Seiring berakhirnya masa berlaku kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA), Iran bersiap menghapus pembatasan yang selama ini dijalankan secara sukarela. Pada saat yang sama, laporan media Barat menyebut tiga negara Eropa—Inggris, Prancis, dan Jerman—sepakat menjatuhkan sanksi baru bila kesepakatan pengganti gagal dicapai, sebuah langkah yang menurut Teheran hanya akan merusak sisa-sisa peluang diplomasi. Bila diaktifkan, sanksi itu akan menghidupkan kembali embargo senjata internasional, larangan aktivitas rudal balistik, pembekuan aset sejumlah pejabat dan lembaga, serta sanksi ekonomi yang membatasi perdagangan minyak dan akses perbankan internasional. Ketegangan meningkat sejak Amerika Serikat dan Israel melancarkan serangan mendadak terhadap fasilitas nuklir Iran pada Juni 2025, yang membuat perundingan antara Teheran dan Washington terhenti setelah lima putaran awal.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa agresi militer AS yang dilakukan berkoordinasi dengan Israel adalah wujud frustasi karena Washington gagal memaksa Teheran menghentikan pengayaan uranium sepenuhnya. Menurutnya, sejak awal pembicaraan tidak langsung yang dimediasi Oman, Amerika bersikeras Iran tidak boleh memiliki kemampuan membangun senjata nuklir, dan dalam pandangan mereka itu hanya mungkin dicapai dengan menghentikan total kegiatan pengayaan. “Sebagian pihak meyakinkan mereka bahwa selama pengayaan tetap ada, potensi senjata nuklir akan selalu melekat. Karena itu tuntutan mereka menjadi penghentian total pengayaan—yang sepenuhnya kami tolak,” ujar Araghchi. Ia kembali menegaskan bahwa Iran tidak pernah mengejar senjata nuklir, merujuk pada fatwa Pemimpin Revolusi Islam Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dan bahwa kebijakan resmi Teheran adalah mempertahankan hak atas pengayaan untuk tujuan damai sekaligus menjaga capaian ilmiah yang dibangun secara mandiri.
Araghchi mengungkap bahwa sejumlah rencana teknis pernah dibahas dalam perundingan dengan tim AS untuk menyeimbangkan kebutuhan pengayaan dan pencegahan proliferasi, tetapi semuanya ditinggalkan setelah kelompok lobi berpengaruh di Washington menekan pemerintah agar kembali menuntut penghentian total. Ia menolak label “terlalu optimistis” atau “terlalu konservatif” dalam diplomasi, karena menurutnya Kementerian Luar Negeri hanya menjalankan kerangka kebijakan yang sudah direncanakan jauh sebelum perang pecah. Ia menegaskan bahwa diplomasi adalah salah satu alat negara sebagaimana perang, keduanya tidak inheren baik atau buruk, melainkan sarana untuk mencapai kepentingan nasional. “Perang sering lebih mahal dan berisiko, diplomasi lebih murah, meski kadang bisa juga lebih sulit,” katanya, sembari menolak pandangan bahwa perang itu selalu suci dan diplomasi dengan Barat selalu nista.
Ia menyoroti efektivitas diplomasi regional: dalam beberapa bulan terakhir sebelum konflik 12 hari, Iran setidaknya tiga kali hampir terseret perang besar, tetapi dapat dihindari melalui interaksi kawasan. Dari lawatan dan kontak regionalnya, Araghchi menyimpulkan perang hanya membawa kehancuran dan tidak menguntungkan siapa pun, seraya menuding Israel sengaja mendorong konflik untuk melemahkan lawan-lawannya. Namun ia menambahkan, kekuatan dan kesiapan Iran jugalah yang membuat musuh tidak berani memperluas perang. “Kadang perang menjadi tak terhindarkan—terutama ketika pihak lain memaksakan sesuatu yang bagi kami mustahil,” ujarnya.
Tentang rencana pasca perang, Araghchi menjelaskan bahwa Kementerian Luar Negeri hanya melaksanakan keputusan yang ditetapkan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi (DKNT). “Jalur dan pilihan ditentukan dalam sistem kenegaraan yang melampaui pemerintah; tugas kami adalah bergerak dalam koridor itu. Orang bisa mengkritik atau memuji, tetapi yang utama adalah bagaimana kami melaksanakan keputusan Dewan,” tegasnya.
