Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memutuskan untuk tidak menanggapi proposal gencatan senjata terbaru yang telah disetujui Hamas, meski para mediator berupaya keras mendorong tercapainya kesepakatan.
Utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, yang sebelumnya justru menjadi pengusung formula perdamaian itu, kini mengambil jarak. Sejumlah laporan menyebut Witkoff tidak lagi mempercayai para mediator. Sikap ini kian mempertegas kesan bahwa Israel menolak jalan diplomasi, meski pihak Palestina sudah menyatakan kesediaan.
Padahal, pada Senin, 11 Agustus 2025, Hamas bersama sejumlah faksi Palestina telah menyatakan menerima proposal yang difasilitasi Mesir dan Qatar. Menurut sumber-sumber diplomatik, isi proposal tersebut hampir identik dengan dokumen yang dulu diajukan Witkoff sendiri. Dengan demikian, tuduhan Israel bahwa Hamas tidak fleksibel dalam negosiasi menjadi terbantahkan.
Namun alih-alih merespons kesepakatan itu, Netanyahu justru diperkirakan akan mendatangi Komando Selatan pada Kamis, 21 Agustus 2025, untuk meninjau dan menyetujui rencana operasi militer baru di Gaza. Media Israel menegaskan, “negosiasi akan digelar di bawah hujan tembakan, dan semuanya tergantung apakah ada kesepakatan tercapai.”
Sementara itu, pada Rabu malam, 20 Agustus 2025, juru bicara militer Israel mengumumkan dimulainya fase kedua operasi “Gideon’s Chariots (B)” dengan tujuan akhir menduduki Kota Gaza. Divisi ke-162 dilaporkan telah melancarkan manuver dari arah Jabalia di barat laut, dalam upaya memperketat pengepungan kota. Otoritas pendudukan bahkan mengeluarkan peringatan kepada para pemukim di sekitar Gaza Envelope agar tidak panik bila mendengar dentuman keras dan artileri berat “mulai saat ini.”
Rencana operasi baru ini, menurut sejumlah pengamat, tidak sekadar operasi militer biasa, tetapi bagian dari proyek pembersihan etnis yang lebih luas. Tujuannya: mengosongkan Kota Gaza melalui pengepungan, penghancuran infrastruktur, dan pengusiran paksa penduduk, dengan dalih manuver militer bertahap.
Menteri Keamanan Israel, Israel Katz, pada Rabu, 20 Agustus 2025, juga mengumumkan persetujuan atas rencana pendudukan Gaza City. Operasi Gideon’s Chariots B disebut sebagai kelanjutan dari operasi sebelumnya yang menuai banyak kritik. Operasi pertama dicemooh media dan kalangan keamanan Israel karena gagal mencapai tujuan-tujuan strategisnya. Meski diklaim ingin membebaskan tawanan, faktanya tujuan itu justru ditempatkan paling bawah dalam daftar prioritas.
Sasaran utama operasi lama adalah penghancuran total infrastruktur Hamas, baik militer maupun administratif. Namun kenyataannya, hingga kini perlawanan Palestina masih mampu melakukan serangan harian di seluruh Jalur Gaza, menimbulkan korban di pihak militer Israel.
Guna menopang operasi baru ini, militer Israel telah mengeluarkan tambahan 50.000 surat panggilan cadangan untuk memperkuat barisan, di luar 133.000 tentara cadangan yang sudah dikerahkan lebih dulu. Dengan demikian, total pasukan cadangan yang terlibat dalam operasi bisa melampaui 180.000 personel.
Kepala Staf Angkatan Darat Israel, Eyal Zamir, pada Minggu, 17 Agustus 2025, menyetujui rencana pendudukan Gaza City dalam dua tahap besar. Tahap pertama mencakup pengusiran warga sipil serta pengepungan total kota. Untuk itu, akan dibentuk apa yang disebut “zona kemanusiaan dengan infrastruktur minimal” di wilayah selatan Jalur Gaza. Zona ini pada dasarnya dimaksudkan untuk memfasilitasi pemindahan massal warga Gaza City. Setelah pengungsian besar-besaran itu, barulah dilakukan manuver darat untuk mengepung kota sambil melanjutkan evakuasi.
Tahap kedua adalah masuknya pasukan darat secara bertahap dan perlahan ke jantung kota, dengan dukungan serangan udara dan artileri berkelanjutan, hingga seluruh wilayah berada di bawah pendudukan penuh. Media Israel, termasuk Kan 11, menyebut rencana ini diperkirakan berlangsung hingga empat bulan.
Kabinet Israel sendiri telah mengesahkan rencana Netanyahu pada 7 Agustus 2025, meski rapat tersebut berlangsung panas. Dalam pertemuan itu, Kepala Staf Eyal Zamir menyampaikan keberatan keras. Ia memperingatkan adanya ancaman serius bagi tawanan Israel yang masih ditahan di Gaza, serta risiko perlawanan gerilya intensif dari Hamas di dalam kota pasca pendudukan. Namun, semua peringatan itu diabaikan dan usulan Netanyahu tetap disetujui bulat.
Kondisi di lapangan kian membuktikan parahnya dampak operasi. Pada Selasa, 12 Agustus 2025, Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mencatat 60 syahid dalam 24 jam terakhir, termasuk dua jenazah yang baru ditemukan dari reruntuhan, serta 343 korban luka yang dirawat di rumah sakit.
Secara keseluruhan, sejak 7 Oktober 2023, agresi Israel telah menewaskan 62.064 orang dan melukai 156.573 lainnya. Sejak runtuhnya gencatan senjata pada 18 Maret 2025, tercatat tambahan 10.518 syahid dan 44.532 luka-luka.
Rangkaian data ini memperlihatkan bahwa meski Israel mengklaim mengejar tujuan militer, yang terjadi di Gaza sesungguhnya adalah babak baru genosida: kota dikepung, warganya dipaksa keluar, infrastrukturnya dihancurkan, dan ribuan nyawa terus berguguran.
Sumber berita: https://english.almayadeen.net/
Sumber gambar: https://www.timesofisrael.com/