya ajaran ilahi yang tetap terjaga dalam kemurniannya hingga hari ini adalah Islam—dan keberlangsungannya tidak terlepas dari pengorbanan Imam Husain a.s. dan para syuhada Karbala.
Beliau kemudian mencontohkan kisah Imam Ali Zainal Abidin a.s., yang saat kembali ke Madinah pasca-Karbala, ditanya oleh penduduk siapa yang menang dalam peristiwa itu. Imam menjawab bahwa kemenangan bukan diukur dari siapa yang masih hidup atau gugur, tetapi dari tegaknya nama Allah dan Rasul-Nya. Selama azan masih dikumandangkan, nama Nabi Muhammad SAW terus disebut, dan salat masih ditegakkan, maka kemenangan itu adalah milik Imam Husain a.s.
Seruan Imam Husain a.s. di padang Karbala—“adakah penolong yang akan membelaku?”—adalah panggilan lintas zaman, seruan abadi bagi siapa pun yang masih memiliki keberanian untuk membela kebenaran. Menjawab seruan itu berarti menyatakan kesiapan untuk melanjutkan perjuangan beliau: berdiri tegak melawan kezaliman, menjaga kemurnian Islam, dan membela warisan Ahlulbait dengan sepenuh kesadaran dan komitmen.
Ustaz Umar Shahab menegaskan bahwa ajaran Imam Husain a.s. adalah ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang terjaga dan tercermin dalam pribadi Ahlulbait. Karena itu, beliau mengingatkan hadirin akan sabda Rasulullah SAW: “Ahlulbaitku ibarat bahtera Nuh; siapa yang menaikinya akan selamat, dan siapa yang meninggalkannya akan celaka.” Hadis ini tercantum dalam kitab-kitab hadis, baik dari kalangan Syiah maupun Ahlusunnah.
Beliau menegaskan bahwa untuk memenuhi panggilan Imam Husain a.s., satu-satunya jalan adalah menjadi pengikut Ahlulbait. Menjadi Syiah Ali bukan sekadar klaim, tetapi komitmen. Rasulullah SAW sendiri menjamin keselamatan Syiah Ali di hari kiamat. Memohon keselamatan dari neraka, sebagaimana yang senantiasa kita panjatkan dalam doa, menuntut keteguhan untuk tetap berpegang pada jalan Ahlulbait.
Beliau mengutip sabda Nabi SAW: “Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka: Al-Qur’an dan Ahlulbaitku. Jika kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya.” Peringatan ini bukan hanya menjadi pedoman keselamatan pribadi, tetapi juga menjadi dasar tanggung jawab untuk membimbing keluarga agar tetap berada di jalan yang lurus bersama dua pusaka tersebut.
Ustaz Umar Shahab lalu menyoroti tanggung jawab orang tua. Dalam Surah At-Tahrim ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Dalam Surah Az-Zumar ditegaskan bahwa orang yang merugi di akhirat adalah mereka yang menjerumuskan diri dan keluarganya ke dalam kerugian. Maka, mengenal Ahlulbait adalah langkah awal, dan mengajak keluarga menempuh jalan yang sama adalah kewajiban berikutnya.
Beliau mengingatkan bahaya paham-paham menyimpang seperti Murji’ah, yang sudah muncul sejak zaman Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.. Paham ini memisahkan iman dari amal dan masih tumbuh subur hingga kini. Karena itu, beliau mengutip nasihat Imam Ali a.s. agar orang tua mengajarkan nilai-nilai Ahlulbait kepada anak-anak mereka sejak kecil. Jika anak tersesat karena kelalaian orang tuanya dalam menanamkan nilai kebenaran, maka dosa itu juga menjadi tanggung jawab orang tua.
Beliau juga mengingatkan bahwa akses terhadap sumber-sumber ajaran Ahlulbait kini sangat terbuka, baik dalam bentuk buku cetak maupun digital, termasuk melalui fasilitas yang disediakan oleh ICC. Namun, beliau menyayangkan masih banyak keluarga yang telah mengenal Ahlulbait, tetapi belum mewariskannya secara kuat kepada anak-anak mereka. Akibatnya, banyak generasi muda yang menjauh dari jalan kebenaran karena kurangnya pembinaan sejak dini.
Majelis duka kemudian dilanjutkan dengan pembacaan maqtal oleh Sayyid Bagir Al-Attas, yang membawa hadirin larut dalam kesedihan peristiwa Karbala. Acara kemudian dilanjutkan dengan lantunan maktam oleh Muhammad Alaydrus dan Ja’far Hinduan, sebelum ditutup dengan doa penutup yang dipimpin oleh Ustaz Abdullah Beik.