Oleh: Abu Syirin A
Mengadakan Majelis Tarhim atau dikenal dengan Tahlilan adalah budaya yang sudah mengental di kalangan kaum muslim. Majelis Tarhim adalah sebuah perkumpulan doa dalam rangka meminta ampunan dan rahmat untuk orang yang telah tiada dengan pembacaan al-fatihah, khatam Alquran, zikir dan doa. (Shafi Pur, Muntaha al-Arb, juz 1, hal.438, cetakan Tehran)
Majelis Tarhim atau tahlilan dilakukan di berbagai negara Muslim seperti Tajikistan dilakukan di hari kedua puluh dan empat puluh hari wafat. (Rahim Muslamaniyan, Bunyad Daire Ma’arif Islami)
Kaum muslim India melakukan majelis tarhim di hari ketiga wafat. Mereka membaca Alquran, doa, zikir dan syair duka. (Sirah Ibnu Bututah, juz 1, hal.107, cetakan Beirut)
Mesir, Irak dan Azarbeijan mereka juga melakukan majelis tarhim untuk kerabat yang telah tiada begitupula Iran melakukan majelis tarhim untuk mayit baik sampai hari ketiga ataupun sampai hari ketujuh. (Majid Zade, Ayin Sughwari dar Larestan, juz1, hal.908)
Majelis tarhim karena di dalamnya terdapat mengingat kematian, zikir, pembacaan Alquran, menjelaskan mabda dan maad, menjauhi maksiat dan mengingatkan ketaqwaan, ulama-ulama Syiah seperti Syekh Makarim Syirazi, tidak hanya membolehkan, bahkan menganjurkan dan menyebut perbuatan tersebut sebagai kebaikan. (Makarim Syirazi, Bab: Ahkam Marasim Khatm, Ihya Marasim Sewum wa Haftum Baraye Amwat)
Muhammadi Rey Syahri mengatakan bahwa banyak sekali riwayat dari Imam Ahlulnait as terkait sadaqah, istigfar, doa dan zikir memberikan pengaruh besar di alam barzakh dan akhirat bagi si mayit. Rasulullah saw bersabda, “Sedakah memadamkan panas di dalam kubur.” (Muhammadi Rey Syahri, Bab Sedakah, no.10342)
Hukum Melayat Keluarga yang Ditinggalkan
Imam Ahlulbait as mengajarkan kita untuk melayat saudara mukmin yang telah wafat, baik sebelum dikebumikan ataupun setelahnya. (Nuri, Mustadrak al-Wasail, juz 1, hal.174)
Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa melayat dan bertakziah kepada keluarga yang ditinggalkan, maka kelak pada hari kiamat Allah Swt akan menghormatinya dan menghadiahinya dengan pakaian surga yang indah.” (Hurr Amili, Wasail al-Syi’ah, juz 3, hal.213)
Begitupula Imam Shadiq as ketika ada orang mukmin yang wafat beliau selalu hadir menghibur keluarga yang ditinggalkan seraya berkata kepada sahabatnya, “Berbela sungkawa dan bertakziah kepada keluarga yang ditinggalkan adalah kewajiban mukmin.” (Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 3, hal.204)
Ulama menafsirkan wajib dari hadis tersebut adalah sunnah yang ditekankan.
Ulama Ahlulbait as sepakat bahwa pengadaan Majelis Tarhim atau Tahlilan tidak masalah bahkan dianjurkan karena didalamnya terdapat syiar-syiar Ilahi. Namun, ada hal yang menjadi catatan yang kini telah membudaya baik di Iran, Indonesia, Irak (daerah Yazidi) dan negara-negara Muslim lainnya.
Pelarangan Imam Ahlulnait as Terkait Memberatkan Keluarga yang Berduka
Hal yang sudah membudaya terkait Majelis Tarhim (Tahlilan) adalah memberatkan Shahibul Aza’ (keluarga yang berduka) dalam menyediakan makanan untuk tamu-tamu yang hadir. Hal ini menurut Imam Shadiq as adalah perbuatan Jahiliah.
Imam Shadiq as berkata,
الْأَکْلُ عِنْدَ أَهْلِ الْمُصِیْبَةِ مِنْ عَمَلِ الْجاهِلیَّهِ وَ السُّنَّهُ الْبَعْثُ إِلَیْهِم بِالطَّعَامِ.
“Makan di rumah yang terkena musibah (Shahibul Aza’) adalah perbuatan Jahiliah dan sunah adalah mengirim makanan kepada mereka (Shahibul Aza’).” (Man La Yahdhuruhu al-Faqih, juz 1, hal.182)
Begitupula Nabi Muhammad saw berkata,
لَمّا قُتِلَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) فَاطِمَةَ (سَلاَمُ اللهِ عَلَيْهَا) أَنْ تَأْتِيَ أَسْمَاءَ بِنْتَ عُمَیْسٍ وَ نِسَائَهَا وَ أَنْ تَصْنَعَ لَهُمْ طَعَامًا ثَلاَثَةَ أَیَّامٍ فَجَرَتِ بِذَلِکَ السُّنَّةُ.
