Oleh: Sayid Sa’id Kazhim al-‘Adzari
Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya as telah menekankan pentingnya tolong-menolong, kerja sama, saling berhubungan, dan saling mencintai, agar kasih sayang, keharmonisan, dan kedamaian menjadi penguasa dalam hubungan sosial antara individu dan masyarakat serta antarindividu itu sendiri. Dengan demikian, tidak ada hak individu yang mengalahkan hak masyarakat, dan tidak pula hak masyarakat yang mengalahkan hak individu.
Beliau juga melarang adanya pandangan negatif satu sama lain sebagai batas minimal dari hak-hak yang dimiliki individu terhadap masyarakat. Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk memandang saudaranya dengan pandangan yang menyakitinya.”(1)
Larangan terhadap pandangan negatif ini mencakup pula larangan terhadap segala bentuk gangguan dan perbuatannya, baik dalam ucapan maupun praktik nyata. Maka, tidak diperbolehkan bergunjing, memfitnah, menyerang harta, kehormatan, dan jiwa orang lain. Bahkan, wajib menjaga kehormatan mereka dalam segala bentuknya.
Rasulullah saw juga menganjurkan untuk bersikap toleran dan lembut kepada sesama. Komitmen terhadap anjuran ini akan mengantarkan kepada penjagaan seluruh hak-hak sosial karena semua hak itu bersumber dan bercabang darinya. Beliau bersabda, “Bersikap toleran kepada manusia adalah setengah dari iman, dan bersikap lembut kepada mereka adalah setengah dari kehidupan.”(2)
Salah satu amalan yang paling dicintai oleh Allah Swt, dan termasuk dalam cakupan hak-hak sosial, adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam hati orang-orang beriman. Beliau bersabda, ”Sesungguhnya amal yang paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla adalah memasukkan kebahagiaan kepada orang-orang beriman.”(3)
Memasukkan kebahagiaan dapat dilakukan dengan menyampaikan kata-kata yang baik dan indah, menghormati mereka, membantu menyelesaikan masalah mereka, ikut merasakan harapan dan penderitaan mereka, berbagi dalam kegembiraan dan kesedihan mereka, membela harta, kehormatan, dan jiwa mereka, menghilangkan gangguan dari mereka, serta menolong mereka menghadapi beban kehidupan.
Imam Ja‘far Shadiq as menetapkan tujuh hak yang menjadi bentuk nyata dari memasukkan kebahagiaan kepada orang-orang beriman dalam masyarakat luas. Diriwayatkan dari Mu‘alla bin Khunais, dia berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as, ‘Apa hak seorang muslim atas muslim lainnya?’ Beliau menjawab, ‘Ada tujuh hak yang wajib; tidak ada satu pun darinya kecuali wajib dipenuhi. Jika salah satunya disia-siakan, maka dia telah keluar dari wilayah Allah dan ketaatan-Nya, dan Allah tidak memiliki bagian darinya... Hak yang paling ringan di antaranya adalah: engkau mencintainya sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan membenci untuknya apa yang engkau benci untuk dirimu sendiri.
Di antaranya: engkau menghindari kemurkaannya, mengikuti keridhaannya, dan menaati perintahnya. Di antaranya: engkau tidak kenyang sementara dia lapar, tidak minum sementara dia kehausan, tidak berpakaian sementara dia telanjang.
Di antaranya: engkau memenuhi sumpahnya, menjawab undangannya, menjenguk saat ia sakit, menghadiri jenazahnya, dan jika engkau mengetahui kebutuhannya maka segera penuhi tanpa menunggunya meminta. Jika engkau melakukan itu, maka engkau telah menyambungkan wilayahmu dengan wilayahnya, dan wilayahnya dengan wilayahmu.’”(4)
Dalam riwayat lain, Imam as juga menyebutkan sejumlah hak lainnya, beliau berkata, ”Sesungguhnya di antara hak orang mukmin atas sesama mukmin adalah: mencintainya di dalam hati, berbagi harta dengannya, menjaga keluarganya ketika dia tidak ada, menolongnya ketika dizalimi, jika dia termasuk yang lemah dalam masyarakat maka engkau memperjuangkan bagiannya, jika ia meninggal maka engkau mengunjunginya di kuburannya, tidak menzaliminya, tidak menipunya, tidak mengkhianatinya, tidak mengecewakannya, tidak berbohong kepadanya, dan tidak berkata ‘Ah!’ kepadanya…”(5)
Di antara hak-hak lainnya adalah saling menasihati sesama orang mukmin. Imam Ja’far Shadiq as berkata, ”Wajib bagi seorang mukmin terhadap mukmin lainnya untuk saling menasihati.”(6)
Hak-hak lainnya termasuk: kejujuran dalam berbicara, menunaikan amanah, menepati janji, akhlak yang baik, dan dekat dengan masyarakat. Rasulullah saw bersabda, ”Orang yang paling dekat denganku besok di tempat pemberhentian (Padang Mahsyar) adalah orang yang paling jujur ucapannya, paling baik dalam menunaikan amanah, paling setia dalam janji, paling baik akhlaknya, dan paling dekat dengan manusia.”(7)
Termasuk hak juga adalah memperkuat hubungan bersama dalam interaksi, dan berperilaku dengan cara pandang yang luas yang merangkul semua orang dalam kerangka dan titik temu yang sama, serta meninggalkan semua bentuk hubungan sempit. Islam melarang fanatisme terhadap suku atau bangsa, dan menyerukan untuk menghapus seluruh bentuk yang mengarah kepada fanatisme buta. Rasulullah saw bersabda, ”Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena fanatisme, dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena fanatisme.”(8)
Di antara hak-hak terpenting adalah ishlah dzat al-bayn (rekonsiliasi dan perbaikan hubungan antarindividu); karena hal ini akan menjadi solusi bagi banyak perilaku negatif yang merusak hubungan persaudaraan dan menghilangkan keharmonisan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda, ”Ishlah (rekonsiliasi) hubungan antar sesama lebih utama daripada salat dan puasa secara umum.”(9&10)(SM)
Catatan Kaki:
- Al-Maḥajjah al-Bayḍha’, jil.3, hal.359.
- Al-Kafi, jil.2, hal.117
- Al-Kafi, jil.2, hal.189
- Al-Kafi, jil.2, hal.169
- Al-Kafi, jil.2, hal.171
- Al-Kafi, jil.2, hal.208
- Tuḥaf al-‘Uqul, hal.32.
- Kanz al-Ummal, jil.3, hal.510, hadis ke-7657.
- Tsawab al-A‘mal, hal.178.
- Sumber: Kitab Adab al-Usrah fi al-Islam, karya Allamah Sayid Sa’id Kaẓhim al-‘Adżari