Terkait Badan Energi Atom Internasional (IAEA), ia menyinggung kunjungan Deputi Direktur Jenderal Massimo Aparo ke Teheran pasca-serangan Juni. Menurutnya, kunjungan itu memberi kesempatan bagi Iran untuk mendokumentasikan dan menyampaikan pandangan mengenai kemungkinan skema kerja baru berdasarkan undang-undang parlemen. Iran membuka opsi mengirim delegasi ke Wina untuk putaran berikutnya, tetapi menekankan bahwa kembalinya para inspektur harus sesuai aturan parlemen dan persetujuan DKNT. Araghchi menyebut laporan IAEA sering bias dan terlalu mengikuti narasi politik Barat, serta menyesalkan lembaga itu enggan mengutuk agresi AS–Israel. “Kami tidak sampai pada titik memutus kerja sama, tetapi jelas tidak akan sama seperti sebelumnya,” ujarnya.
Mengenai hubungan dengan Inggris, Prancis, dan Jerman, Araghchi mengatakan Teheran sedang menilai apakah masih ada fondasi untuk negosiasi yang bermakna, sembari menolak gagasan “berunding demi berunding.” Ia menuduh ketiganya kini menjadikan sanksi PBB sebagai satu-satunya alat tekan, padahal menurutnya mereka tidak lagi punya legitimasi karena sudah melanggar perjanjian nuklir 2015. Ia menilai Resolusi DK PBB 2231 kini kehilangan bobot, terbukti tidak mampu mencegah perang, menghentikan sanksi ilegal, ataupun melindungi Iran. Karena itu, setiap upaya Eropa mengaktifkan kembali sanksi otomatis (snapback) dianggap tidak sah.
Araghchi memperingatkan bahwa menjatuhkan sanksi PBB akan menandai akhir peran diplomatik Eropa. Ia mengakui dampak ekonomi mungkin terbatas, sebab sanksi sepihak AS yang berlaku saat ini sudah lebih berat dibanding sanksi PBB, tetapi secara politik, psikologis, dan strategis akan berpengaruh. Menurutnya, Iran telah lama menyiapkan rencana bersama Rusia dan Tiongkok untuk menghadapi skenario itu, yang siap dijalankan bila sanksi dipaksakan.
Di tingkat internasional, Rusia melalui pernyataan Duta Besar Mikhail Ulyanov menolak dorongan tiga negara Eropa untuk mengaktifkan kembali sanksi otomatis. Ia menyebut langkah mereka sebagai “pemerasan,” mengingat ketiganya sendiri sudah lama melanggar Resolusi 2231 dan JCPOA, sehingga secara hukum tidak bisa memulihkan sanksi. Ia menegaskan asas hukum internasional: pihak yang tidak memenuhi kewajiban tidak dapat menuntut hak dari perjanjian yang sama. Tiongkok juga menolak keras, menegaskan bahwa kebuntuan implementasi JCPOA bukan salah Iran, melainkan akibat tindakan AS dan Eropa. Beijing memperingatkan konsekuensi “tak terduga dan katastropik” bila pemulihan otomatis sanksi dipaksakan, menilainya sebagai penyalahgunaan kewenangan Dewan, sekaligus menegaskan hak Iran sebagai anggota Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) untuk memanfaatkan energi nuklir damai. Tiongkok berkomitmen terus mendorong dialog, saling hormat, dan kesepakatan baru yang berkelanjutan.
Menutup keterangannya, Araghchi menolak kemungkinan perundingan segera dengan Washington. Menurutnya, Amerika belum berada pada posisi setara untuk negosiasi. Soal kompensasi atas kerusakan akibat serangan, ia menyebut hal itu bisa saja dibicarakan, tetapi bukan prasyarat bagi dialog. “Tidak ada pesan yang koheren dari pihak Amerika. Mungkin mereka belum mencapai kesimpulan akhir,” pungkasnya.
Sumber berita: https://en.irna.ir/
Sumber gambar: https://thisisbeirut.com.lb/