Pengantar Penulis
Nabi yang mulia saw telah pergi menemui Tuhannya Azza wa Jalla dengan meninggalkan dua buah pusaka terbesar untuk umat ini, yaitu Alquran yang mulia dan itrahnya yang suci –salawat Allah atas mereka semua, dan beliau mengisyaratkan bahwa sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah selama-lamanya hingga keduanya datang menemuinya pada Telaga Haudh, maka pembicaraan tentang Alquran adalah pembicaraan mengenai sang pengembannya dan penyingkapan rahasia-rahasia para manusia maksum as dari melakukan kesalahan, yaitu para Imam yang diberi petunjuk dan memberi petunjuk; dan membicarakan mereka berarti membicarakan tentang Alquran yang mulia.
Seluruh muslim pada umumnya dan juga para pengikut mazhab yang benar (Ahlulbait as) khususnya sangat memerhatikan kitab Allah dan penafsirannya, maka terkumpullah di dalam perpustakaan Islam warisan (peninggalan-peninggalan) berharga dari tafsir-tafsir, dengan berbagai macam jenis dan bentuknya yang telah dilakukan oleh ahli tafsir ini atau itu, yang di antaranya ada yang spesialis di bidang asbabun nuzul ayat-ayatnya, ada yang menyingkap aspek balagahnya dan misteri-misteri (rahasia-rahsia) sigatnya, dan apa-apa yang terkait dnegan pembahasan ini seperti ilmu bahasa dan gramatikanya, sehingga metode seperti penafsiran ini disebut dengan (tafsir sastrawi).
Selanjutnya, ada juga motif dan corak penafsiran ayat-ayat Alquran yang bijaksana lainnya, dan corak penafsiran tersebut adalah tafsir riwayat yang bersumberkan (riwayat) dari Nabi saw dan Ahlulbaitnya, para Imam pemberi petunjuk –salam Allah atas mereka semua. Perbuatan seperti ini menghasilkan penafsiran riwayat di salah satu dari aspek-aspeknya, yaitu usaha untuk mengoptimalkan apa-apa yang terkandung di dalam riwayat-riwayat yang mulia sebagai alat penafsir Alquran dalam kaitannya dengan Ahlulbait yang maksum dan suci as, sebagai sebuah metode alternatif yang ditempuh yang kelak akan kami tunjukkan padanya di dalam halaman-halaman berikutnya, insya Allah Ta’ala.
Amma ba’du. Allah Yang Mahabijaksana berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia, “Hanyasanya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”[1]
نقل إِبن مردويه، عن سعد، قَالَ: نزل عَلَى رَسُوْل الله (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) الْوَحْيُ، فَأَدْخَلَ عَلِيًّا، وَ فَاطِمَة وَ إِبْنَيْهُمَا [الْحَسَنَ وَ الْحُسَيْنَ] تَحْتَ ثَوْبِهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلِيْ وَ أَهْلِ بَيْتِيْ.
Dinukil dari Ibnu Mardawaih, dari Sa’ad, dia berkata, “Ketika wahyu (ayat ini) turun pada Rasulullah saw, beliau memasukkan Ali, Fathimah dan dua orang putra keduanya [Hasan dan Husain] di bawah tutupan bajunya kemudian berkata, ‘Ya Allah ! Mereka ini adalah keluargaku dan Ahlulbaitku.”[2]
و روى أيضا عن أمّ سلمة (رَضَيَ اللهُ عَنْهَا)، قالت: فِيْ بيتي نزلت إِنَّما يُرِيدُ الله لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وفي البيت فاطمة وَ عَلِيّ وَ الْحَسَن وَ الْحُسَيْن، فجلّلهم رسول الله (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) بكساء كان عليه، ثمّ قَالَ: هَؤٌلاَءِ أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهّرهم تطهيرا.
Dia juga meriwayatkan dari Ummu Salamah ra yang berkata, “Di rumahkulah turun ayat, Hanyasanya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbait, yang di dalamnya ada Fathimah, Ali, Hasan dan Husain, maka Rasulullah sawpun menutupi mereka dengan secarik kain (kisa) miliknya, kemudian berkata, ‘Mereka ini adalah Ahlulbaitku, maka hilangkanlah dari mereka kekotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’“[3]
و قَالَ أيضا: فِيْ قرآنه الحكيم: قُلْ لاَ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِيْ الْقُرْبى.
Dia juga berfirman di dalam Quran-Nya yang bijaksana, “Katakanlah (wahai Muhammad), aku tidak meminta upa apa pun dari dakwahku ini kecuali kecintaan kalian pada Ahlulbait (keluarga dekat)ku.”[4]
وَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَ: قُلْ لاَ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِيْ الْقُرْبَى؟
Dari Ibnu Abbas berkata, “Ketika turun ayat, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku tidak meminta upa apa pun dari dakwahku ini kecuali kecintaan kalian pada Ahlulbait (keluarga dekat)ku?’
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، من قرابتك الَّذِيْنَ وجبت علينا مودّتهم؟
Mereka (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah! Siapakah keluarga dekatmu yang engkau telah mewajibkan kami mencintainya itu?’
