Kelas Tafsir Maudhu’i ICC Jakarta kembali diselenggarakan pada Kamis malam, 4 September 2025, di Aula ICC Jakarta. Kajian ini dipimpin langsung oleh Syaikh Mohammad Sharifani, Direktur ICC Jakarta, dengan penerjemahan oleh Ustaz Hafidh Al Kaf. Pada kesempatan kali ini, beliau melanjutkan pembahasan mengenai tema besar ikhlas, yang sebelumnya telah dibahas dari sudut makna dan urgensinya. Malam ini, Syaikh Sharifani menekankan pada lingkup keikhlasan dalam Al-Qur’an, apakah ikhlas itu hanya terbatas pada lingkup ibadah atau mencakup seluruh aspek kehidupan.
Dalam pengantarnya, Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa Al-Qur’an menyebutkan ikhlas dalam berbagai dimensi, mulai dari akidah, ibadah, amal perbuatan, hingga urusan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, seorang Muslim dituntut menghadirkan keikhlasan tidak hanya saat beribadah ritual, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupannya.
Beliau memulai dengan lingkup pertama, yaitu ikhlas dalam akidah. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-An‘am ayat 79: innî wajjahtu waj-hiya lilladzî fatharas-samâwâti wal-ardla ḫanîfaw wa mâ ana minal-musyrikîn – “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan agama yang lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” Ayat ini menunjukkan bahwa fondasi keimanan harus dibangun di atas keikhlasan penuh kepada Allah. Hal serupa juga ditegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 238 tentang shalat, di mana seorang hamba diperintahkan untuk menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan karena Allah semata.
Lingkup kedua adalah ikhlas dalam ibadah individual. Syaikh Sharifani mengutip Surah Al-An‘am ayat 162: qul inna shalâtî wa nusukî wa maḫyâya wa mamâtî lillâhi rabbil-‘âlamîn – “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Ayat ini menegaskan bahwa seluruh gerak hidup seorang mukmin, baik kehidupan maupun kematian, harus diarahkan kepada Allah SWT. Dalam ibadah individual, ikhlas juga ditekankan dalam shalat malam sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Muzzammil ayat 6–7, yang menyebutkan bahwa bangun malam lebih kuat pengaruhnya pada jiwa dan lebih mantap ucapannya.
Selain itu, ikhlas juga diwujudkan dalam doa dan permohonan kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Ghafir ayat 14: fad‘ullâha mukhlishîna lahud-dîna walau karihal-kâfirûn – “Maka, sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(-nya).” Tidak kalah penting, keikhlasan juga menjadi syarat diterimanya taubat, seperti yang dijelaskan dalam Surah At-Tahrim ayat 8 yang menyeru kaum mukmin untuk bertaubat dengan taubatan nashûha (taubat yang semurni-murninya).
Lingkup ketiga adalah ikhlas dalam amal perbuatan. Al-Qur’an melarang bisikan yang sia-sia, tetapi membolehkan bisikan yang membawa kebaikan, seperti sedekah, amar ma‘ruf, dan ishlah (perdamaian). Dalam Surah An-Nisa’ ayat 114 ditegaskan bahwa siapa yang melakukan hal itu ibtighâ’a mardlâtillâh (demi mencari ridha Allah), maka ia akan mendapat pahala besar.
Lingkup keempat adalah ikhlas dalam jihad dan perjuangan sosial. Dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 1, Allah memperingatkan orang-orang beriman agar tidak menjalin loyalitas dengan musuh, apalagi jika hal itu mengorbankan perjuangan di jalan Allah. Ayat tersebut menekankan bahwa jihad sejati hanya sah apabila dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan demi kepentingan duniawi.
Lingkup kelima adalah ikhlas dalam persoalan ekonomi. Dalam Surah Ar-Rum ayat 38, Allah memerintahkan agar setiap mukmin memberikan hak kerabat, orang miskin, dan musafir dengan tujuan mencari ridha Allah, karena mereka yang demikian itulah orang-orang yang beruntung. Allah juga membedakan antara praktik riba dan zakat. Dalam Surah Ar-Rum ayat 39 ditegaskan bahwa harta yang diberikan dengan maksud mencari keridaan Allah melalui zakat akan dilipatgandakan pahalanya, berbeda dengan riba yang tidak bernilai di sisi Allah. Bahkan dalam kasus nazar, sebagaimana dialami Sayyidah Maryam dalam Surah Maryam ayat 26, beliau menunaikan nazarnya dengan penuh keikhlasan untuk Allah semata.
Untuk memperkuat pemahaman, Syaikh Sharifani menghadirkan contoh-contoh teladan ikhlas dalam sejarah manusia. Pertama, Nabi Ibrahim a.s. yang dalam Surah Ali ‘Imran ayat 67 disebut sebagai seorang hanif dan muslim sejati, bukan Yahudi atau Nasrani, serta jauh dari kemusyrikan. Kedua, Ashabul Kahfi yang dalam Surah Al-Kahfi ayat 14 meneguhkan hati mereka dengan pernyataan: lan nad‘uwa min dûnihî ilâhal laqad qulnâ idzan syathathâ – “Kami tidak akan menyeru Tuhan selain Dia.” Ketiga, kaum mukmin pada peristiwa Bai‘at Ridwan di Hudaibiyah yang Allah abadikan dalam Surah Al-Fath ayat 18, di mana Allah menurunkan ketenangan ke dalam hati mereka dan memberi balasan berupa kemenangan yang dekat, karena mereka berikhlas dalam janji setia kepada Rasulullah saw.
Kajian ditutup dengan penegasan bahwa ikhlas merupakan sebuah sikap totalitas yang meliputi akidah, ibadah, amal, perjuangan sosial, dan ekonomi. Seorang mukmin sejati harus memurnikan seluruh kehidupannya hanya untuk Allah SWT. Seperti biasa, Kelas Tafsir Maudhu’i ICC Jakarta bersama Syaikh Mohammad Sharifani diselenggarakan secara rutin setiap Kamis malam di Aula ICC Jakarta. InsyaAllah pada Kamis, 11 September 2025, kajian akan kembali dilanjutkan dengan pembahasan tafsir tematik ayat-ayat Al-Qur’an berikutnya.