Khutbah Jumat di aula Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada 22 Agustus 2025 disampaikan oleh Syaikh Mohammad Sharifani dan diterjemahkan oleh Ustaz Hafidh Alkaf. Dalam khutbah ini, beliau melanjutkan pembahasan mengenai kunci kesuksesan Rasulullah SAW dalam misi tabligh, sekaligus menekankan akhlak agung berupa sikap pemaaf yang diwariskan Rasulullah SAW serta diteladankan Ahlulbait.
Khutbah Pertama
Syaikh Mohammad Sharifani mengingatkan bahwa dalam khutbah-khutbah sebelumnya telah dijelaskan dua kunci utama keberhasilan Rasulullah SAW dalam misi tabligh. Kunci pertama adalah program beliau, yang mencakup pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, pengajaran Al-Qur’an, tazkiyah atau penyucian jiwa, serta pengajaran hikmah kepada umatnya. Kunci kedua adalah metode atau cara yang beliau gunakan dalam berdakwah, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Ali Imran ayat 159 yang memuat sepuluh karakteristik Rasulullah SAW. Empat di antaranya telah dibahas sebelumnya, yakni kasih sayang yang tinggi kepada umat manusia, menjadikan Allah SWT sebagai poros segala sesuatu, memiliki perangai yang lembut, dan daya pikat yang sangat kuat dalam komunikasi.
Beliau menambahkan bahwa khutbah kali ini bertepatan dengan hari syahadah Rasulullah SAW, di mana seluruh alam wujud berduka atas kepergian beliau. Pada hari yang sama juga diperingati syahadah Imam Hasan al-Mujtaba AS, serta mendekati peringatan syahadah Imam Ridha AS. Karena itu, beliau menyampaikan takziyah kepada seluruh hadirin, khususnya kepada Sahibul Asri waz-Zaman Ajalallahu Ta’ala Farajahu Syarif.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menjelaskan metode dakwah Rasulullah SAW yang kelima, yakni sifat pemaaf. Pada kesempatan memperingati syahadah Rasulullah SAW, beliau menyinggung pentingnya sikap memaafkan. Dalam Surah An-Nur ayat 22 Allah SWT berfirman: “walya‘fû walyashfaḫû, alâ tuḫibbûna ay yaghfirallâhu lakum,” yang artinya, “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?”
Beliau menegaskan bahwa ketika manusia menghadapi orang yang berbuat zalim, terdapat dua pilihan: membalas dengan keburukan yang setimpal atau membalas dengan kebaikan. Logika Al-Qur’an mendorong agar keburukan dibalas dengan kebaikan. Hal ini ditegaskan dalam Surah Fushshilat ayat 34–35: “wa lâ tastawil-ḫasanatu wa las-sayyi’ah, idfa‘ billatî hiya aḫsanu fa idzalladzî bainaka wa bainahû ‘adâwatung ka’annahû waliyyun ḫamîm. wa mâ yulaqqâhâ illalladzîna shabarû, wa mâ yulaqqâhâ illâ dzû ḫadhdhin ‘adhîm.” yang artinya, “Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti teman yang sangat setia. (Sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak (pula) dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”
Beliau juga mengutip sebuah hadis ketika Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Maukah aku beri tahu kalian sesuatu yang terbaik di tengah umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat?” Salah satu jawaban yang beliau berikan adalah memaafkan orang yang berbuat zalim.
Dalam kesempatan ini, Syaikh Mohammad Sharifani menyinggung pula peringatan syahadah Imam Hasan al-Mujtaba AS. Beliau menuturkan bahwa Imam Hasan AS dikenal dengan akhlak yang sangat mulia. Walaupun penduduk Syam dipenuhi kebencian akibat propaganda Bani Umayyah selama puluhan tahun terhadap Imam Ali AS dan keluarganya, Imam Hasan AS tetap menunjukkan akhlak agung. Beberapa kali, orang-orang Syam datang ke Madinah dan melontarkan hinaan kepadanya karena mengetahui beliau adalah putra Imam Ali AS. Namun, Imam Hasan AS justru membalas cercaan itu dengan senyuman, dan berkata kepada mereka, “Tampaknya engkau adalah orang asing dari luar kota. Jika engkau memiliki masalah atau membutuhkan tempat tinggal, kami memiliki tempat peristirahatan untukmu. Jika engkau kekurangan bekal, kami siap memberikan bekal kepadamu. Jika engkau lapar, rumah kami terbuka untuk menjamu engkau.” Sikap penuh kasih dan kelapangan hati ini membuat banyak orang yang semula membenci Imam Hasan AS justru berubah mencintainya.