قَالَ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): علي وَ فَاطِمَة وَ الْحَسَن وَ الْحُسَيْن (عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ). و من ثمّ اتّفق جميع المسلمين على اختلاف نحلهم و آرائهم، على أنّ حبّهم (عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ) فرض من ضروريات الدين الإسلامي فقد قَالَ اْلإِمَامُ الشافعي: بل حبّهم فرض من ضروريات الدين الإسلامي الَّتِيْ لاَ تقبل الجدل والشك، على اختلاف نحلهم و آرائهم.
Beliau saw bersabda, ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain as.’ [5] Dari inilah makanya seluruh muslim sepakat sekalipun dengan berbagai perbedaan pandangan dan pendapat mereka, bahwa mencintai mereka as adalah fardu (wajib) yang telah ditetapkan oleh agama Islam, maka dalam kaitannya dengan ini, Imam Syafi’i berkata, “Mencintai mereka adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh agama Islam, yang tidak diperselisihkan dan diragukan lagi, sekalipun mereka memiliki keragaman pandangan dan pendapat.’“[6]
Imam Syafi’i berkata,
يَا أَهْلَ بَيْتِ رَسُوْل اللهِ حُبُّكُمْ
فَرْضٌ مِنَ اللهِ فِيْ الْقُرْآنِ أَنْزَلَهُ
Wahai Ahlulbait Rasulullah! Mencintai kalian
Adalah fardu dari Allah di dalam Alquran yang diturunkan-Nya
كَفَاكُمْ فِيْ عَظِيْمِ الْقَدْرِ أَنَّكُمْ
مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْكُمْ لاَ صَلاَةَ لَهُ.
Cukuplah yang menjadi kedudukan teragung kalian
Bahwa siapa yang tidak bersalawat pada kalian, tidaklah diterima salatnya.[7]
Kami –seluruh kaum Syi’ah- meyakini bahwa para Imam as adalah para pemegang urusan kepemimpinan umat yang Allah telah memerintahkan (kita) menaati mereka, mereka adalah para saksi atas manusia, mereka adalah pintu-pintu Allah, jalan menuju kepada-Nya dan para penunjuk jalan pada-Nya, mereka adalah tempat (tambatan) ilmu-Nya dan penjelas wahyu-Nya, pilar-pilar tauhid-Nya dan para khazanah makrifat-Nya. Oleh karena itulah, makanya mereka menjadi keamanan bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-gemintang menjadi keamanan bagi penghuni langit, dan sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang telah Allah hilangkan dari mereka kekotoran dan najis dan menyucikan mereka sesuci-sucinya.
Kami juga meyakini bahwa perintah mereka adalah perintah Allah Ta’ala, dan larangan mereka adalah larangan-Nya juga, menaati mereka adalah menaati-Nya, membangkangi mereka adalah membangkangi-Nya, mencintai mereka adalah mencintai-Nya dan memusuhi mereka adalah memusuhi-Nya, maka kami berkewajiban memasrahkan diri kepada mereka dan menjalankan perintah mereka, menerima ucapan mereka, sebagaimana diwajibkan atas setiap muslim beragama dengan mencintai dan menyayangi mereka sebagaimana hal ini telah banyak dijelaskan oleh riwayat-riwayat dari Nabi saw yang bersabda,
إِنَّ حُبَّهُمْ عَلاَمَةُ الْإِيْمَانِ وَ أَنَّ بُغْضَهُمْ عَلاَمَةُ النِّفَاقِ، وَ أَنَّ مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ مَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضُ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ.
“Sesungguhnya mencintai mereka merupakan tanda-tanda keimanan dan membenci mereka adalah tanda-tanda kemunafikan, dan sesungguhnya siapa saja yang mencintai mereka berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya dan siapa saja yang membenci mereka berarti telah membenci Allah dan Rasul-Nya.”[8]
Metode Kami dalam Memverifikasi
Ada banyak kitab-kitab yang telah ditulis mengenai keutamaan-keutamaan Ahlulbait as dan di dalamnya telah menyebutkan sebagian ayat-ayat yang turun terkait mereka as, dan di dalamnya menyebutkan juga bahwa Ahlusunnah pun telah mengisyaratkan kepadanya, tapi ayat-ayat ini terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak disusun dan dikumpulkan dengan baik, yang saya temukan pengumpulan dan penyusunannya diletakkan pada catatan pinggir Alquran seperti yang ditemukan pada metodelogi penafsiran yang dilakukan oleh Abdullah Syubbar, di mana ketika pembaca yang mulia membaca Alquran, dia akan menghadap kepada ayat-ayat ini.
Tekad inilah yang memacu saya untuk mengetengahkan kembali sumber-sumber ini kepada seluruh manusia, dan saya menyerahkan proyek ini kepada saudaraku Yang Mulia Hujjatul Islam wal Muslimin Sayid Ya’qub Musawi, pemilik kitab Mansyurat (selaku keturunan langsung Ahlulbait as, lalu beliau menyambutnya dengan baik dan dengan segala kesungguhannya, beliau menerbitkan dan menyebar-luaskannya, semoga Allah mengganjarinya dengan pahala yang berlipat-ganda).