“Ketika Ja’far bin Abi Thalib as gugur, Rasulullah saw memerintahkan Sayidah Fathimah as mendatangi Asma’ binti Umais dan wanita-wanita mukmin lainnya untuk memasak makanan selama tiga hari untuk keluarga yang ditinggalkan, maka sunah itu pun dipraktikkan.” (Man La Yahdhuruhu al-Faqih, juz 1, hal.48)
Lebih dari 18 riwayat dari kitab-kitab hadis Syiah yang mengatakan makan di rumah Shahibul Aza’ hukumnya makruh dan sunnah adalah mengirim makanan kepada mereka selama tiga hari. (Hurr Amili, Wasail al-Syi’ah, juz 2, bab 67, hal.888)
Fatwa Maraji Terkait Makan di Rumah Shahibul Aza’
Imam Ali Khamenei, “Makan di rumah Shahibul Aza’ adalah makruh dan sunahnya adalah mengirimkan makanan untuk mereka selama tiga hari.”
Sayid Ali Sistani, “Masalah 848: Mustahab mengirimkan makanan kepada Shahibul Aza’ selama tiga hari dan makan dirumah mereka hukumnya makruh.” (Tawdhih Masail Jami’, jilid 1, masalah 848)
Untuk itu Ulama dan Maraji memfatwakan makan di rumah Shahibul Aza’ hukumnya makruh dan sunahnya adalah mengirim makanan kepada mereka selama tiga hari. Namun, jika Shahibul Aza’ (keluarga yang ditinggalkan) mereka siap dan ikhlas memberikan makanan kepada para pelayat sebagai bentuk hadiah dan shadaqah bagi si mayit, maka hukumnya boleh dan termasuk kebaikan dan pahala bagi si mayit. (Tawdhih Masail Maraji’, juz 1, masalah 632)
Klaim di atas tidak kontradiksi karena konteks pelarangan adalah memaksa (tahmil) Shahibul Aza’ untuk menyediakan makanan sampai-sampai disebagian tempat karena budaya di malam ketiga dan malam ketujuh “harus” memberikan besek (semacam oleh-oleh bagi yang hadir) dan sebagian terpaksa menjual tanah, mobil, motor, emas dan lain sebagainya demi menyediakan konsumsi dan masyarakat menjadikan hal tersebut ajang kuliner selama tujuh hari lamanya yang mana hukumnya makruh jika hal ini memberatkan bagi Shahibul Aza’. Namun, jika Shahibul Aza’ secara Ikhlas memberikan konsumsi dari lubuk hatinya (walaupun hanya air putih dan gorengan) hal tersebut tidaklah makruh.
Muhaqiq Ardabili berkata, “Jika Shahibul Aza’ ikhlas dari lubuk hatinya memberikan makanan dan minuman untuk yang hadir, maka hukumnya (memakan jamuan Shahibul Aza’) tidaklah makruh.” (Muhaqiq Ardabili, Majma’ al-Faidah wa al-Burhan, juz 2, hal.509)
Kritik Imam Salat Jumat Neyriz
Imam Jumat Kota Neyriz-Iran, Sayid Mahmud Husaini mengkritisi penyediaan makanan Shahibul Aza’ yang kini menjadi ajang show status sosial ekonomi dengan makanan-makanan mewah dan menyakiti golongan bawah yang tidak mampu menyediakan makanan mewah sehingga sebagaian dari mereka “terpaksa” jual aset sana-sini. (Muhammad Jawad Nashir Zadeh, Hourgan.ir,)
Hal ini juga menimpa kaum muslim Indonesia yang mana Shahibul Aza’ berduka dengan kehilangan orang yang dicintainya dan kedukaannya bertambah dengan harus memikirkan biaya Majlis Tarhim selama tujuh hari dan khususnya pada malam ketiga dan ketujuh yang tentunya menghabiskan banyak dana sehingga sebagian terpaksa menjual aset dan berutang.
Inilah yang ditentang oleh Imam Ahlulbait as dan ulama-ulama kita. Bukan esensi Majelis Tarhimnya, melainkan penentangan mereka terkait “pemberatan kepada Shahibul Aza’ dalam penyediaan konsumsi lebih dari batas kemampuan mereka”. Sudah jatuh, ketiban tangga pula. Padahal menurut sunah Nabi dan para maksum as, penyediaan konsumsi bukanlah tugas Shahibul Aza’, melainkan tugas saudara-saudara muslimnya.[SM]