Khutbah Kedua
Pada khutbah kedua, Syaikh Mohammad Sharifani menyampaikan beberapa poin penting yang menjadi perhatian jamaah. Pertama, perlunya memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan salat Jumat, agar dapat diselenggarakan dengan lebih semarak sehingga tempat ibadah dipenuhi oleh jamaah. Kedua, beliau mengingatkan bahwa setiap Jumat pukul 14.00 WIB, ICC menggelar kelas tafsir tartibi Al-Qur’an, yang di setiap pertemuan mengkaji satu halaman. Walau sederhana, jika dilakukan secara berkelanjutan, jamaah akan memperoleh pemahaman Al-Qur’an yang luas. Ketiga, beliau menyampaikan kabar gembira atas tibanya bulan Rabiulawal, bulan kelahiran Rasulullah SAW, sehingga umat Islam perlu mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan peringatan kelahiran manusia paling agung tersebut.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian melanjutkan pembahasan mengenai akhlak memaafkan dengan menyoroti teladan Rasulullah SAW. Beliau mengingatkan bahwa Rasulullah SAW mendapatkan penderitaan besar dari orang-orang kafir Quraisy hingga terusir dari Makkah, menghadapi pengkhianatan orang Yahudi di Madinah, serta tekanan dari kaum munafik. Rasulullah SAW pernah berkata, “Tidak ada seorang nabi pun yang mendapatkan gangguan sebesar yang aku alami.” Namun, ketika beliau berhasil menaklukkan Makkah, Rasulullah SAW tidak bertindak sebagaimana penguasa dunia yang biasanya melakukan pembalasan atau pembantaian besar-besaran. Sebaliknya, beliau berkata bahwa hari itu bukan hari balas dendam, melainkan hari kasih sayang. Rasulullah SAW meneladani sikap Nabi Yusuf AS yang ketika dikhianati oleh saudara-saudaranya tetap berkata, “Tidak perlu kalian merasa takut, karena Allah telah memaafkan kalian.” Demikian pula Rasulullah SAW memaafkan orang-orang Quraisy yang telah menzaliminya.
Beliau menjelaskan empat tahapan memaafkan yang dipraktikkan Rasulullah SAW. Pertama, tidak menyeret orang yang berbuat zalim ke pengadilan untuk diadili dan dibalas. Kedua, menutupi kesalahan yang telah mereka lakukan. Ketiga, bersikap seakan-akan tidak pernah terjadi apa pun. Keempat, berbuat baik kepada orang-orang yang telah menzaliminya.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menyinggung suasana duka pasca wafat Rasulullah SAW. Beliau menyampaikan kisah Sayyidah Fatimah Zahra SA yang begitu larut dalam kesedihan. Ketika Salman al-Farisi datang mengucapkan belasungkawa, Fatimah Zahra berkata kepadanya, “Wahai Salman, ceritakan kepadaku bagaimana perasaan kalian. Mengapa kalian tega meletakkan tanah itu di atas tubuh ayahku Rasulullah SAW?” Disebutkan bahwa Sayyidah Fatimah tenggelam dalam kesedihan yang mendalam sehingga tidak menyaksikan langsung prosesi pemakaman ayahandanya. Tujuh hari setelah wafat Rasulullah SAW, para wanita dari Bani Hasyim mendampingi Sayyidah Fatimah berziarah ke makam beliau. Saat melihat makam ayahandanya, Sayyidah Fatimah berkata, “Wahai ayahku, dengan kepergianmu siapa lagi yang akan menaungi janda-janda miskin, orang-orang fakir, dan anak-anak yatim? Wahai ayahku, dengan kepergianmu, bagaimana dengan mihrab-mihrab kosong, siapa yang akan memenuhinya?” Beliau duduk di sisi makam Rasulullah SAW, memungut tanah dari pusara beliau, lalu berkata dengan penuh kesedihan, “Wahai ayah, siapa yang masih membutuhkan wewangian ketika ia sudah menggenggam tanah dari makammu dan menciumnya?” Dengan ungkapan pilu, Sayyidah Fatimah berkata, “Aku akan menceritakan kepadamu semua penderitaanku dengan satu ungkapan. Seandainya musibah-musibah yang aku alami ini ditimpakan pada siang hari, niscaya siang itu akan berubah menjadi malam.”