Poin-poin yang Harus Diperhatikan ketika Menelaah Buku Ini
Pertama, kami telah berusaha keras menjelaskan masalah ini dengan cakupan yang lebih luas, meliputi sekumpulan riwayat-riwayat Imamiyah dan kumpulan riwayat-riwayat para ulama pada umumnya yang menjelaskan ayat-ayat Alquran yang bijaksana, yang memuat keutamaan-keutamaan Ahlulbait as.
Kedua, memastikan (kesahihan) riwayat-riwayat sedapat mungkin yang terdapat di dalam setiap halaman-halaman (lembaran-lembaran) yang memuat penjelasan ayat yang mulia.
Ketiga, menyebutkan riwayat-riwayat dari sumber-sumber asli (awal) dari kedua kelompok, tanpa menghilangkan sumber aslinya, di mana kami menyebutkannya dari sumber-sumber kedua berdasarkan tahun penulisannya.
Keempat, kami menggugurkan (menghilangkan) penyebutan sebagian sanad-sanad riwayat-riwayat guna menjaga keasliannya dan agar tidak terlalu panjang-lebar, dengan mencukupkan diri dengan apa-apa yang ada di dalam catatan pinggir setiap halaman dari kita yang kami bersandar kepadanya.
Kelima, kami mengulas kembali penyebutan hadis-hadis yang memiliki kesamaan bentuk atau mendekatinya, dengan tetap memberikan penjelasan yang seperlunya.
Keenam, ketika kami menemukan riwayat yang panjang, kami hany akan mengambil bagian yang terkait dengan ayatnya saja, dan ketika riwayat itu tidak memiliki kaitan dengan ayat keutamaan-keutamaan Ahlulbait as secara lahiriah di sebagian halaman-halamannya, kami akan mendatangkan riwayat-riwayat yang bersentuhan dan berkaitan dengan sebagian ayat-ayat sebelum atau setelahnya, yang terkait dengan penyebutan keutamaan-keutamaan mereka as, agar tidak mengalami kekosongan walaupun riwayat itu hanya berupa satu halaman saja.
Ketujuh, di sini kami juga menjelaskan gaya bahasa (bahasa) yang disebutkan dari Tafsir Majma’ al-Bayan, karya seorang ahli tafsir besar Thabarsi qs.
Kedelapan, kami juga menyertakan di akhir setiap halaman, hal-hal yang terkait dengan sumber aslinya yang dikaitkan kepada kitab-kitab yang telah saya sebutkan, yang memiliki kedekatan riwayat yang ada di dalamnya.
Kesembilan, bahwa hadis-hadis dan khabar-khabar yang telah kami kemukakan dari berbagai sumber, di sini kami tidak akan menjelaskan kesahihan dan kedaifan sanadnya, karena sesungguhnya adanya berbagai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda terkait perihal sebagian dari para perawi, dan mengamalkan hadis (yang menjadi) sumber rujukan dan sandaran (dengan memerhatikan aspek (toleransi akan kesahihan sunan-sunan) di luar hal-hal yang wajib dan haram, maka kami akan menyerahkannya kepada pembaca yang mulia untuk menilainya sendiri, atau kepada siapa saja yang hendak mendapatkan kedamaian di dalamnya.
Kesepuluh, kami telah mengerahkan usaha sungguh-sungguh untuk menerbitkan buku dengan betul dan jauh dari unsur kesalahan ketik dan penulisan (huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya-pent), maka jika ditemukan ada sesuatu yang tidak berkenan di dalam hati para pembaca yang budiman, maka itu berasal kesalahan penglihatan mata kami.
Sebagai penutup, saya mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh saudara-saudara dan teman-teman dekat saya yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan dan penerbitan buku ini, dan terkhusus Yang Mulia Sayid Ya’qub Musawi (semoga Allah menambah kemuliaannya) atas bantuannya dalam menerbitkan dan menyebar-luaskan buku ini, dan saya berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan taufik untuk menghidupkan agama-Nya dan menyebarkan peninggalan berharga Ahlulbait as.
Muhammad Shalihi Andimisyki
[1] QS. al-Ahzab:33.
[2] Manaqib Ali bin Abi Thalib as, hal.301, hadis ke-476, dan yang terkait dengan tema ini juga ada di dalam hadis ke-475-479.
[3] Ibid., hal.301, hadis ke-477.
[4] QS. al-Syura:23.
[5] Syawahid al-Tanzil, jil.2, hal.196, hadis ke-828; al-Durr al-Mantsur; Tafsir Thabari ketika menafsirkan ayat ini. Berbagai khabar yang terkait dengan makna ini, banyak juga terdapat di dalam Tafsir Ibnu Katsir, jil.4, hal.401.
[6] Aqaid al-Islamiyah, hal.324.
[7] Diwan al-Syafi’i, hal.91.
[8] Syekh Shaduq, al-Amali, hal.383, hadis ke-16.